Kamis, 19 Mei 2011

ANALISIS EFISIENSI PASAR MODAL: REAKSI HARGA SAHAM TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH ATAS KENAIKAN TARIF CUKAI ROKOK DAN HARGA JUAL ECERAN ROKOK (HJE) (Studi Kasus pada Perusahaan Rokok dan Penghasil Tembakau yang Terdaftar di BEJ)


PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasar modal mempunyai peranan yang penting bagi perekonomian suatu negara. Pemerintah dalam hal ini berupaya untuk meningkatkan peran pasar modal karena peranannya yang sangat penting dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi masyarakat. Menurut UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, di dalam pasal 1 ayat (13) disebutkan bahwa pasar modal adalah sebagai suatu kegiatan yang berkenaan dengan penawaran umum dan perdagangan efek perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkan oleh lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Pada saat mengambil keputusan investasi saham di pasar modal diperlukan informasi yang relevan. Informasi yang diperlukan ini berkaitan dengan masalah yang berhubungan dengan saham itu sendiri, antara lain berapa besar return atau risiko atas saham yang akan dibeli. Menurut Marzuki Usman (1990), apabila semakin banyak orang ingin membeli saham, maka harga saham akan cenderung naik dan begitu pula sebaliknya, semakin banyak orang ingin menjual saham tersebut, maka harga saham akan cenderung bergerak turun.
Suatu pasar modal akan berperan secara optimal apabila dapat memenuhi dua syarat utama yaitu pasar harus efisien dan adanya perlindungan bagi investor yang memadahi sehingga dunia usaha dapat memanfaatkan pasar modal untuk memperoleh sumber pembiayaan bagi usahanya. Pasar modal dikatakan efisien jika harga suatu sekuritas mencerminkan nilai dari perusahaan secara akurat serta mencerminkan penilaian investor terhadap prospek laba perusahaan dimasa yang akan datang.
Sebagai suatu instrumen ekonomi, pasar modal tidak terlepas dari berbagai pengaruh lingkungan terutama lingkungan ekonomi dan politik. Pengaruh lingkungan mikro seperti kinerja perusahaan, perubahan strategi perusahaan, pengumuman dividen, dan pengumuman laporan keuangan perusahaan selalu mendapatkan tanggapan dari para pelaku di pasar modal. Selain itu, perubahan lingkungan ekonomi makro yang terjadi seperti perubahan suku bunga tabungan dan deposito, kurs valuta asing, inflasi, regulasi, dan deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah ikut mempengaruhi fluktuasi harga dan volume perdagangan di pasar modal.
Investor membeli suatu komoditi di pasar modal berupa saham yang kualitasnya ditentukan oleh kualitas informasi yang disediakan oleh perusahaan yang mengemisikan saham tersebut. Sehingga masyarakat memberi harga terhadap saham berdasarkan informasi yang didapatkan baik informasi mengenai perusahaan yang mengemisikan sahamnya maupun informasi lain yang digunakan sebagai keputusan investasi. Dengan tersedianya informasi yang layak maka harga saham dapat berubah dengan cepat sejalan dengan kecepatan masuknya informasi. Penyesuaian harga saham yang cepat terhadap informasi baru akan mempengaruhi tingkat hasil yang diharapkan dan investor akan merubah strategi investasinya agar dananya dapat teralokasi secara efisien.
Hal inilah yang menandai pentingnya suatu pasar modal yang efisien terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Karena efisiensi pasar modal akan memperkecil spekulasi terhadap harga saham sehingga tidak ada investor yang mendapatkan keuntungan berlebih atau kerugian berlebih. Dengan kata lain suatu pasar modal akan efisien jika rate of return dari investasi dalam pasar itu tidak akan lebih tinggi dari apa yang diperoleh dari suatu random kepemilikan saham yang berisiko sejenis pada bagian lain di pasar modal. Dengan demikian masing-masing pihak yang terlibat transaksi di pasar akan menerima keuntungan normal tanpa ada pihak yang menerima keuntungan abnormal.
Pasar modal dikatakan efisien jika harga sekuritas mencerminkan secara penuh (fully reflect) informasi yang tersedia. Dalam pengujian efisiensi pasar informasi dapat dikategorikan sebagai perubahan harga sekuritas tersebut dari waktu ke waktu dan dari penerima informasi. Dari tingkatan akses informasi tersebut dapat ditentukan secara hipotetikal untuk efisiensi pasar modal, yaitu bentuk lemah (waek form efficient), bentuk setengah kuat (semistrong form efficient), dan bentuk kuat (strong form efficient).
Implikasi dari tingkatan bentuk efisiensi pasar adalah adanya Hipotesis Efisiensi Pasar atau Efficient Market Hipotesis (EMH). Efficient Market Hipotesis (EMH) terdiri dari dua macam pendekatan yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. Kedua analisis ini berhubungan dengan penilaian atas harga suatu saham. Analisis teknikal didasarkan anggapan bahwa harga suatu sekuritas ditentukan oleh penawaran dan permintaan terhadap sekuritas, sehingga teknik ini dirancang untuk mengukur aspek menawaran dan permintaan tersebut.
Salah satu industri yang paling menjanjikan keuntungan adalah industri rokok. Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi ia diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja.
Pemerintah Indonesia telah memutuskan menaikkan tarif cukai rokok dan Harga Jual Eceran (HJE) sebesar 15% yang efektif berlaku 1 Juli 2005. Menurut Dirjen Bea dan Cukai, dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, khususnya dibidang cukai, Pemerintah harus melakukan optimalisasi dibidang perpajakan, antara lain melalui langkah-langkah kebijakan, diantaranya menyangkut tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE). Salah satu kajian yang dilakukan oleh Dirjen Bea Cukai saat ini adalah menghitung kemampuan industri rokok nasional untuk mendukung kenaikan target penerimaan cukai.
Dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2005, Pemerintah mengusulkan kenaikan penerimaan cukai dari Rp 28,9 triliun (targett APBN 2005) menjadi Rp 31,0 triliun. Kemampuan industri rokok menjadi bahan kajian sangat penting, karena sumbangan penerimaan cukai rokok rata-rata mencapai 98% dari total penerimaan cukai setiap tahun. Untuk tahun 2006, ditargetkan penerimaan cukai akan mencapai Rp 35 triliun. Namun Menteri Keuangan mengakui, kenaikan HJE akan mengakibatkan produksi rokok pada 2005 turun jadi 214 miliar batang , dari perkiraan produksi apabila tidak ada kenaikan HJE yaitu 219 miliar batang. Kebijakan kenaikan HJE terakhir dilakukan oleh Pemerintah pada 2002 dengan Keputusan Menkeu No. 449/KMK.04/2002 tertanggal 24 Oktober 2002. Selama hampir tiga tahun setelah kebijakan kenaikan HJE itu, telah terjadi kenaikan harga bahan baku, upah buruh, dan inflasi. Berdasarkan uraian diatas, penulis akan mencoba melakukan penelitian tentang efisiensi pasar modal di Indonesia. Sehingga judul skripsi ini adalah: “ANALISIS EFISIENSI PASAR MODAL: REAKSI HARGA SAHAM TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH ATAS KENAIKAN TARIF CUKAI ROKOK DAN HARGA JUAL ECERAN ROKOK (HJE) (Studi Kasus pada Perusahaan Rokok dan Penghasil Tembakau yang Terdaftar di BEJ) ”
efisiensi pasar modal, pasar modal efisien, skripsi pasar modal, kasus pasar efisien, kasus efisiensi pasar, Alasan pasar modal di indonesia dikatakan tidak efisien, Pasar modal dikatakan efisien apabila harga sekuritas mencerminkan informasi penuh (fully reflect) informasi yang tersedia, pasar modal judul skripsi, pasar modal skripsi, PASAR MODAL YG EFISIEN, pengaruh efisiensi pasar modal terhadap, pengujian efisiensi bentuk setengah kuat, pengujian efisiensi pasar bentuk setengah kuat secara informasi, skripsi pasarmodal, pasar modal dikatakan efisien apabila harga sekuritas mencerminkan informasi penuh, pasar modal dan saham, ANALISIS EFFISIENSI PASAR, Analisis efisiensi pasar, analisis efisiensi pasar modal, efisiensi market hipotesis, efisiensi pasar, implikasi pasar efisien terhadap perdagangan pasar modal, jurnal effisiensi pasar modal, jurnal pengujian efisiensi pasar modal, masalah efisiensi pasar modal, modal dalam lingkungan mikro perusahaan, tesis mengenai efisiensi pasar modal indonesia

Mengatasi Pengangguran dengan Insentif Pajak?

Dewasa ini, semakin banyak perusahaan ”terpaksa” melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan mungkin akan lebih banyak lagi penganguran di waktu mendatang. Harga-harga terlanjur meningkat. Sekalipun harga BBM telah diturunkan, harga barang, biaya transportasi dan lainnya tidak serta-merta turun kembali. Efek kenaikan harga input terhadap harga output (produk) biasanya memang tidak sama (tidak simetris) dengan efek menurunnya. Daya beli masyarakat menurun, yang tentunya bisa mempengaruhi pada tarikan permintaan atas produk, dan seterusnya . . .
Saya tidak bermaksud pesimistis, atau bahkan skeptis. Tetapi saya kira kita harus waspada dan mengantisipasi dampak negatif krisis belakangan ini. Di tahun 2009, tantangan menghadapi kemungkinan meningkatnya pengangguran tidak boleh diabaikan pada saat Pemilu harus berlangsung.
Lantas, apakah akan membiarkan saja perusahan melakukan PHK dan menyerahkannya kepada ”mekanisme pasar”? Toh keseimbangan pasar yang baru pada akhirnya akan tercapai? Rasanya tidak. Biaya sosial tentu akan sangat besar. Bukan cuma itu. Langkah demikian jelas bukan pilihan kebijakan yang pro-rakyat. Lalu apa pilihan yang perlu dipertimbangkan?
Salah satu usul saya adalah menggunakan ”instrumen pajak.” Kali ini kita diskusikan khusus topik ini. Bagaimana caranya?
Pertama, berikan insentif pajak kepada perusahaan yang ada yang melakukan aktivitas berinovasi. Bagi dunia usaha berinovasi sangta penting karena ini menjadi kunci bagi peningkatan produktivitas (dalam arti luas).
Salah satu tantangan umumnya [bagi pemerintah dan wajib pajak] adalah mekanisme operasional-administratif. Nah untuk mengatasi hal ini, sederhanakan prosedur klaim untuk insentif. Jika untuk mengkalim menyulitkan pengusaha, tentu tidak akan menjadi insentif yang efektif. Bagi pengelola pajak {Ditjen Pajak], mekanisme yang terlampau rumit juga akan menimbulkan biaya administratif yang besar.
Bagaimana jika „disalahgunakan“ ? Boleh jadi memang akan ada loop hole bagi pelaku bisnis yang nakal (ada potensi moral hazard). Bentuk saja tim evaluator/audit untuk menilai apakah suatu perusahaan berhak mendapatkan sejumlah insentif pajak tertentu atau tidak. Apakah ini akan menjamin tidak akan terjadi “kebocoran“? Tentu saja tidak. Ini tugas penegak hukum jika terjadi penyimpangan dan pelanggaran hukum. Yang jelas, ini bisa menjadi alat edukasi kepada masyarakat. Karena kebijakan yang baik juga harus dilandaskan kepada anggapan baik (prasangka positif) dan untuk mendorong masyarakat yang saling percaya, bukan saling curiga [termasuk antara pemerintah dan rakyat]. Semua pihak, pemerintah maupun wajib pajak, memang harus memiliki good will agar instrumen kebijakan bisa efektif, termasuk dalam perpajakan.
Apa batasan ”aktivitas berinovasi”? Bisa berawal dari apa yang diungkap dalam dokumen Frascaty Manual , dan disesuaikan untuk konteksnya.
Insentif seperti ini akan memberikan alternatif positif bagi perusahaan yang baik untuk tidak melakukan PHK tetapi sebaliknya lebih memilih berinovasi untuk mempertahankan daya saingnya.
Kedua, berikan insentif ”bebas pajak” kepada perusahaan baru atau perusahaan pemula. Mengapa? Perusahaan baru/pemula pada umumnya akan menyediakan kesempatan kerja baru dan tentunya meringankan tingkat perkembangan para pencari kerja. Survei-survei GEM (Global Entrepreneurship Monitor) selalu menunjukkan bahwa perusahaan pemula yang inovatif biasanya menyediakan perkembangan kesempatan kerja yang lebih baik dibanding perusahaan-perusahaan yang sudah lebih dulu ada. Selain itu, perkembangan perusahaan baru/pemula juga sangat penting untuk perubahan struktur ekonomi yang lebih sehat [dan mudah-mudahan lebih adil]. Strategi ini bisa dibarengi dengan pembatasan pada bidang/sektor usaha tertentu yang ingin didorong sebagai ”unggulan” Indonesia.
Tetapkan bahwa salah satu persyaratan keikutsertaan insentif pajak bagi perusahaan adalah kepemilikan NPWP semua karyawan [tentu termasuk para pemiliknya].
Banyak yang menggunakan ”ukuran” 3,5 tahun sebagai masa inkubasi perusahaan. Jadi pemberian insentif bebas pajak tertentu selama 5 tahun adalah sangat wajar.
Dari keuangan negara, insentif pajak demikian memang seolah kehilangan pendapatan pemerintah. Namun dari kepentingan nasional, ini sebenarnya lebih merupakan realokasi sumber daya untuk memelihara kesehatan sosial ekonomi dan investasi bagi perbaikan di masa datang.
Kebijakan insentif ini perlu dibarengi dengan beberapa langkah penting lain, terutama kemudahan perijinan bisnis/investasi, peningkatan penggunaan teknologi dan produk dalam negeri, dan budaya kreatif-inovatif di masyarakat.
Istilah Makro dan Mikro itu setahu saya adalah Istilah dari Sistim Ekonomi Kapitalis yang memisahkan antara para pengelola Ekonomi yang bermodal besar dan yang bermodal kecil,sehingga penanganannya pun di bedakan antara keduanya.Pengelola Ekonomi Makro itu terdiri dari para kapitalis yang menguasai Industri-industri besar dan di fasilitasi oleh negara dengan bantuan Modal besar dari Bank dan pelayanannya pun dipernudah oleh Pemerintah dan Bank.
Sedangkan Pengelola ekonomi Mikro yang kebanyakan masyarakat kecil dengan modal kecil dan cara mendapatkan modalnya-pun terbatas walaupun sama-sama dapat fasilitas dari Bank,tertapi jumlah uang yang dapat dipinjam itu kecil sehingga peluang untuk merampok bank itu juga tidak ada karena pengawasannya juga ketat,terlambat membayar itu sudah di nilai kondite nya jelek dan di persulit oleh Bank untuk meminjam lagi,apalagi kalau sampai tidak bisa membayar langsung di eksekusi,asetnya di sita.sehingga para pengelola ekonomi makro itu akhirnya terjerat uang riba kepada Lintah darat hanya untuk menutupi ke Bank.Dalam hal ini Negara tidak mau peduli dan tidak ada perlindungan seperti halnya kepada para pengelola Ekonomi Makro yang jelas-jelas merampok dan selalu bermasalah tetapi selalu mendapat perlindungan dari negara yang beridiologi kapitalis tersebut seperti halnya di Indonesia.
       
Oleh karena itu Para pengelola ekonomi mikro tersebut tidak menimbulkan Krisis yg berdampak sistemik kepada negara atau dunia,karena memang tidak ada ketergantungan besar kepada Bank,dan tidak ada peluang untuk melarikan aset negara karena mayoritas pengelola nya adalah rakyat pribumi yang tidak punya perusahaan di luar negri.Negara pun tidak di rugikan sebab kebanyakan para pengelola ekonomi makro itu sifatnya Mandiri dan cukup dengan modal kecil(!00 ribuan) juga jadi.(lihat Krisis Ekonomi th 1997 semua pengusaha kecil itu dapat bertahan).

     Inilah bentuk Ekonomi yang real yang dapat mengatasi masalah pengangguran,hanya saja Pemerintah selalu berlaku diskriminasi dan menghancurkan para pengelola ekonomi Mikro tersebut,alias tidak ada keberpihakan kepada mereka(Kami),lihat saja pasar tradisional yang selalu di kepung oleh Supermarket dan Mall,ini adalah salah satu bentuk ketidak berpihakannya Pemerintah kepada rakyat kecil sehingga bebas memberi surat perijinan kepada para Pemilik

Modal besar untuk bersaing dengan rakyat yg ekonominya lemah.Bahkan saat ini Pemerintah membuka Kran Perdagangan Bebas dengan negara Cina yang Produk-produknya lebih murah di banding dengan produk Lokal,artinya ini secara Kasat mata negara membunuh perekonomian rakyatnya sendiri dengan alasan yang di rasionalkan supaya ada persaingan,ini jelas bentuk ketidak adilan kepada rakyat pengusaha kecil,ibarat becak dengan motor BMW secara fhsikologis itu jelas sudah kalah duluan sebelum bertanding.

   
 Sempurnalah sudah keberpihakan Negara kapitalis ini kepada Asing,dari dalam negara dirampok oleh para Bankir dan Pengusaha yang berstatus WNI keturunan Cina sedangkan bebannya di pikul oleh Rakyat semua melalui kenaikan kebutuhan pokok penggenjotan Pajak,dari Luar Negara di ludesi oleh para kapitalis Asing sumber daya alamnya,dan perekonomian rakyat nya di hancurkan oleh Pemerintah sendiri melalui Perdagangan Bebas dengan Cina DLL.

     Oleh sebab itu cara mengatasi pengangguran tidak bisa di ukur oleh Ekonomi makro dan Mikro sebab itu semuanya adalah cara Pandang Kapitalis,tapi yang benar adalah Sistem yang saat ini dijalankan itu harus di rubah total menjadi Sistim Syariat Islam yang memiliki keberpihakan kepada semua warga negara secara adil baik yang kaya atau yang miskin,dan mensejahterakan rakyat secara maksimal karena itu adalah kewajiban Negara dan Pemimpin yang bertanggung jawab di hadapan ALLAH SWT kelak.