JUDUL: KOPERASI DAN KEKUASAAN DALAM ERA ORDE BARU
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)
Kelas : 2EB09
ABSTRAK
Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah nasional Indonesia. Peristiwa yang menandai lahirnya Orde Baru itu, tidak hanya telah menyebabkan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia (PKI) serta dilarangnya penyebarluasan ajaran Marxisme-Leninisme, tapi juga telah menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dalam tatanan sosial dan politik Indonesia. Peranan politisi sipil yang dalam era pemerintahan Soekarno cenderung sangat menonjol, selanjutnya diambil alih oleh para perwira tinggi ABRI. Sedangkan sistem politik multi partai-multi ideologi, berubah wajah menjadi sistem politik tiga organisasi politik dengan asas tunggal (Crouch, 1986; Liddle, 1992). Sementara itu, walaupun tidak banyak mendapat perhatian, pergeseran corak yang cukup mendasar terjadi dalam lingkungan koperasi Indonesia. Sebagaimana dapat disaksikan dalam praktik di lapangan, corak koperasi secara keseluruhan dapat digolongkan berdasarkan tiga kategori: berdasarkan bidang usaha, berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan, dan berdasarkan golongan fungsional para anggotanya. Bila berdasarkan bidang usaha koperasi dikelompokkan sesuai dengan ragam fungsi yang dilakukannya, dan berdasarkan jenis komoditi yang diusahakan koperasi dikelompokkan sesuai dengan ragam komoditi yang diusahakan oleh masing-masing koperasi, maka berdasarkan golongan fungsional anggotanya koperasi dikelompokkan sesuai dengan profesi atau jenis pekerjaan para anggotanya (lihat Penjelasan Pasal 17 UU No.12/1967). Sebelum tahun 1967 koperasi Indonesia pada umumnya dibangun berdasarkan dua kategori pertama (Kamaralsjah, 1954: 16). Jenis koperasi yang menonjol ketika itu adalah koperasi kredit dan koperasi produksi. Tetapi setelah 1967, corak koperasi yang berkembang di Indonesia cenderung berubah.
PENDAHULUAN
Koperasi Unit Desa (KUD), jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya dalam era Orde Baru adalah koperasi golongan fungsional. Hal itu tidak hanya terjadi dalam lingkungan pegawai negeri dan ABRI, tapi juga dalam lingkungan karyawan, wanita, mahasiswa, sekolah, pesantren, karyawan, serta dalam lingkungan berbagai golongan fungsional lainnya. Faktor apakah yang melatarbelakangi perubahan corak koperasi itu? Apakah perubahan corak tersebut semata-mata disebabkan oleh perubahan kebijakan perkoperasian atau adakah kaitannya dengan perubahan orientasi yang terjadi dalam pentas ekonomi-politik nasional? Bila perubahan corak itu berkaitan dengan perubahan orientasi ekonomi-politik nasional, pertimbanganpertimbangan apakah yang melatarbelakangi hal tersebut? Apakah hal itu dilakukan semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional ekonomi, atau adakah kaitannya dengan kepentingan-kepentingan ekonomi-politik tertentu? Akhirnya, apakah dampak perubahan corak tersebut terhadap perkembangan koperasi sepanjang era Orde Baru?
• Perubahan Kriteria Keanggotaan
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut adalah dengan mengupas hakekat dan prinsip koperasi. Koperasi, sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta (Hatta, 1954: 190 dan Book, 1994: 33), pada dasarnya adalah sebuah sistem nilai. Sebagai sebuah
sistem nilai, koperasi tidak hanya ingin menampilkan perbedaan bentuknya dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Koperasi sesungguhnya ingin menegakkan seperangkat nilai tertentu dalam bidang perekonomian. Bahwa secara struktural koperasi tampil berbeda dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain, hal itu semata-mata merupakan artikulasi dari nilai-nilai yang diembannya tersebut. Sebagai sebuah sistem nilai maka nilai-nilai koperasi dapat dikenali melalui apa yang disebut sebagai sendi dasar atau prinsip-prinsip koperasi. Sebagaimana dikemukakan oleh pasal 5 UU Koperasi No. 25/1992, prinsip koperasi Indonesia secara keseluruhan meliputi lim bersifat sukarela dan terbuka; (b) pengelolaan dilakukan secara demokratis; (c) pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan jasa usaha masing-masing anggota; (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal; dan (e) kemandirian.
Berdasarkan kelima prinsip tersebut dapat diketahui bahwa salah satu sendi dasar atau prinsip koperasi adalah keterbukaan keanggotaan. Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 25/1992, yang dimaksud dengan keanggotaan yang bersifat terbuka adalah bahwa dalam keanggotaan koperasi tidak diberlakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apa pun. Artinya, setiap orang yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan oleh koperasi, terlepas dari suku, agama, ras, golongan, atau pun jenis pekerjaannnya, dapat menjadi anggota sebuah koperasi. Dengan demikian, jangankan para karyawan koperasi (Hatta, 1954: 215), setiap pelanggan koperasi pun memiliki hak untuk menjadi anggota sebuah koperasi (Book, 1994: 41). Dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang lain, prinsip keterbukaan keanggotaan ini menempati kedudukan yang sangat terhormat dalam sistem nilai koperasi. Ia boleh dikatakan merupakan jati diri dari setiap badan usaha yang ingin menyebut dirinya sebagai koperasi (Book, 1994). Tetapi dalam UU Koperasi No. 12/1967, yang disusun sebagai pengganti UU Koperasi No. 14/1965, prinsip keterbukaan keanggotaan itu cenderung dimanipulasi. Hal itu antara lain dilakukan dengan mengubah kriteria keanggotaan koperasi, yaitu dari yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dilakukan koperasi (pasal 18 UU No. 14/1958), menjadi berdasarkan kesamaan kepentingan dalam usaha koperasi (pasal 11 UU No. 12/1967). Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 17 UU No. 12/1967, yang dimaksud dengan anggota yang memiliki kesamaan kepentingan adalah, “suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena kesamaan aktivitas/kepentingan ekonominya.” Menyusul perubahan kriteria keanggotaan itu maka corak koperasi yang berkembang di Indonesia turut berubah. Sebelum tahun 1967, jenia hal: (a) keanggotaa koperasi yang banyak berkembang di Indonesia adalah koperasi kredit dan koperasi produksi.
Pada tahun 1953, dari sekitar 8.223 koperasi yang ada, koperasi kredit tercatat sebagai koperasi terbanyak. Sedangkan koperasi produksi tercatat sebanyak 1.237 unit, terdiri dari 700 koperasi pertanian, 225 koperasi perindustrian dan kerajinan, 93 koperasi perikanan, 20 koperasi peternakan, dan sekitar 199 koperasi produksi lainnya (Hatta, 1954: 236). Tetapi setelah 1967, terutama setelah dikeluarkannya Inpres No. 4/1973 tentang BUUD/KUD, perkembangan koperasi secara umum cenderung terbagi menjadi dua kategori: Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi-koperasi non-KUD. KUD adalah koperasi serba usaha yang beranggotakan penduduk desa dan berlokasi di daerah perdesaan (Inpres No. 4/1973 dan Wahju Sukotjo dalam Hendrojogi, 1985: 16). Daerah kerjanya mencakup satu wilayah kecamatan. Sedangkan koperasi-koperasi non-KUD mencakup berbagai jenis koperasi lainnya seperti koperasi golongan fungsional, koperasi produsen, koperasi konsumen, dan koperasi simpan pinjam. Yang menarik, selain KUD yang pengembangannya memang dilakukan secara besar-besaran oleh Orde Baru, jenis koperasi yang sangat pesat perkembangannya setelah tahun 1967 adalah koperasi golongan fungsional. Pada tahun 1976 misalnya, dari sekitar 22.980 koperasi yang ada, jumlah KUD dan koperasi golongan fungsional masing-masing tercatat sebanyak 8.878 unit dan 7.875 unit. Sedangkan koperasi produsen, koperasi konsumen, dan koperasi simpan pinjam, masing-masing hanya berjumlah sebanyak 2.218 unit, 1.060 unit, dan 1.026 unit (Puslatpenkop, 1989: 291). Sedangkan pada tahun 1994, dari sekitar 44.294 unit koperasi, koperasi non-KUD mencapai 35.273 unit (RI, 1995: VI/82).
implikasi utama dari perkembangan koperasi golongan fungsional itu adalah berubahnya sifat keanggotaan koperasi dari terbuka menjadi tertutup. Sebagaimana telah disinggung pada bagian awal tulisan ini, keanggotaan koperasi dalam koperasi golongan fungsional hanya terbuka bagi mereka yang memiliki profesi sejenis. Bahkan, karena di belakang nama tiap-tiap koperasi golongan fungsional tercantum nama suatu instansi tertentu, keanggotaan koperasi jenis ini hanya berlaku bagi mereka yang bekerja pada instansi yang bersangkutan. Seorang konsumen atau karyawan pada Koperasi Serba Usaha Dosen Universitas X misalnya, selama tidak terdaftar sebagai dosen pada universitas yang bersangkutan, tidak mungkin diterima menjadi anggota koperasi itu. Perubahan corak dan pembatasan anggota yang dilatarbelakangi oleh perubahan kriteria keanggotaan koperasi itu tentu tidak dilakukan tanpa alasan.
Menurut pasal 17 UU No. 12/1967, alasannya adalah untuk tujuan efisiensi. Namun bila ditelusuri karakterisitik dan sejarah perkembangan koperasi, serta orientasi ekonomi-politik Orde Baru, alasan tersebut jauh dari memuaskan. Alasan yang lebih mendasar tampaknya justru bersumber pada karakteristik koperasi sendiri. Sesuaidengan nilai-nilai yang diembannya, koperasi adalah perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal (Book, 1994: 50). Bahkan, sebagaimana dikemukakan dalam pasal 1 UU No. 25/1992, koperasi juga diakui sebagai gerakan ekonomi rakyat. Dengan karakterisitik seperti itu, koperasi memiliki dimensi yang sangat berbeda dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Sebagai perkumpulan orang dan gerakan ekonomi rakyat yang juga berfungsi untuk mendemokratisasikan perekonomian nasional (lihat pasal 4 UU No. 12/1967), koperasi berpeluang untuk berkembang dan atau dikembangkan menjadi kekuatan politik (Soedjono dalam Hendrojogi, 1985 dan Baswir, 1993: 105). Tetapi karena secara historis koperasi dianjurkan untuk bersikap netral dalam bidang politik (Burger, 1954: 153), ia sekurang-kurangnya dapat digunakan sebagai alat untuk menggalang dukungan politik.
Sebab itu wajar bila dalam sejarah perkembangan koperasi di Indonesia, koperasi hampir selalu menjadi ajang rebutan partai-partai politik yang ada. Pada tahun 1950-an misalnya, gerakan koperasi cenderung sangat dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Hal itu tampak pada kegigihan PNI dalam memperjuangkan UU No. 79/1958 tentang perkumpulan koperasi (Kamaralsyah dkk., 1987: 18). Sedangkan dalam periode 1960 -1965, yang dikenal sebagai era demokrasi terpimpin, gerakan koperasi cenderung sanga.
• Keterbelakangan Koperasi
Pertanyaannya adalah, setelah Orde Baru memegang tampuk kekuasaan selama lebih dari 30 tahun, sedangkan posisi koperasi dibandingkan dengan pelaku-pelaku usaha yang lain masih tetap terbelakang, bagaimanakah kaitan antara keterbelakangan koperasi dengan fenomena intervensi legal dan institusional tadi harus diterangkan? Artinya, apakah kondisi keterbelakangan yang dialami koperasi sepanjang era Orde Baru itu juga berkaitan dengan fenomena intervensi legal dan institusional tersebut.
Nilai Aset dan Nilai Usaha BUMN, Konglomerat, dan Koperasi Tahun 1993 dalam trilyun rupiah (Diolah dari beberapa sumber oleh Revrisond Baswir)
Nilai Aset % Nilai Usaha % BUMN Rp. 269.0 53.8 Rp 80.0 34.3 Konglomerasi* Rp. 227.0 45.4 Rp. 144.0 61.7 Koperasi Rp. 4.0 0.8 Rp. 9.5 4.0 Jumlah Rp. 500.0 100.0 Rp. 233.5 100.0
Catatan: (*) Tidak termasuk usaha swasta non konglomerasi.
Setelah mengalami penyusutan secara besar-besaran pada tahun 1967, perkembangan koperasi dalam era Orde Baru sebenarnya tergolong lumayan. Hal itu tidak hanya dapat disaksikan pada perkembangan kelembagaan koperasi, tapi juga pada perkembangan usahanya Tetapi bila dilihat dari sudut intervensi legal dan institusional yang menelikung perkembangan koperasi sebagaimana dikemukakan tadi, kondisi keterbelakangan koperasi itu sebenarnya mudah dipahami. Dengan berubahnya kriteria keanggotaan dan penjenisan koperasi berdasarkan kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonomi para anggotanya, keberadaan koperasi secara sengaja diarahkan hanya sebagai sebuah usaha sampingan. Bahkan, dengan lebih ditekankannya pengembangan koperasi dalam lingkungan masyarakat desa, pegawai negeri dan ABRI, serta golongan fungsional lainnya (yang secara politik cenderung sangat terkooptasi), pembangunan koperasi tampaknya memang sengaja diarahkan semata-mata sebagai usaha sampingan bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterampilan, modal, dan posisi tawar politik terbatas. Sebaliknya, bila dilihat dari sudut orientasi ekonomi-politik Orde Baru,
kondisi keterbelakangan koperasi itu lebih tepat disebut sebagai sebuah conditio sine qua non. Artinya, dengan menelikung perkembangan koperasi, Orde Baru tidak hanya berhasil mengubah corak dan watak ideologis koperasi, tapi sekaligus berhasil mengintegrasikannya sebagai bagian dari struktur kekuasaan. Hal tersebut sejalan dengan watak Orde Baru sebagai sebuah negara otoriter birokratik rente (Budiman, 1991: 70), baik untuk menjaga stabilitas kekuasan maupun untuk menjamin kesinambungan strategi pembangunannya. Dengan cara itulah antara lain Orde Baru melestarikan kekuasaannya selama 32 tahun. Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 246-263260 Implikasi Kebijakan Berdasarkan uraian panjang lebar di muka, secara umum dapat disimpulkan betapa sangat besarnya peranan faktor-faktor politik dan kekuasaan terhadap perikehidupan bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto ternyata tidak hanya telah menyebabkan terjadinya pergeseran corak dan orientasi politik nasional, tapi juga telah menyebabkan terjadinya pergeseran corak dan orientasi ekonomi Indonesia secara mendasar. Bahkan, walaupun jarang mendapat perhatian, peristiwa itu juga telah menyebabkan terjadinya perubahan corak dan watak koperasi Indonesia.
Yang menarik, perubahan corak dan watak koperasi yang berlangsung sepanjang era Orde Baru itu ternyata tidak hanya terjadi sebagai akibat berubahnya undang-undang atau peraturan perkoperasian. Tetapi disertai pula oleh berlangsungnya intervensi institusional ke dalam organisasi gerakan koperasi. Sejalan dengan perubahan tatanan politik nasional, jabatan-jabatan teras dalam lingkungan Departemen Koperasi cenderung dipangku oleh para anggota ABRI dan KBA. Sedangkan keterlibatan anggota ABRI dan KBA sebagai pimpinan organisasi gerakan koperasi cenderung sangat menonjol.
Dengan latar belakang seperti itu, keterbelakangan koperasi dibandingkan kelompok-kelompok usaha yang lain dalam era Orde Baru, sebenarnya hanyalah konsekuensi logis dari perubahan orientasi ekonomipolitik nasional. Secara empirik hal tersebut berkaitan dengan intervensi legal dan institusional yang dialami oleh koperasi. Sebab itu, guna meningkatkan perkembangan koperasi di masa depan, kebijakan perkoperasian yang hanya berorientasi pada pembenahan kondisi internal koperasi tidak akan banyak artinya. Demikian pula halnya dengan penyediaan fasilitas permodalan atau berbagai fasilitas kemudahan lainnya. Tindakan-tindakan itu, selain akan semakin memperburuk tingkat ketergantungan koperasi terhadap kekuasaan, hanya akan menyebabkan semakin merajalelanya praktik korupsi dan kolusi dalam lingkungan perkoperasian. Revrisond Baswir
• KESIMPULAN: agar di masa mendatang koperasi dapat berkembang secara demokratis dan mandiri, berbagai bentuk intervensi yang selama ini menelikung perkembangan koperasi harus segera diakhiri. Penyusunan UU Koperasi misalnya, harus diusahakan secara maksimal agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip koperasi universal. Keberadaan Departemen Koperasi harus dibatasi sedemikian rupa atau dihapuskan sama sekali. Sedangkan keberadaan Dekopin sebagai wadah tunggal gerakan koperasi harus dianulir, yaitu untuk memberi ruang bagi tumbuhnya organisasi-organisasi gerakan koperasi alternatif. Tanpa sejumlah tindakan tersebut, berlanjutnya penyalahgunaan kekuasaan untuk menelikung perkembangan koperasi akan sulit dihindari.
• DAFTAR PUSTAKA
• http://www.paramadina.ac.id/downloads/Jurnal%20Universitas%20Paramadina/Jurnal%20UPM%20Vol-2%20No-3%2C%2005-2003/233-revrisond.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar