Selasa, 20 Desember 2011

review jurnal ekonomi koperasi 12

 

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

I. Pendahuluan
Pondok Pesantren (Ponpes) adalah salah satu lembaga pendidikan Islam tertua
di Indonesia, keberadaan dan perannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa telah
diakui oleh masyarakat. Dalam perkembangannya Pondok Pesantren berfungsi sebagai
pusat bimbingan dan pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh biddin) telah banyak
melahirkan ulama, tokoh masyarakat dan mubaligh. Seiring dengan laju pembangunan
dan tuntutan zaman serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Ponpes
telah melakukan berbagai inovasi untuk meningkatkan peran dan sekaligus
memberdayakan potensinya bagi kemaslahatan lingkungannya. Salah satu bentuk
adaptasi nyata yang telah dilaksanakan adalah pendirian koperasi di lingkungan Ponpes
dan dikenal dengan sebutan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren). Keberadaan
gerakan koperasi di kalangan pesantren sebenarnya bukanlah cerita baru, sebab pendiri
koperasi pertama di bumi Nusantara adalah Patih Wiriatmadja, seorang muslim yang
sadar dan menggunakan dana masjid untuk mengerakan usaha simpan pinjam dalam
menolong jamaah yang membutuhkan dana. Tumbuhnya gerakan koperasi di kalangan
santri merupakan salah satu bentuk perwujudan dari konsep ta’awun (saling menolong),
ukhuwah (persaudaraan), tholabul ilmi (menuntut ilmu) dan berbagai aspek ajaran Islam
lainnya.
Eksistensi Kopontren dapat ditinjau melalui tiga dimensi yaitu sebagai pendukung
mekanisme kehidupan ekonomi Ponpes, sebagai pembinaan kader koperasi pedesaan
dan sebagai stimulator sosio-ekonomi masyarakat desa di sekitar Ponpes. dewasa
ini, Kopontren telah berkembang dan menjadi semacam representasi lembaga ekonomi
santri yang diinisiasi secara bottom up dengan ciri kemandirian yang khas.

EVALUASI PROGRAM PENDIDIKAN DAN LATIHAN
PADA KOPERASI PONDOK PESANTREN

Abstract
This study was conducted in the province of West Java and East Java
pertaining with the progress of Islamic Boarding School for Cooperatives after
implementing the training and education program. This article is briefly
exploring the effectiveness of cooperative training and education
program.Some weakneses were found during the study and several serious
action to overcome. But the study also revealed many interesting facts that
could be used in empowering the cooperatives in the specific circumstances.
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Tahun 2004 (diringkas oleh : Burhanuddin R.

2.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

Sejalan dengan itu, Kementerian KUKM memberikan atensi yang sama kepada
bentuk koperasi lainnya melalui penyelenggaraan Diklat bagi beberapa Kopontren di
sekitar wilayah Bekasi dan Bogor. Program yang diterapkan bertujuan untuk
memperkokoh kapasitas internal Kopontren dalam melayani anggotanya yaitu para
santri dan masyarakat di sekitarnya. Setelah berjalan dalam kurun waktu tertentu,
dipandang perlu untuk mengamati dan mengevaluasi sejauhmana hasil diklat
diimplementasikan dalam pengelolaan organisasi Kopontren. Naskah ini menyajikan
ringkasan atas hasil kajian dimaksud.
II. Dimensi Permasalahan
Berdasarkan hasil preliminary research ditemukan beberapa permasalahan
sebagai berikut.
1). Beberapa Kopontren belum menunjukkan perubahan kinerja dan keragaman
yang signifikan setelah mengikuti diklat.
2). Perluasan pangsa pasar belum berhasil dilakukan dan masih terbatas kepada
segment tertentu khususnya para santri di lingkungan sendiri.
3) Pengelolaan dan pertanggungjawaban dana anggota masih belum efektif dan
kurang transparan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka pertanyaan pokok penelitian (Mayor
Research Question) adalah “Mengapa Kopontren yang sudah mengikuti Diklat
Perkoperasian belum secara maksimal dalam mengimplementasikan ilmu dan
pengetahuan yang didapat dari pelatihan?” Adapun pertanyaan khusus penelitian (Minor
Research Questions) adalah :
1). Bagaimana bentuk dan jenis program diklat yang dibutuhkan untuk pembinaan
Kopontren ?
2). Sejauh manakah efektivitas program diklat dalam menunjang pertumbuhan
Kopontren ?
3). Upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja Kopontren ?
4). Bagaimana pandangan warga masyarakat sekitar Pesantren terhadap
keberaadaan Kopontren ?
5). Apakah faktor-faktor keberhasilan maupun kegagalan dalam penyelenggaraan
Kopontren ?
III. Tujuan dan Manfaat Kajian
1. Tujuan Kajian
a. Mengevaluasi efektivitas pelaksanaan diklat perkoperasian di lingkungan
Kopontren;
b. Merumuskan model dan sistem evaluasi diklat perkoperasian yang ideal di
lingkungan Kopontren.

3.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

2. Manfaat Kajian
Tersedianya bahan dan data tentang kondisi empirik Kopontren yang dapat digunakan
sebagai bahan perumusan kebijakan pembinaan Koperasi di lingkungan Ponpes.
IV. Lokasi Kajian
Berdasarkan peta penyelenggaraan Diklat Perkoperasian, maka lokasi kajian
ditetapkan di wilayah provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat.
Teknik Pengumpulan Data
Data primer dihimpun melalui seperangkat instrumen (kuesioner) terstruktur dalam
bentuk interview guide dengan opsi tertutup dan terbuka, dan peluang argumentasi/alasan
responden atas setiap jawaban yang diberikannya.
Populasi dan Teknik Penarikan Sampel
Populasi dalam penelitian kajian evaluasi ini adalah Kopontren yang berlokasi di
wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat yang telah mengikuti program diklat dari Kementerian
KUKM. Adapun teknik penarikan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling
method). Hal ini didasarkan pada pertimbangan klasifikasi dan karakteristik Kopontren
yang antara lain adalah jenis usaha dan jumlah santri.
VII. Hasil dan Pembahasan Kajian
1. Profil Kopontren di Lokasi Sampel
Dari segi setting wilayah penelitian, data kajian diperoleh wilayah Provinsi Jawa
Barat dan Jawa Timur, dan secara keseluruhan meliputi beberapa daerah tingkat dua
yaitu, Kabupaten Sukabumi, Tasikmalaya, Subang, Cirebon, Bekasi, Madiun, Kediri,
Malang, Situbondo dan Jombang. Dari segi kuantitas, jumlah Kopontren di Indonesia
menurut data Proyek Peningkatan Ponpes Departemen Agama terdapat sekitar 1.400
unit, dan tidak kurang 30 persen berada di Propinsi Jawa Timur, kemudian sekitar 17
persen di antaranya berlokasi di Propinsi Jawa Barat. Khusus di Provinsi Jawa Timur,
sebanyak 53 persen Ponpes berada di lokasi pemukiman, sekitar 23 persen berlokasi di
daerah pertanian, 15 persen di daerah Pegunungan, masing-masing sekitar lima persen
di daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah industri dan kurang
dari satu persen berada di daerah pedalaman. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, sekitar
47 persen berdekatan dengan lokasi pemukiman, 32 persen berlokasi di daerah pertanian,
kemudian disusul 17 persen di daerah pegunungan, masing-masing sekitar 3 persen di
daerah tepian sungai dan di kawasan pantai, dua persen di daerah Industri dan kurang
dari satu persen berlokasi di daerah pedalaman. Hal ini mengindikasikan potensi Kopontren
untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya ternyata cukup besar.

4.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

2. Aspek Jenis Pelatihan
Kategori Diklat yang diselenggarakan untuk Kopontren terbagi atas dua, yakni
pelatihan untuk Pengurus Kopontren dan Pimpinan Ponpes, kemudian pelatihan untuk
Pelatih, Manajer, dan Pejabat Dinas/Pembina. Sedangkan jenis pelatihan yang telah
dilaksanakan Kementerian KUKM adalah sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 1. Jenis-jenis Pelatihan yang Telah Diselenggarakan
No. Nama Pelatihan
1. Manajemen Keuangan Koperasi
2. Business Plan/Strategi Pengembangan Usaha
3. Kewirausahaan
4. Simpan Pinjam Pola Syariah
5. Pelatihan Pengantar Bisnis
6. Manajemen Pemasaran dan Distribusi
7. Pelatihan Usaha Simpan Pinjam
8. Pelatihan Usaha Peternakan
9. Pelatihan Untuk Pengelola Koperasi
10. Pelatihan Untuk Perikanan
11. Pelatihan Lain-lain
Jenis Pelatihan ini adalah akumulasi dari Diklat yang pernah diikuti, dan tidak
semua responden mengikuti seluruh jenis pelatihan tersebut.
Berdasarkan sebaran data untuk jenis pelatihan yang pernah diikuti diperoleh
gambaran sebagai berikut :
1. Diklat Kewirausahaan diikuti oleh 65 orang anggota Kopontren (40,1 persen),
Pelatihan untuk Pengelola Koperasi sejumlah 54 orang (33 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya
frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari 10 persen.
2. Pimpinan Ponpes yang mengikuti jenis pelatihan Kewirausahaan sejumlah
18 orang (56,3 persen), Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 16 orang
(50,0 persen), selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari
20 persen.
3. Pengurus Kopontren yang mengikuti jenis Pelatihan Manajemen Keuangan
Koperasi sebanyak 36 orang (49 persen), Kewirausahaan sejumlah 32 orang
(43,2 persen), Pelatihan Usaha Simpan Pinjam sejumlah 54 orang (33,3
persen), Manajemen Simpan Pinjam Poila Syariah 52 orang (32,1 persen),
selebihnya frekuensi intensitas keikutsertaannya kurang dari lima persen.
4. Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan :
Manajemen Keuangan Koperasi dan Kewirausahaan sejumlah 18 orang (62,1
persen), Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha sejumlah 15 orang (51,7
persen), Pelatihan untuk Pengelola Koperasi 13 orang (44,8 persen), selebihnya
frekuensi intensitas pelaksanaannya kurang dari 10 persen.

5.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

Manajer Pelatihan seluruhnya telah melaksanakan jenis pelatihan Manajemen
Keuangan Koperasi sejumlah 12 orang (100 persen), Kewirausahaan sejumlah
8 orang (66,7 persen), Bisnis/Strategi Pengembangan Usaha dan Pelatihan
Untuk Pengelola Koperasi sejumlah 7 orang (58,3 persen).
Aspek Jenis Pelatihan yang Mendukung Usaha Kopontren
Berdasarkan sebaran data dari hasil penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai
berikut :
1. Peserta Pelatihan yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren : Kewirausahaan sejumlah 54 dari 162 orang (33,3 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 52 orang (32,1 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung usaha Kopontren.
2. Pimpinan Pondok Pesantren yang menyatakan jenis pelatihan yang
mendukung usaha Kopontren : Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 19
orang (59,4 persen), Kewirausahaan 16 orang (50 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung.
3. Pengurus Kopontren yang menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren : Manajemen Keuangan Koperasi sejumlah 42 orang (56,8 persen),
Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah 32 orang (43,2 persen), selebihnya
menyatakan kurang mendukung.
4. Pelatih yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah dilaksanakan dan
mendukung usaha Kopontren : Pelatihan Perkoperasian sejumlah 19 orang
(65,5 persen), Kewirausahaan sejumlah 17 orang (58,6 persen), selebihnya
frekuensi intensitas jawabannya kurang.
5. Manajer Pelatihan : yang menyatakan jenis pelatihan yang pernah
dilaksanakan dan mendukung usaha Kopontren : Manajemen Keuangan
Koperasi sejumlah 8 orang (66,7 persen), Kewirausahaan sejumlah 7 orang
(58,3 persen).
6. Rata-rata Pejabat Dinas menyatakan jenis pelatihan yang mendukung usaha
Kopontren adalah : Manajemen Simpan Pinjam Pola Syariah sejumlah 8
orang (57,1 persen), Bisnis Plan/Strategi Pengembangan dan Manajemen
Keuangan Koperasi sejumlah 7 orang (50 persen). Aspek Kendala Pelatihan
Intensitas jawaban responden dalam menjawab kendala dari segi input yang
pernah mereka alami selama mengikuti pelatihan dapat dinarasikan bahwa sebagian
besar responden menjawab sebagai berikut :
1. Tidak seimbangnya antara Penyampaian Teori dan Praktik Lapangan sejumlah
158 orang (48,9persen)
2. Tugas Praktik Lapangan Kurang Diperhatikan, sejumlah 147 orang
(45,5persen)
3. Materi Kurang Mengarah Pada Pengembangan Usaha Kopontren sejumlah
115 orang (35,5persen).


6.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

Aspek Penyelenggaraan Pelatihan
Menurut responden dari kalangan pesantren, penyelenggara pelatihan koperasi
yang pernah mereka ikuti adalah : Dinas Koperasi tingkat Provinsi, Balatkop, Pemda
Provinsi, Kementerian KUKM, LSM, Perguruan Tingi dan Pengurus Kopontren itu sendiri.
Berdasarkan sebaran data yang diperoleh dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Dilaksanakan oleh Balatkop, sejumlah 146 orang (45,2 persen)
2. Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 131 orang (40,6
persen)
6. Aspek Penyelenggaraan Pelatihan Terbaik
Intensitas jawaban responden dalam menjawab penyelenggara pelatihan terbaik
dapat dinarasikan sebagai berikut :
1. Dilaksanakan oleh Balatkop, sejumlah 162 orang (50,2 persen)
2. Dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten/Kotamadya, sejumlah 65 orang (20,1
persen)
6. Aspek Dampak Pelatihan
Dampak pelatihan bagi Kopontren dapat dinilai oleh responden dari sisi
pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang paling terlaksana dengan lebih baik di
lingkungan Kopontren. Dari hasil penilaian ini ternyata sebagian besar responden
menjawab :
1. Pengelolaan Usaha Simpan Pinjam menjadi lebih baik, sejumlah 113 orang
(35 persen).
2. Pengelolaan Administrasi/Tata Usaha Kopontren menjadi lebih baik, sejumlah
63 orang (19,5 persen).
7. Aspek Saran dan Harapan Terhadap Pelatihan
Dari hasil penelitian ini diperoleh rata-rata terbesar jawaban responden yang
menilai bahwa pihak yang dianggap mampu meningkatkan keterampilan dan
pengembangan bagi Kopontren adalah yang dilaksanakan dalam bentuk kerjasama
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Otonomi Daerah setempat. Sedangkan
dari sisi penyelenggara diklat non pemerintah sejumlah 216 orang (66,9 persen) memberi
jawaban bahwa yang diharapkan memberikan pelatihan bagi Kopontren adalah Dekopin
dan Perguruan Tinggi (83 orang atau 25,7 persen). Terkait dengan Program Pelatihan,
tanggapan responden terhadap perbaikan atau penyempurnaan yang perlu diantisipasi
adalah sebagai berikut.
1. Mutu Pelatih, dari sejumlah 164 responden (50,8 persen)
2. Uang Saku Pelatihan, sejumlah 161 orang (49,8 persen)
3. Anggaran Biaya, sejumlah 154 orang (47,7 persen)
4. Kurikulum Pelatihan, sejumlah 140 orang (44 persen)
5. Metode pelatihan, sejumlah 140 orang (43,3 persen)
6. Kelengkapan Peralatan Pelatihan, sejumlah 130 orang (40,2 persen)
7. Bahan-bahan Pelatihan, 109 orang (33,7 persen)
8. Waktu Pelatihan, 105 orang (32,5 persen)
Mengenai waktu atau lama pelaksanaan Diklat bagi Kopontren, rata-rata responden
(147 orang atau 45,5 persen) menjawab lama pelaksanaan pelatihan yang efektif dan
diinginkan adalah tidak lebih dari tujuh hari (1 minggu).
8. Analisis Hubungan antara Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan Ditinjau
dari Kinerja Kopontren
Pengukuran dilakukan dengan probabilitas uji Chi-Square dan hasil uji
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan
kinerja Kopontren. Input pelatihan dimaksud adalah materi, metode, teori, praktek
lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi yang berhubungan dengan kemampuan peserta,
mudah menyelesaikan tugas dan tanggungjawab serta menyesuaikan diri dengan
lingkungan usaha Kopontren, berinteraksi dengan lingkungan pekerjaan, koordinasi
dengan Kopontren atau instansi lain.
Tingkat Keeratan Hubungan Input Pelatihan dengan Hasil Pelatihan dari segi
kinerja Kopontren, diperoleh dari nilai koefisien kontingensi diantara dua variabel sebesar
0,476 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan yang
cukup/sedang, pada tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan ini
menyatakan bahwa kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai 0,476
adalah sebesar 99,99 persen.
Analisis Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Pengetahuan Perkoperasian
Pasca Pelatihan, dilakukan melalui uji Chi-Square. Hasil analisis menyajikan kesimpulan
bahwa terdapat hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan pengetahuan
Perkoperasian Responden Pasca Pelatihan. Artinya, materi, metode, teori, praktek
lapangan, sarana dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi berhubungan dengan pengelolalan usaha jasa dan
barang, simpan pinjam, penjualan/pemasaran pengelolaan bahan baku, pendidikan dan
latihan anggota Kopontren, administrasi dan tata usaha, pengelolaan tehnik produksi,
keuangan dan pergudangan.
Tingkat keeratan kedua variabel tersebut diperoleh dari nilai koefisien kontingensi
sebesar 0,459 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,001. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,459 adalah 99,99 persen.
Analisis Hubungan Antara Input Pelatihan dengan Sosialisasi Pengetahuan
Perkoperasian Pasca Pelatihan, berakhir pada kesimpulan bahwa tidak terdapat
hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan Sosialisasi Responden terhadap
Pengetahuan Perkoperasian yang telah diterima. Artinya materi, Metode, Teori, Praktek
Lapangan, sarana dan Prasarana Pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi tidak berpengaruh terhadap upaya penerapan hasil

7.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

pelatihan perkoperasian bagi warga pesantren lainnya.
Tingkat keeratan kedua variabel ini diperoleh dari nilai koefisien kontingensi yakni
sebesar 0,309 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat kekuatan
yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,456. Tingkat keberlakuan
ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan nilai sebesar
0,456 adalah 54,4 persen.
Analisis Input Pelatihan Dengan Tingkat Partisipasi Masyarakat (kemitraan
Koperasi) memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara input yang diterima
dengan Partisipasi Masyarakat terhadap Kopontren (Kemitraan Kopontren). Artinya
materi, metode, teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format
pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi berpengaruh nyata terhadap
upaya perluasan mitra kerja usaha (partisipasi masyarakat) Kopontren.
Tingkat keeratan hubungan kedua variabel ditunjukkan oleh nilai koefisien
kontingensi sebesar 0,015 yang berarti hubungan antara kedua variabel memiliki tingkat
kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,015. Tingkat
keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan dengan
nilai sebesar 0,015 adalah 98,5 persen.
Analisis Hubungan Input Pelatihan dengan Proses Belajar Mengajar
menyimpulkan adanya hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan proses
belajar mengajar selama pelatihan perkoperasian berlangsung. Artinya materi, metode,
teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan
dan pengembangan wacana koperasi berpengaruh terhadap kesempurnaan proses belajar
mengajar yang dialami peserta selama pelatihan berlangsung (training on going process).
Pada tingkat keeratan kedua variabel tersebut, nilai koefisien kontingensi dari
pengujian dua variabel adalah sebesar 0,710 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,001. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan
hubungan dengan nilai sebesar 0,000 adalah 99,99 persen.
Analisis Hubungan antara Input Pelatihan dengan Pembinaan Hasil Pelatihan
kesimpulan bahwa Tidak ada hubungan antara input pelatihan yang diterima dengan
pembinaan hasil pelatihan perkoperasian yang ada. Artinya materi, metode, teori, praktek
lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format pelaksanaan pelatihan dan
pengembangan wacana koperasi tidak gigih mengupayakan pembinaan hasil pelatihan
bagi peserta dan Kopontren. Dengan kata lain tidak ada upaya untuk melakukan
penyuntikan modal usaha bagi Kopontren yang mengalami kesulitan, pembinaan mutu
hasil usaha, jaringan pemasaran dan kedisiplinan.
Pada tingkat keeratan kedua variabel tersebut, nilai koefisien kontingensi dari
pengujian dua variabel adalah sebesar 0,628 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang cukup/sedang, dengan tingkat keberlakuan sebesar
0,053. Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan
hubungan dengan nilai sebesar 0,628 adalah 94,7 persen.
Analisis terhadap hubungan antara Input Pelatihan dengan Sikap Untuk Pelatihan
Mendatang, memberikan suatu kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara input
pelatihan yang diterima dengan sikap untuk pelatihan perkoperasian mendatang. Artinya
materi, metode, teori, praktek lapangan, saran dan prasarana pelatihan, format


8. JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

pelaksanaan pelatihan dan pengembangan wacana koperasi tidak memiliki perbedaan
yang mendasar diantara sesama responden dari pelbagai pihak tentang memandang
urgennya pelatihan sejenis dilanjutkan untuk masa yang akan datang. Dengan kata
lain umumnya responden memandang pelatihan perkoperasian masih perlu dilanjutkan
dengan banyak perbaikan.
Adapun nilai koefisien kontingensi yang menjadi indikator tingkat keeratan kedua
variabel tersebut adalah sebesar 0,264 yang berarti hubungan antara kedua variabel
memiliki tingkat kekuatan yang rendah, dengan tingkat keberlakuan sebesar 0,310.
Tingkat keberlakuan ini menyatakan kemungkinan (probalita) keberlakuan hubungan
dengan nilai sebesar 0,264 adalah 69 persen pada populasi responden penelitian.
Dilihat dari hubungan variabel-variabel dan tingkat ketepatan hipotesis tersbut,
terdapat makna bahwa input tercapai manakala peserta, pelatih, materi sesuai dengan
persyaratan kompetensi dasar. Sementara itu proses akan menopang program apabila
metode, alat bantu (media), penggunaan waktu serta sarana relevan. Output melukiskan
penguasaan pengetahuan dari peserta pelatihan. Outcome diperlihatkan oleh
keterampilan peserta mengelola pesantren, impact terlihat dari perkembangannya dan
peningkatan peran masyarakat sekitar terhadap kehidupan koperasi.
Dalam Penyusunan Program sebaiknya terlebih dahulu diselenggarakan semiloka
bersama stakeholder (Kopontren) dan perguruan tinggi terkait sehingga program
menyentuh kebutuhan masyarakat yang memerlukan pelatihan (Bottom up oriented).
Tempat pelatihan sebaiknya diadakan secara bergilir di pesantren-pesantren yang
memiliki Kopontren dengan perkembangan positif dan memiliki fasilitas untuk penginapan
bagi sejumlah peserta. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan Diklat tidak terkesan
terlalu formal dan penuh keakraban. Di sisi lain pendekatan tersebut memungkinan
pengenalan dari dekat terhadap kegiatan Kopontren setempat sehingga dapat menjadi
pendorongan serta acuan bagi peserta dari Pesantren lain.
Bagi peserta pelatihan yang berprestasi hendaknya diberikan semacam rewards
seperti pembinaan dan bantuan untuk pemupukan modal usaha serta perluasan jaringan
kemitran dan pemasaran. Pelatihan perkoperasian memerlukan perbaikan program
pelatihan dengan fokus pada perbaikan kurikulum pelatihan, mutu atau kopotensi pelatih/
instruktur, serta rentang waktu pelatihan sekitar tujuh hari (satu minggu). Pihak
Kementerian KUKM hendaknya mensponsori efektifitas jaringan keorganisasian
Koponntren, sehingga terdapat peluang untuk meningkatkan sinergi pengembangan
Kopontren dengan saling memberi informasi tentang potensi pengembangan masingmasing
anggota.
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
1. Pesantren memiliki landasan ideal dan praktis yakni sebagai bagian dari
upaya kegiatan pengembangan dalam proses belajar mengajar di lingkungan
warga Pesantren. Kopontren juga berfungsi sebagai faktor penopang bagi
penumbuhan ekonomi Pesantren yang berakar pada santri dan masyarakat
di lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pemikiran ini Diklat Perkoperasian

9.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

1. akan menjadi salah satu aktivitas yang dapat membantu pengembangan
ekonomi Pesantren.
2. Tingkat akselarasi pertumbuhan dan perkembangan Kopontren terkait erat
dengan partisipasi masyarakat sekitarnya dalam mendukung kegiatan
usahanya. Hal ini berarti Diklat Perkoperasian selayaknya mengarah pada
jenis-jenis pelatihan yang menopang program uaha Kopontren.
3. Dalam prakteknya Diklat Perkoperasian yang pernah diselenggarakan oleh
berbagai penyelenggara, masih memiliki celah-celah kekurangan. Dari sisi
internal adalah kurikulum berupa materi pelatihan kurang sesuai dengan usaha
Kopontren, ketidakseimbangan antara penyampaian teori dan praktek
lapangan, kompetensi pelatih/instruktur yang belum sepadan dengan
kepentingan usaha koperasi pesantren, rentang waktu pelatihan yang belum
sejalan dengan harapan peserta. Selanjutnya, dari sisi eksternal adalah
kurangnya pemupukan modal usaha Kopontren pasca Diklat serta minimnya
program pendampingan dalam hal pemasaran, dan penguatan jaringan
kemitraan Kopontren terhadap sentra industri di sekitar Pesantren. Di samping
itu pihak peserta dan pelatih/instruktur mengeluhkan minimnya insentif selama
pelatihan berlangsung. Sementara pihak manager dan pejabat dinas
mengeluhkan hal yang sama yakni minimnya anggaran biaya pelatihan.
4. Kecenderungan ekonomi masyarakat di Indonesia sekarang ini mengarah
kepada Pola Syariah. Pihak Koperasi Pesantren membutuhkan pengayaan
konsep Koperasi Pola Syariah yang lebih mendalam sehingga tidak ketinggalan
dari pola perbankan konvensional.
5. Pelatihan Koperasi di masa mendatang sepatutnya merupakan hasil pilihan
yang kompromi diantara berbagai kalangan mulai dari pihak penyelenggara/
instansi terkait, peserta dan pengelola koperasi pesantren, perguruan tinggi,
LSM dan lembaga keuangan terkait. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan
bahwa elemen yang berhubungan dengan input, proses, output, outcome
dan impact merupakan tahapan-tahapan yang tidak boleh lepas dari semua
stakeholders.
6. Jaringan assosiasi Kopontren merupakan satu kekuatan organisasi yang dapat
digerakkan sebagai wadah yang mampu mendukung sinergi pengembangan
Kopontren dalam mengatasi segala permasalahan Kopontren di tingkat
nasional, regional dan lokal.
7. Indikator keberhasilan dan kekurangberhasilan pelatihan bagi Kopontren tidak
saja ditentukan oleh tingkat pengorganisasian pelatihan selama proses belajarmengajar
dalam pelatihan. Akan tetapi juga oleh hasil pembinaan pasca
pelatihan. Oleh karena itu Diklat Perkoperasian yang selama ini dilaksanakan
oleh berbagai pihak patut diteruskan dengan melakukan berbagai penyesuaian
dan perbaikan.
5.2. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi sebagai bahan pertimbangan pihak Kementerian KUKM
adalah sebagai berikut:

10.JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006

 1. Kementerian KUKM perlu mengupayakan kerjasama pembinaan Pesantren
dengan Departemen Agama dalam hal pengembangan modal dan sarana
Kopontren. Dengan kata lain pasca pelatihan, Kopontren secara selektif patut
diberi suntikan modal untuk peningkatan diri (self sustaining growth) untuk
aktivitas usahanya.
2. Cakupan peserta Diklat Perkoperasian perlu diperluas dan tidak terfokus pada
Pengurus Kopontren dan Pengelola Pesantren saja, kemudian secara khusus
atau periodik ditujukan kepada kalangan santri.
3. Agar hasil pelatihan koperasi secara intensif diefektifkan oleh alumni peserta
Diklat dalam mengembangkan Kopontren, maka diperlukan upaya perumusan
strategi sistem monitoring dan penyuluhan yang berkesinambungan dari pihak
Kementerian KUKM pasca pelatihan.
4. Perlu penelitian lanjutan tentang respons masyarakat terhadap Kopontren
untuk mendapatkan prespektif Kopontren di tengah masyarakat.
5. Pembinaan Kopontren harus diupayakan secara berimbang antara Pesantren
wilayah Pertanian, Perikanan, Aneka Jasa, Kerajinan dan Ketrampilan teknis,
dan lain-lain. Diperlukan pula fasilitasi pembentukan jaringan kemitraan dengan
sentra-sentra industri di sekitar pesantren. Sehingga konsep koperasi dapat
dituangkan ke dalam wilayah usaha yang lebih luas. Dengan demikian
Kopontren dapat lebih berperan dalam mengantisipasi tengkulak atau praktek
ijon pada masyarakat sekitar Pesantren.
6. Secara periodik ada baiknya diadakan pertemuan antara pihak Kementerian
KUKM, Pihak Manajemen Industri dengan Kyai dan Pengelola Kopontren
untuk memberi penguatan yang berkelanjutan tentang urgensi koperasi di
Pesantren. Dengan demikian sebahagian ekonomi kerakyatan akan berada
dalam nuansa keagamaan (religius) sehingga kekuatan ekonomi tidak
tergantung pada sistem moneter tapi pada mekanisme produksi serta pasar
lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, 1996, Beberapa Substansi Pokok Undang-Undang No. 25 Tahun 1992.
Pengantar Untuk Membangun Kesadaran Berkoperasi, Makalah Disampaikan pada
Pendidikan Perkoperasian Tingkat Lanjutan, Kopma IAIN Jakarta, 19 Desember
1996.
Amin Azis, 1983, Partisipasi Anggota dan Pengembangan Koperasi, Dalam Sri Edi
Swasono (Ed), Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi Dalam Orde
Ekonomi Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1983.
Azyumardi Azra, 1997, Pesantren, Kontinuitas dan Perubahan, dalam Bilik-bilik
Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan Oleh Nurcholis Madjid. Penerbit Paramadina,
Jakarta.
Babbie, Earl., 1998, Survey Research Design, In Chapter The Logic Of Survei Sampling,
(1998).
Badri Yatim, dkk, 1999, Sejarah Perkembangan Madrasah, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI. Jakarta.
Cranton P, 1986, Planning Instruction For Adult Leamers, Wall Emersob. Inc., Toronto,
Canada (1986).
Dawam Rahardjo, M. 1995. Koperasi : Kabar dari Lapangan, dalam Suyono AG dan
Irsyad Muchtar dkk (Ed), Koperasi Dalam Sorotan Pers : Agenda yang Tertinggi
dalam Rangka 50 tahun RI. Pustaka Sinar Harapan, Yogyakarta.
Faisal Ismail, 1997, Paradigma Kebudayaan Islam : Studi Kritis dan Refleksi Historis,
Cetakan ke-2, Titian Ilahi Press, Yogyakarta.
Gagne Robert, M. 1977, The Condition Of Learning, New York : Holt, Rinehart and
Wineton.
Gerlach, Vermon S. And Ely, Donald P. 1971, Teaching and Media : A Sistematic
Approach, Prentice. Hall, Englewood Clifs. N.A.
Hasbullah, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia : Lintas Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, Cetakan ke-2, Raja Graffindo Persada, Jakarta.
Husni Rahim, 2001, Pondok Pesantren Koperasi di Indonesia, Proyek Peningkatan
Tahun Anggaran 2001 Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen
Agama RI.

Review Jurnal ekonomi koperasi 11


JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
117
PENYUSUNAN MODEL
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAKAN TERNAK
UNTUK MENDUKUNG PROGRAM SAPI PERAH
MELALUI KOPERASI

ABSTRACT
Productivity of milk cow in Indonesia are relatively low, due to lackness of poultry
food nutrition. The undeveloped poultry food agrobusiness has become the main factor
for the lackness of poultry food quality, in other side the development of such business
barried by unimplemented organization system that coordinates many sub sytem in
thet system.Most of milk cow owner are low and micro scale entrepreneur, due to it
cooperative have such potention to become an organization in poultry food agrobusiness.
Many barriesr that came in empowering cooperatives to develop agrobusiness of poultry
food could be eliminized as far as commitment that came from those that envolved in
it.

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan susu dalam negeri yang dapat dipasok dari produksi dalam negeri
baru mencapai 45% (360.000 ton) dari total kebutuhan 800.000 ton, sehingga sisanya
masih diimpor dari luar negeri (Australia dan New Zealand, Kompas 2003). Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, maka produksi dalam negeri harus ditingkatkan, baik
kuantitas maupun kualitasnya. Secara nasional, sebagian besar agribisnis sapi perah
merupakan peternakan rakyat yang ditangani koperasi, sehingga sebagian besar (90%)
produksi susu ditangani oleh koperasi. Peternakan rakyat menurut data tahun 2000,
populasi sapi perah sebanyak 354,3 ribu ekor dengan skala kepemilikan 3-4 ekor per
KK dan produktivitas rendah sekitar 9-10 liter per ekor per hari. Hal ini disebabkan
antara lain kualitas pakan yang belum baik dan pemeliharaan yang belum optimal.
Skala usaha KUD sebagian besar (60%) kapasitas produksinya masih rendah, yaitu di
bawah 5.000 liter per hari. Skala kepemilikan sapi perah 3.4 ekor per peternak hasilnya
tidak optimal dengan produktivitas rendah berakibat kehidupan peternak stagnan, bahkan
tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Guna meningkatkan kesejahteraan peternak dan meningkatkan produksi susu
dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu sebagaimana diuraikan di atas, dicanangkan
program pengembangan agribisnis sapi perah dengan meningkatkan skala pemilikan
sapi perah menjadi minimal 10 ekor per peternak. Peningkatan skala permilikan sapi
perah, secara otomatis akan meningkatkan populasi sapi perah, sehingga kebutuhan
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Tahun 2002 (diringkas oleh : Sri Lestari
HS )

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
118
pakan hijauan juga akan semakin meningkat. Pakan hijauan guna menunjang
pengembangan agribisnis sapi perah dengan perkiraan populasi sapi perah di Indonesia
saat ini sekitar 455 ribu ekor merupakan potensi yang tidak kecil, apalagi dengan
peningkatan skala pemilikan sapi perah dari 3-4 ekor per peternak menjadi minimal 10
ekor per peternak. Apabila diasumsikan setiap ekor sapi membutuhkan sekitar 25 kg
per hari hijauan basah (dengan kandungan 87% air), setara dengan 4 kg berat kering,
maka dengan populasi 445.000 ekor, kebutuhan pakan hijauan per hari 11.125 ton dan
dalam satu tahun membutuhkan 4.060.625 ton, belum termasuk kebutuhan sapi potong
maupun rumansia lainnya.
Kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) tersebut sulit dipenuhi oleh masingmasing
peternak, karena hanya memiliki lahan sempit dan sangat tergantung pada
musim. Apalagi dengan meningkatnya kepemilikan sapi per peternak, peternak akan
menghabiskan waktu untuk pemeliharaan dan pengelolaan sapi, tidak memiliki waktu
lagi untuk menyediakan pakan hijauan. Dengan kebutuhan yang besar terhadap pakan
hijauan, merupakan peluang besar bagi koperasi untuk mengembangkan usahanya,
sekaligus meningkatkan perannya dalam agribisnis sapi perah. Dengan masih banyaknya
lahan tidur, tanah-tanah sela di antara pokok tanaman perkebunan besar maupun hutan
milik Perhutani, jerami padi/jagung di daerah produksi yang belum dimanfaatkan, limbah
industri, seperti kulit gabah, dedak padi/ bekatul dari penggilingan padi, dedak atau
bungkil jagung dari industri minyak jagung, cangkang kernel dari industri minyak sawit,
kulit coklat, dan sebagainya, yang semuanya dapat dimanfaatkan menjadi makanan
ternak. tetapi tentu saja harus diproses lebih lanjut yang memerlukan teknologi dan
manajemen yang handal. Koperasi dapat menangkap peluang bergerak di bidang industri
pakan ini dengan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Agribisnis pakan ternak merupakan komoditas hasil pertanian yang mempunyai
prospek cukup baik untuk dikembangkan oleh koperasi, sekaligus meningkatkan peran
koperasi yang selama ini baru berperan dalam produksi dan pemasaran susu belum
melaksanakan agribisnis pakan ternak. Sebelum melakukan kegiatan tersebut perlu
dikaji prospek maupun faktor-faktor yang terkait, seperti: 1) permintaan pasar pakan
ternak; 2) teknologi budidaya pakan hijauan; 3) lokasi pengembangannya; maupun 4)
kemampuan dan kemauan masyarakat melakukan agribisnis pakan ternak, khususnya
pakan hijauan.
Agribisnis pakan ternak khususnya pakan hijauan, merupakan salah satu
komoditas andalan petani di daerah peternakan, memerlukan budidaya yang baik untuk
meningkatkan produksinya. Produksi yang tinggi perlu ditunjang sistem pemasaran
yang efisien agar diperoleh pendapatan yang optimal. Karena hijauan bersifat mudah
rusak, diperlukan pula penanganan pasca panen yang baik, sebelum sampai pada
konsumen. Dengan demikian, penanganan yang baik dari budidaya, produksi,
pemanenan, penanganan pasca panen (pengolahan), dan pemasaran harus merupakan
satu kesatuan manajemen, agar agribisnis pakan ternak tersebut dapat berhasil. Dari
uraian tersebut, beberapa hal perlu dikaji dari penelitian ini, yaitu: 1) model pengembangan
agribisnis pakan ternak sapi perah; 2) efektivitas dan kemampuan koperasi menangani
agribisnis pakan ternak khususnya pakan hijauan.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
119
1.2. Identifikasi, Batasan Masalah
Masalah pokok dalam meningkatkan produktifitas sapi perah a d a l a h
kurang tersedia dan rendahnya kualitas pakan ternak. Masalah ini merupakan
akumulasi dari berbagai masalah dibelakangnya antara lain ; a) dalam penyedian sarana
produksi ; b) lahan untuk budidaya pakan ternak ; c) rendahnya produktivitas dan
kualitas pakan ternak ; d) Berlebihnya HMT pada musim hujan dan kurangnya
ketersediaan HMT pada musim kemarau, e) Belum dilakukannya pengolahan /
penyimpanan HMT berlebih pada musin hujan serta ; e) belum adanya kelembagaan
yang menangani agribisnis HMT. Dari berbagai masalah di atas dapat dirumuskan
permasalah yang dihadapi yaitu; a) Belum adanya pola agribisnis pakan ternak
khususnya HMTyang efektif dan efisien; b) Belum adanya kelembagaan yang
mendukung pelaksanaan agribisnis pakan ternak khususnya HMT.
1.3. Tujuan dan Manfaat Kajian
Adapun tujuan dari kajian ini adalah : 1) merumuskan dan menyusun model
pengembangan agribisnis hijauan makanan ternak ( HMT) sapi perah melalui koperasi;
2) mengetahui kemampuan koperasi dalam menangani agribisnis hijauan makanan
ternak ( HMT ) sapi perah. Manfaat yang diharapkan antara lain: 1) meningkatkan
produktivitas, kualitas, daya saing, dan jaringan usaha koperasi; 2) mendukung
pengembangan agribisnis ternak sapi perah. Output yang ingin dicapai yaitu: 1) model
agribisnis hijauan makanan ternak (HMT) 2) pedoman pengembangan agribisnis pakan
ternak.

II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Sistem agribisnis pakan ternak terdiri dari ; a) Sub sistem agribisnis hulu yaitu
pengadaan sarana produksi seperti pupuk benih dan pestisida ; b). Sub sistem Agribisnis
usaha tani yaitu kegiatan budidaya ; c) Subsistem agribisnis hilir yaitu
pengolahan produksi primer menjadi produk antara, maupun produk primer menjadi
produk akhir dan ; d) Sub sistem pemasaran serta sub sistem penunjang khususnya
kelembagaan yang dalam hal ini adalah koperasi.
Pemberian pakan ternak tidak terbatas pada bahan basah, tetapi juga bahan
kering atau bahan yang diawetkan. Untuk itu maka perlu dipikirkan teknologi dan
biaya investasi. Mengingat skala ekonomi yang dibutuhkan dalam pembangunan pabrik
pakan ternak relative besar, maka koperasi dapat difungsikan sebagai pengelola pabrik
tersebut.
Idealnya keempat sub sistem tersebut merupakan suatu mata-rantai yang semua
aktivitasnya ditangani oleh suatu lembaga untuk memperoleh hasil yang optimal.
Kelemahan salah satu unsur akan mempengaruhi total kinerja dari sIstem, maka
kelembagaan harus mampu mengantisipasi segala kondisi.
2.2. Kerangka Pemikiran
Langkah awal suatu kajian yang komprehensif dan pengujian yang akuntabel
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
120
adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi
keberhasilan. Dari sini dirancang pola yang mampu mengantisipasi berbagai
permasalahan dan pengaruh berbagai faktor. Dengan memperhatikan tujuan antara
dan output yang ingin dihasilkan, maka dapat diilustrasikan kerangka pemecahan
masalahnya seperti pada bagan 1 di bawah ini

MODEL
AGRIBISNIS
PAKAN TERNAK
Subsistem Agribisnis
Hulu
Subsistem Agribis
nis Usaha Tani
Subsistem Agribis
nis Hilir, Pengolahan
AGRIBISNIS
PAKAN TERNAK
Subsystem
Pemasaran
PENINGKATAN
PODUKTIFITAS
TERNAK
Koperasi
(subsistem
penunjang
PENINGKATAN PENDAPATAN
PETANI/PETERNAK

III. METODE KAJIAN
3.1. Lokasi Kajian dan Penetapan Contoh.
Kajian ini dilakukan 6 propinsi contoh yaitu Sumatera Utara , Sumatera Selatan,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Dari tiap Propinsi contoh
ditetapkan 2 Kabupaten contoh dan dari tiap kabupaten contoh ditetapkan 2 Koperasi
contoh. Dari tiap Koperasi contoh ditetapkan 20 orang peternak contoh dan 20 orang
petani contoh
3.2. Metode Kajian
Penelitian dilakukan dengan metode survai dan pilot project (demplot) dengan
cara mengumpulkan data sekunder, baik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten,
maupun data primer yang diperoleh dengan cara wawancara kepada petani, peternak,
pengurus, dan pengelola koperasi, serta pelaksana pilot project. Setiap propinsi dipilih
secara purposive kabupaten dan kecamatan yang memiliki populasi ternak sapi perah
ataupun ternak besar, serta memiliki potensi agribisnis hijauan pakan ternak.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan model analisis ; a) untuk
menyusun bentuk pola agribisnis pakan ternak digunakan analisis tabulasi dan ; b)
untuk mengetahui efektifitas pola yang disusun digunakan model analisis SWOT.
Subsistem

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
121
3.3. Instrumen dan Variable Penelitian
Instrumen penelitan berupa daftar pertanyaan yang diisi oleh enumerator
berdasarkan jawaban dari responden. Yang menjadi responden dalam kajian ini adalah
para petani/peternak, pengurus/manajemen koperasi, dan pejabat yang terkait dalam
program yaitu Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Peternakan, Dinas Pertanian di tingkat
Kabupaten dan Propinsi. Sedangkan untuk pilot project instrumen penelitian terdiri dari
lahan, sarana produksi, peralatan pertanian, alat pengolahan, organisasi koperasi dan
pelaksana. Variabel kajian adalah semua faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan
pola agribisnis pakan ternak yang bersumber dari keempat subsistem agribisnis yaitu :
1) Subsistem Agribisnis hulu terdiri dari, sarana dan peralatan produksi, transportasi
dan permodalan ;
2) Susistem Kegiatan Usaha Tani : ketersediaan lahan, sarana dan peralatan produksi,
potensi manusia, transportasi, permodalan, teknologi budidaya
3) Subsistem Pengolahan : SDM, peralatan, permodalan, teknik pengolahan,
transpotasai bahan baku dan produksi serta penyimpanan
4) Subsistem pemasaran : harga jual, pola pemasaran, selera pengguna, barang
subsitusi, harga jual, dan transportasi
5) Subsistem kelembagaan : Jumlah anggota, peternak, jenis usaha, pola pelayanan
, serta hak dan kewajiban anggota
3.4. Teknik Bagan Alur Analisis
Teknis bagan alur analisis dapat digambarkan seperti bagan 2 di bawah ini
Analisis Efektifitas
Model Agribisnis
HMT
Analisis Agribisnis
Penyediaan Sarana
Analisis Kegiatan
usaha
Analisis Pengolahan
Hasil
Analisis
Pemasaran
Analisis
Produktifitas
Agribisnis HMT
Analisis
Kelembagaan
(penunjang)
Bagan 2 : Diagram Alir Kerangka Pemikiran

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
122

IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Agribisnis HMT di Beberapa Lokasi Penelitian
1). Sumatera Utara
Di Sumatera Utara kajian ini mengambil lokasi daerah peternakan sapi potong (
Kabupaten Karo dan Kabupaten Deli Serdang). Baru sebagian kecil peternakyang telah
melakukan budidaya HMT ( rumput gajah dan raja ) dan relative tidak luas dan kadangkadang
hanya di pinggir-pinggir tegalan/sawah atau di sela-sela tanaman pokok guna
memenuhi kebutuhan HMT ternaknya sendiri, sedang peternak yang tidak memiliki
lahan atau tidak menanam sendiri rumput, kebutuhan HMTnya dengan mengandalkan
rumput liar di pekarangan, jalanan, lapangan atau sela-sela tanaman perkebunan atau
ke hutan. Pada musim penghujan kebutuhan HMT bisa tercukupi dan rumput berlebih,
sebaliknya pada musim kemarau kebutuhan HMT mengalami kekurangan, untuk itu
sebaiknya kelebihan rumput pada musim penghujan bisa diolah menjadi silase atau
bentuk kering (hay) yang bisa dimanfaatkan pada musim kemarau. Disinilah pentingnya
Koperasi menangani agribisnis HMT paling tidak mendorong peternak melakukan
pengolahan/penyimpanan HMT yang berlebih pada musim penghujan, sehingga
kebutuhan HMT terjamin sepanjang tahun, sebab sebagian peternak telah memperoleh
pelatihan tentang tehnik pengolahan HMT menjadi silase atau dalam bentuk kering (
hay ). Dengan memenuhi dan menjaga kualitas dan jumlah pakan sepanjang tahun
akan menjaga jumlah dan kualitas produksi susu sepanjang tahun.pula. Disamping itu
koperasi dapat berperan dalam sosialisasi pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami
padi, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ketela, ubi jalar dan sebagainya yang banyak
terdapat di daerah ini sebagai HMT, sebagai contoh jerami padi dengan pengolahan
amoniasi yang cukup sederhana dapat menjadi HMT yang memiliki kandungan protein
cukup baik.
2). Sumatera Selatan
  Di Sumatera Selatan Kajian ini mengambil sampel 4 koperasi yaitu KUD Tunas
Muda, KUD Tri Jaya, dan KUD Mukti Jaya di Kabupaten Musi Banyuasin ,
serta KUD Cipta Mandiri di Kaupaten Ogan Komering Ulu,
q Di Kecamatan Rambutan di wilayah kerja KUD Tunas Muda memiliki populasi
ternak : kerbau sebanyak 300 ekor kerbau dewasa, 200 ekor pedet, sapi
sebanyak 150 ekor dewasa , 50 ekor pedet dan kambing 50 ekor. Untuk
memenuhi kebutuhan pakannya , pada jam 8 pagi ternak hanya dilepas begitu
saja di padang penggembalaan seluas 3 Km persegi dan pada sekitar jam 4
sore ternak digiring pulang ke kandang. Dengan demikian kebutuhan HMT hanya
dicukupi dari padang penggembalaan saja, meskipun nampaknya belum
mencukupi, hal ini terlihat dari performance sapi/kerbaunya yang nampak kuruskurus,
mungkin kapasitsnya sudah tidak mencukupi bagi populsi ternak yang
ada. Peternak belum terbiasa bertanam HMT dan petani juga belum berminat
membudidayakannya karena takut tidak laku dijual.
  Di daerah perkebunan kelapa sawit di wilayah kerja KUD Tri Jaya, untuk mengisi
waktu senggang petani sawit menunggu musim panen, pemerintah melalui Dinas

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
123
Peternakan memberikan gaduh ternak sapi potong sebanyak 75 ekor pada 3
kelompok tani di Desa Betung. Untuk memenuhi kebutuhan HMTnya dilakukan
budidaya rumput raja di 6 lokasi dengan luas 1,5 Ha untuk masing-masing
lokasi. Penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan dilakukan oleh kelompok
tani, sedang koperasi berperan dalam penetapan lokasi dan kelompok. Sedang
di Desa Bumi Kencana wilayah kerja KUD Mukti Jaya memperoleh gaduhan
58 ekor sapi potong, yang pada saat penelitian telah menjadi 95 ekor untuk 2
kelompok. Untuk memenuhi kebutuhan HMTnya telah dibudidayakan rumput
raja di dua lokasi tersebut dengan luas masing-masing 1,5 Ha. Penanaman,
pemeliharaan, dan pemanenan dilakukan oleh kelompok tani, sedang koperasi
berperan dalam penetapan lokasi dan kelompok.
q Di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) diberikan bantuan dana bergulir
peningkatan ternak sapi potong dari Kementerian Koperasi dan UKM sebanyak
2400 ekor sapi bakalan , diberikan kepada 340 orang petani peternak yang
tergabung dalam kelompok petani peternak yang tersebar di 19 desa dan 8
Kecamatan. Koperasi sapi Potong OKU Cipta Mandiri yang berdiri pada tahun
2002, berperan melakukan pembinaan kepada petani peternak , penetapan
lokasi kandang, penetapan lokasi lahan budidaya HMT, dan koordinasi dengan
Pemda dan instansi terkait. Untuk memenuhi kebutuhan HMTnya telah
dipersiapkan oleh Pemda lahan seluas 300 Ha, kebutuhan bibit, pupuk dan
biaya pengolahan tanah.
3). Jawa Barat
  Untuk memepercepat pertumbuhan sektor peternakan, Dinas Peternakan
Propinsi Jawa Barat menempuh strategi yang mengarah pada pengembangan
kawasan peternakan, sebagai contoh daerah Lembang dan Cisarua merupakan
kawasan ternak sapi perah, dengan populasi paling besar dibanding daerah
lain. Namun dengan terjadinya alih fungsi lahan, telah mendesak lahan pertanian
yang limbahnya dimanfaatkan untuk pakan hijauan, memberikan pengaruh besar
terhadap eksistensi peternakan sapi perah di wilayah tersebut, dengan lain
perkataan jumlah ternak telah melampoi daya dukungnya sehingga HMT harus
didatangkn dari luar daerah tersebut.
q Dalam rangka penyediaan HMT sepanjang tahun dan berkualitas, dilakukan
pembinaan terhadap kebun bibit rumput raja/gajah dalam rangka memenuhi
kebutuhan kebun rumput produsi di 5 kabupaten yaitu Tasikmalaya, Ciamis,
Subang, Bandung dan Sukabumi. Untuk itu kebun bibit BPT- HMT Cikole telah
mengembangkan 32 jenis rumput dan legium yang dapt dibudayakan dan
menyebarkan bibit rumput 20.000 pols dan BPT HMT Bunikasih telah
menyebarkan 10.000 pols bibit rumput. Selain itu juga telah dilakukan budidaya
kebun rumput seluas 10 H di Kab. Garut dan 5 Ha di Kab Ciamis. Pembinaan
penyediaan HMT termasuk pula inventarisasi limbah pertanian yang dapat
digunakan sebagai HMT di 16 Kabupaten.
q Dalam kajian ini untuk melihat pengembangan agribisnis HMT oleh koperasi,
petani, dan peternak di Propinsi Jawa Barat dipilih 3 Koperasi di Kabupaten
Bandung dan 1 koperasi di Kabupaten Bogor, yaitu KUD Pasir Jambu, KUD
Tani Mukti, KPSPU Lembang, dan KPPS Bogor.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
124
Dari 4 koperasi contoh tersebut ternyata belum ada koperasi yang telah
melakukan agribisnis HMT secara menyeluruh (budidaya, pengolahan, dan pemasaran
), dalam hal ini koperasi baru berperan membantu petani/peternak, kelompok tani dalam
melakukan agribisnis HMT yaitu dalam hal penyeiaan lahan, bibit, pupuk, dan biaya
penglahan tanah. Dari keempat koperasi tersebut hanya satu koperasi (KUD Pasir
Jambu) yang telah melakukan budidaya HMT, yang terbatas untuk kebutuhan pakan
sapi perah milik koperasi sendiri (60 ekor).
KUD Pasir Jambu, dalam rangka membantu peternak/petani melakukan budidaya
HMT telah melakukan kerjasama dengan Pemda menyediakan lahan seluas 36 Ha di
lima lokasi untuk 36 peternak yang mana untuk sementara masing-masing peternak
mendapat jatah 0,5 Ha dengan status sewa dan sisanya dikelola oleh koperasi bekerja
sama dengan 3 kelompok tani membudidayakan HMT untuk sapi perah milik koperasi.
Selain itu Koperasi Pasir Jambu Juga melakukan kerja sama dengan Perhutani, Dinas
Pertanian, dan kelompk tani melakukan agribisnis terpadu pada lahan seluas 250 Ha
untuk bertanam kopi, jeruk Bali, jagung manis dan rumput gajah,
Sebagian ternak sapi perah di KUD Tani Mukti ditempatkan pada suatu kawasan/
koloni: Baru Sampeu untuk memudahkan pembinaan dan efisiensi usaha, kandang
yang sudah selesai telah menampung 310 ekor dan dalam proses penyelesaian
berkapasitas 600 ekor. Untuk memenuhi kebutuhan HMT khususnya di lokasi kawasan
ternak, koperasi beerjasama dengan kelompok tani melakukan agribisnis HMT, yang
mana koperasi telah memperoleh ijin untuk mengelola 100 Ha lahan milik Dinas
Kehutanan. Koperasi telah melakukan sosialisasi tentang budidaya rumput gajah/raja,
yang mana sebagian petani juga telah memperoleh pelatihan dari Victorian dan JICA
dalam hal penyimpanan /pengolahan HMT, Pola Pengembangan agribisnis HMT ini
direncanakan sebagai berikut: 1) budidaya HMT dilakukan oleh petani/kelompok tani,
2). Pemanenan dilakukan oleh petani, hasilnya dijual/ ditampung oleh kopersi, 3) bila
terdapat kelebihan HMT khususnya pada musim penghujan, koperasi akan melakukan
pengolaan menjadi silase atau compete feed yang akan dijual pada saat produksi HMT
berkurang/ musim kemarau.
KPSPU Lembang, yang berlokasi di Kab Lembang daerah merupakan kawasan
ternak sapi perah, dengan populasi paling besar dibanding daerah lain. Namun dengan
terjadinya alih fungsi lahan, telah mendesak lahan pertanian yang limbahnya
dimanfaatkan untuk pakan hijauan, memberikan pengaruh besar terhadap eksistensi
peternakan sapi perah di wilayah ini, dengan lain perkataan jumlah ternak telah melampoi
daya dukungnya sehingga HMT harus didatangkan dari luar daerah tersebut.
Peternak sapi perah anggota KPPS Bogor sekitar 50 % berlokasi kawasan
usaha peternakan (Kunak) Cibungbulan dengan luas 140 Ha dan sebagian berlokasi
diluar Kunak yaitu Ciawi, Cilebut, Ciapus, Cisarua, Kebun Pedes, dan lain sebagainya.
Jumlah peternak yang terdaftar di Kunak Cibungbulan sebanyak 125 orang, masingmasing
mendapat fasilitas: lahan seluas 4250 meter persegi, rumah tipe 21, kandang
berkapasitas 10 ekor, dan sarana air bersih 1 unit. Untuk memenuhi kebutuhan HMT,
masing-msing peternak melakukan budidaya HMT yaitu rumput gajah seluas 3000 .
4000 meter persegi. Kebutuhan HMT 30 . 40 Kg per ekor per hari sehingga peternak
yang memiliki 10 ekor sapi kebutuhan HMTnya belum terpenuhi apalagi pada musim
kemarau, maka peternak mencampur dengan rumput lapang dari daerah sekitar atau

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
125
mencari ke luar daerah seperti Bogor, Depok Ciawi dengan menyewa mobil secara
bersama-sama. Peran koperasi dalam buidaya HMT tersebut adalah mencarikan bibit
rumput yang berasal dari Balitnak, Citayem, dan Depok. Untuk menjamin tersedianya
HMT sepanjang tahun makakoperasi akan melakukan agribisnis HMT bekerjasama
denga kelompok tani di sekitar Gunung Giri dan telah dilakukan pendekatan dengan
pamong desa dan telah disetujui untuk memanfaatkan lahan kosong seluas 30 Ha,
namun belum bisa dilaksanakan krena modal koperasi masih terbatas.
4). Jawa Tengah
Di daerah peternakan ( Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten) khususnya
peternakan sapi perah sebagian besar peternak telah melakukan budidaya HMT ( rumput
gajah dan raja ) meskipun relative tidak luas dan kadang-kadang hanya di pinggirpinggir
tegalan/sawah atau di sela-sela tanaman pokok guna memenuhi kebutuhan
HMT ternaknya sendiri, sedang peternak yang tidak memiliki lahan atau tidak menanam
sendiri rumput, kebutuhan HMTnya dengan mengandalkan rumput liar di pekarangan,
jalanan, lapangan atau sela-sela tanaman perkebunan. Pada musim penghujan
kebutuhan HMT bisa tercukupi dan rumput berlebih, sebaliknya pada musim kemarau
kebutuhan HMT mengalami kekurangan, untuk itu sebaiknya kelebihan rumput pada
musim penghujan bisa diolah menjadi silase atau bentuk kering (hay) yang bisa
dimanfaatkan pada musim kemarau. Disinilah pentingnya Koperasi menangani agribisnis
HMT paling tidak melakukan sosialisasi tentang pengolahan/penyimpanan HMT yang
berlebih pada musim penghujan, sehingga kebutuhan HMT terjamin sepanjang tahun.
Dengan memenuhi dan menjaga kualitas dan jumlah pakan sepanjang tahun akan
menjaga jumlah dan kualitas produksi susu sepanjang tahun.pula. Disamping itu koperasi
dapat berperan dalam sosialisasi pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami padi,
jagung, kedelai, kacang-kacangan, ketela, ubi jalar da sebagainya yang banyak terdapat
di daerah ini sebagai HMT, sebagai contoh jerami padi dengan pengolahan amonasi
yang cukup sederhana dapat menjadi HMT yang memiliki kandungan protein cukup
baik.
5), Jawa Timur
q Di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2001 populasi ternak rumansia besar
sebanyak 2.788.361 ekor, yang terdiri dari 2.514.341ekor sapi potong, 130.322
ekor sapi perah, 116.314 ekor kerbau, dan 26.784 ekor kuda. Dari 130.322 ekor
sapi perah 70 % berada di Kabupaten Malang ( 49.995 ekor ) dan Kabupaten
Pasuruan ( 39.841 ekor), selebihnya tersebar di Kabupaten Tulungagung, Blitar,
Kediri, Probolinggo, Jombang, Lumajang, Sidoarjo, Mojokerto, Trenggalek, dan
Kota Surabaya. Sedang rumansia kecil ( kambing, domba, dan babi ) sebanyak
3.682.756 ekor.
q Untuk menjaga tingkat populasi, mutu produksi, maupu reproduksi harus
dipenuhi kebutuhan pakan sepanjang tahun, baik dalam bentuk konsentrat
maupun HMTnya. Di Propinsi Jawa Timur terdapat 6 BPT-HMT yang mempunyai
tugas melakukan pembibitan HMT, bila perlu memungkinkan melakukan
demplot-demplot agribisnis HMT sebagai percontohan terutama di kantongkantong
rumansiabaik rumansiabesar maupun kecil. Juga dilakukan Gerakan

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
126
Masyarakat Menanam Rumput Raja secara Serempak ( Gemarrampak ), yang
mana pada tahun 2001 dilaksanakan dua lokasi di Kabupaten Pacitan dan
Ponorogo, yang masing-masing lokasi mendapat 25.000 stek bibit HMT .
q Kajian mengenai agribisnis HMT ini di Jawa Timur mengambil sampel di
Kabupaten Malang, yaitu KUD Batu dan KUD Karangposo. Populasi sapi perah
milik anggota KUD Batu pada tahun 2001 sebanyak 4758 ekor. Untuk membantu
peternak memenuhi kebutuhan HMT , KUD ini telah melakukan budidaya HMT
( rumput gajah) seluas 3 Ha dengan biaya penanaman sekitar Rp 8 juta, yang
mana dalam pelaksanaan penanamannya KUD bekerjasama dengan peternak
anggotanya. Budidaya HMT ini masih bisa dikembangkan melalui kerjasama
dengan Perhutani atau perorangan untuk memanfatkan tanah kosong miliknya.
Perhutani sendiri ternyata telah melakukan budidaya HMT meskipun masih
relative sempit yaitu seluas 005 -0.25 Ha. Dari 5 peternak yang dijadikan ampel
ternyata seluruhnya telah melakukan budidaya HMT untuk kebutuhan ternaknya
sendiri, sedang dari 5 orang petani yang dijadikan sampel ternyata 2 orang
diantaranya telah melakukan budidaya HMT yang hasilnya dijual lansung ke
peternak atau pedagang perantara. Agribisnis HMT ternyata telah dilakukan
oleh masyarakat didaerah ini, terlihat dari adanya pedagang-pedagang rumput
yang mendirikan kios-kios semi permanen di pinggir-pinggir jalan, dan adanya
pasar rumput di dekat pasar sapi.
q Populasi sapi perah milik anggota KUD Karangploso pada tahun 2001 sebanyak
1.695 ekor, pengurus menyadari pentingnya melakukan budidaya HMT untuk
membantu peternak menyiapkan kebutuhan HMT sepanjang tahun, apalagi
kebanyakan peternak tidak memiliki lahan untuk bertanam rumput, sedang
peternak/petani lebih memilih bertanam komoditas pertanian seperti padi, jagung,
kacang tanah, kedelai, maupun sayur-sayuran di lahan miliknya dari pada
bertanam rumput, namun KUD ini belum melaksanakan agribisnis HMT. Dari 5
orang peternak yang dijadikan sampel ternyata 3 orang telah melakukan
budidaya HMT meskipun pada area yang relative sempit, disela-sela atau
dipinggiran tanaman pokok, sedang 2 peternak lainnya tidak melakukan budidaya
HMT karena tidak memiliki lahan dan untuk kebutuhan HMTnya dengan
mengandalkan rumput liar atau beli. Dari 5 orang petani yang dijadikan sampel
seluruhnya belum tertarik bertanam rumput karena kepemilikan lahannya relative
sempit dan lebih memilih bertanam komoditas pertanian seperti padi, jagung,
kacang tanah, kedelai, maupun sayur-sayuran. Meskipun petani sampel belum
melakukan budidaya HMT, namun ternyata di wilayah ini sudah ada 2 orang
petani melakukan budidaya HMT masing-masing 0,25 Ha dan 0,5 Ha, serta di
2 lokasi Perhutani telah melakukan budidaya HMT dengan luas masing -masing
0,25 Ha dan 0,5 Ha, yang hasilnya dijual langsung pada peternak atau pada
pedagang perantara. Seperti halnya masyarakat di wilayah KUD Batu,
masyarakat disini juga telah tertarik dengan agribisnis HMT, terlihat dari adanya
pedagang-pedagang rumput yang mendirikan kios-kios semi permanen di
pinggir-pinggir jalan, dan adanya pasar rumput di dekat pasar sapi.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
127
6) Kalimantan Barat
Di daerah peternakan sapi potong ( Kabupaten Pontianak) sebagian besar
peternak telah melakukan budidaya HMT ( rumput gajah dan raja ) meskipun relative
tidak luas dan kadang-kadang hanya di pinggir-pinggir tegalan/sawah atau di sela-sela
tanaman pokok guna memenuhi kebutuhan HMT ternaknya sendiri, sedang peternak
yang tidak memiliki lahan atau tidak menanam sendiri rumput, kebutuhan HMTnya
dengan mengandalkan rumput liar di jalanan, lapangan atau di sela-sela tanaman
perkebunan. Pada musim penghujan kebutuhan HMT bisa tercukupi dan rumput
berlebih,sebaliknya pada musim kemarau kebutuhan HMT menglami kekurangan, untuk
itu sebaiknya kelebihan rumput pada musim penghujan bisa diolah menjadi silase atau
bentuk kering (hay) yang bisa dimanfaatkan pada musim kemarau. Disinilah pentingnya
Koperasi menangani agribisnis HMT paling tidak melakukan sosialisasi tentang
pengolahan/penyimpanan HMT yang berlebih pada musim penghujan, sehingga
kebutuhan HMT terjamin sepanjang tahun. Dengan memenuhi dan menjaga kualitas
dan jumlah pakan sepanjang tahun akan menjaga jumlah dan kualitas produksi susu
sepanjang tahun.pula. Disamping itu koperasi dapat berperan dalam sosialisasi
pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami padi, jagung, kedelai, kacang-kacangan,
ketela, ubi jalar da sebagainya yang banyak terdapat di daerah ini sebagai HMT, sebagai
contoh jerami padi dengan pengolahan amoniasi yang cukup sederhana dapat menjadi
HMT yang memiliki kandungan protein cukup baik.
4.2. Pengolahan HMT
Hijauan makanan ternak (HMT) seperti hasil pertanian lainnya bersifat mudah
rusak, maka HMT yang berlebih pada musim hujan harus dilakukan pengolahan/
penyimpanan untuk memenuhi kebutuhan HMT pada musim kemarau. Pengolahan
HMT dapat dilakukan dalam dua cara yaitu dalam bentuk basah atau silase atau dalam
bentuk olahan berupa bahan kering dan bahan padatan (hay). Cara pengolahan yang
umum ditemukan (konvensional) adalah : a) pembuatan bahan pakan kering (hay)
dengan penjemuran atau pengeringan, sampai dengan kadar air maksimal 18 % dan ;
b) Pengolahan dalam bentuk silase: – rumput atau ligumenosa dipotong-potong 5 . 10
cm, – mencampur hijauan dengan dedak , setiap 100 kg HMT dengan 2 kg dedak, -
dimasukkan ke dalam lubang tanah atau kantong plastik, dipadatkan dan dibiarkan
selama lebih kurang 1 minggu . 3 bulan sampai volume HMT maksimal 30 % dari
awalnya, dengan kadar air antara 30-40 %. Secara setengah teknis dapat dilakukan
dengan menggunakan alat pressur mekanik atau pemanasan buatan dengan
menggunakan berbagai jenis bahan bakar.
4.3. Permasalahan Dalam Agribisnis HMT
Permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis HMT antara lain: a) oleh koperasi
adalah dalam hal permodalan karena pengajuan kredit perbankan untuk kegiatan ini
belum pernah disetujui, 2) petani belum banyak yang tertarik melakukan agribisnis
HMT karena lebih memilih melakukan agribisnis komoditas pertanian seperti padi, jagung,
kacang tanah, kedelai, maupun sayur-sayuran, takut tidak laku.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
128
4.4. Penyediaan Lahan
Dalam hal penyedian lahan untuk agribisnis HMT di seluruh lokasi kajian tidak
jadi masalah, beberapa koperasi bekerja sama dengan Dinas Kehutanan, Perkebunan,
Perhutani, Pemda/Desa, sehingga koperasi dapat memanfaatkan lahan-lahan kosong
dengan syarat-syarat tertentu. Sebagai contoh, KUD Pasir Jambu dapat memanfaatkan
lahan milik Perhutani seluas 250 Ha, dengan syarat dimanfaatkan untuk agribisnis
terpadu, yaitu tanaman tahunan berupa kopi dan jeruk bali, jagung manis, dan rumput
gajah.
4.5. Model-model Agribisnis HMT
Agribisnis HMT dalam hal ini rumput gajah atau raja, dapat dikelompok-kan dalam
3 model, yaitu:
1). Budidaya/agribisnis HMT oleh kelompok peternak (15 . 25 orang ) yang
menyediakan lahan sekitar 20.25 Ha atau peternak perorangan yang memiliki
lahan seluas 0,25 Ha untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya
masing masing;
2). Budidaya/agribisnis HMT oleh petani baik perorangan ataupun kelompok.
Petani perorangan menggunakan lahan 0,25 Ha,sedang yang kelompok
(15.25 orang) menyediakan lahan sekitar 20.25 Ha. Di sini, petani langsung
menyediakan lahan, melakukan budidaya, pengolahan, dan memasarkannya
kepada peternak langsung atau koperasi. Sedangkan koperasi /KUD berperan
dalam hal: a) penyediaan lahan (bekerja sama dengan Pemda, Dinas
Kehutanan/Perkebunan); b) penyediaan bibit (bekerja sama dengan Dinas
Pertanian/Peternakan, BPT-HMT; c) mengkoordinir petani/kelompok tani, dan
peternak/kelompok peternak dalam pelaksanaan budidaya; d) mengkoordinir
pemanenan; e) memasarkan HMT; f) melakukan pengolahan kalau produksi
HMT berlebih dan tidak dapat dijual langsung;
3). Pelaksanaan agribisnis HMT dari budidaya, pemanenan, pemasaran
sampai pengolahan dilaksanakan oleh koperasi/ KUD, penyediaan lahan
(bekerja sama dengan Pemda, Dinas Kehutanan/Perkebunan), hasil produksi
HMT sebagian besaruntuk memenuhi kebutuhan ternak milik Koperasi/
KUD, sebagian dijual kepada peternak, dan kelebihannya dilakukan
pengolahan, yaitu dalam bentuk kering (Hay) dan dalam bentuk segar
(Sylase)
4.6. HMT Limbah Pertanian Dan Perkebunan
Di samping HMT diperoleh dari budidaya sebagaimana diuraikan di atas, hijauan
makanan ternak juga dapat diperoleh dari limbah tanaman pangan dan perkebunan,
baik yang dilaksanakan di sawah, tegalan, maupun areal perkebunan yang bervariasi
sesuai potensi daerah masing-masing, seperti lamtoro, jerami, kedelai, jagung, kacangkacangan,
maupun limbah industri, seperti dedak, bekatul, ampas tahu, cangkang,
kernel, yang banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak, baik sebagai pakan langsung
maupun dilakukan pengolahan sederhana terlebih dahulu tergantung kemampuan
peternak ataupun koperasi .
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
129
4.7. Peran Koperasi dalam Agribisnis HMT
q Koperasi idealnya merupakan lembaga yang mampu mengalokasikan
sumberdaya secara efisien. Dalam agribisnis HMT ini dapat dikatakan belum
berperan secara optimal, sebagai contoh di Sumatera Selatan , di Kabupaten
Musi Banyuasin peran koperasi baru membantu Dinas Peternakan menetapkan
lokasi dan kelompok yang akan diberi sapi gaduhan. Sedang Koperasi Sapi
Potong OKU Cipta Mandiri, telah berperan melakukan pembinaan kepada petani
peternak , penetapan lokasi kandang, penetapan lokasi lahan budidaya HMT ,
penyediaan bibit, pupuk dan koordinasi dengan Pemda dan instansi terkait
dalam rangka pengelolaan sapi potong bantuan program pengembangan
sapipotong dari Kementerian Koperasi dan UKM,
q Untuk daerah Jawa Koperasi /KUD telah berperan dalam hal: a) penyediaan
lahan (bekerja sama dengan Pemda, Dinas Kehutanan/Perkebunan); b)
penyediaan bibit (bekerja sama dengan Dinas Pertanian/Peternakan, BPTHMT;
c) mengkoordinir petani/kelompok tani, dan peternak/kelompok peternak
dalam pelaksanaan budidaya; d) mengkoordinir pemanenan; e) memasarkan
HMT; f) melakukan pengolahan kalau produksi HMT berlebih dan tidak dapat
dijual langsung;

4.8. Analisis SWOT
Analisis SWOT terhadap efektifitas agribisnis HMT oleh koperasi menunjukkan
; a) Streghth: terbatas, pasar HMT jelas, teknologi pengolahan HMT cukuh
sederhana,mudah dikerjakan dan bahan baku melimpah pada musim penghujan ; b)
Weakness, antara lain: kesulitan permodalan karena pengajuan kredit perbankan untuk
kegiatan ini belum pernah disetujui, merupakan usaha sampingan, c) Opportunities:
permintaan susu-daging meningkat, skala usaha gribisnis sapiperah/potong meningkat,
dukungan Pemda, Dinas Perkebunan/kehutanan dalam penyediaan lahan, dukungan
BP-HMT Dinas Peternakan dalam penyediaan bibit hijauan makanan ternak (HMT),
kebanyakan peternak hanya memiliki lahan terbatas, elastisitas permintaan HMT tinggi
peternak belum melakukan pengolahan/penyimpanan HMT yang berlebih pada musim
hujan, tenaga kerja disektor pertanian semakin berkurang, d). Kebijakan pemerintah
belum mendukung terutama dalam hal permodalan, adanya perubahan sistim perpajakan
pertambahan nila (PPN), kebijakan impor susu masih tinggi

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Budidaya hijauan makanan ternak ( HMT) khususnya rumput raja dan rumput
gajah telah dilaksanakan oleh peternak maupun kelompok peternak untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Lahan yang digunakan masih sangat terbatas, di
pingir-pinggir sawah atau tegalan, sebagai tanaman sela diareal hutan atau
perkebunan. Sebagian peternak belum bertanam HMT melainkan hanya
mengandalkan rumput liar di jalan-jalan, di sawah, di tegalan, maupun di
lapangan-lapangan, padang penggembalaan.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
130
2. Hampir di seluruh lokasi penelitian, pada musim penghujan kebutuhan hijauan
makanan ternak (HMT) masih bisa tercukupi, namun dengan semakin
meningkatnya populasi ternak, baik sapi perah maupun sapi potong, kebutuhan
HMT (hijau makanan ternak) khususnya rumput gajah belum tercukupi apalagi
pada masa kemarau, sehingga pengembangan agribisnis HMT sangat perlu
dilakukan. Belum semua koperasi melakukan agribisnis HMT, meskipun hampir
seluruh responden menyatakan koperasi bekerja sama dengan kelompok tanilah
yang tepat dan layak melakukan agribisnis HMT. Di Jawa Barat hanya satu
koperasi (KUD Pasir Jambu) yang telah melakukan budidaya HMT, yang terbatas
untuk kebutuhan pakan sapi perah milik koperasi sendiri (60 ekor), sedang di
Jawa Timur baru KUD Batu yang telah melakukan budidaya HMT seluas 3 Ha.
3. Permasalahan yang dihadapi dalam agribisnis HMT antara lain: a) oleh koperasi
adalah dalam hal permodalan karena pengajuan kredit perbankan untuk kegiatan
ini belum pernah disetujui, 2) petani belum banyak yang tertarik melakukan
agribisnis HMT karena lebih memilih melakukan agribisnis komoditas pertanian
seperti padi, jagung, kacang tanah, kedelai, maupun sayur-sayuran, takut tidak
laku
4. Dalam hal penyedian lahan untuk agribisnis HMT di seluruh lokasi kajian tidak
jadi masalah, beberapa koperasi bekerja sama dengan Dinas Kehutanan,
Perkebunan, Perhutani, Pemda/Desa, sehingga koperasi dapat memanfaatkan
lahan-lahan kosong dengan syarat-syarat tertentu.
5. Di samping HMT diperoleh dari budidaya sebagaimana diuraikan di atas, hijauan
makanan ternak juga dapat diperoleh dari limbah tanaman pangan dan
perkebunan, baik yang dilaksanakan di sawah, tegalan, maupun areal
perkebunan yang bervariasi sesuai potensi daerah masing-masing,
6. Agribisnis HMT, dalam hal ini rumput gajah atau raja, dapat dikelompok-kan
dalam 3 model, yaitu:
1). Budidaya/agribisnis HMT oleh kelompok peternak (15 . 25 orang )
menyediakan lahan sekitar 20.25 Ha atau peternak perorangan yang
memiliki lahan seluas 0,25 Ha untuk memenuhi kebutuhan pakan
ternaknya masing masing;
2). Budidaya/agribisnis HMT oleh petani baik perorangan ataupun kelompok.
Petani perorangan menggunakan lahan 0,25 Ha, sedang yang
kelompok (15.25 orang) menyediakan lahan sekitar 20.25 Ha. Di sini,
petani langsung menyediakan lahan, melakukan budidaya,
pengolahan, dan memasarkannya kepada peternak langsung atau koperasi.
Sedangkan koperasi /KUD berperan dalam hal: a) penyediaan lahan (bekerja
sama dengan Pemda, Dinas Kehutanan/Perkebunan); b) penyediaan
bibit (bekerja sama dengan Dinas Pertanian/Peternakan, BPT-HMT; c)
mengkoordinir petani/kelompok tani, dan peternak/kelompok peternak dalam
pelaksanaan budidaya; d) mengkoordinir pemanenan; e) memasarkan HMT;
f) melakukan pengolahan kalau produksi HMT berlebih dan tidak dapat dijual
langsung;

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
131
3). Pelaksanaan agribisnis HMT dari budidaya, pemanenan, pemasaran
sampai pengolahan dilaksanakan oleh koperasi/ KUD, penyediaan
lahan (bekerja sama dengan Pemda, Dinas Kehutanan/Perkebunan), hasil
produksi HMT sebagian besaruntuk memenuhi kebutuhan ternak milik
Koperasi/KUD, sebagian dijual kepada peternak, dan kelebihannya dilakukan
pengolahan, yaitu dalam bentuk kering (Hay) dan dalam b e n t u k
segar (Sylase)
5.2 Saran
Dari analisis dan kesimpulan kajian ini, dapat diberikan saran sebagai berikut :
1. Diperlukan kebijakan khusus agar mempermudah koperasi memperoleh
kredit untuk kegiatan agribisnis HMT guna memenuhi kebutuhan HMT sapi
perah dan sapi potong , sehingga populasi dan produktivitas sapi perah
maupun sapi potong semakin meningkat,
2. Agribisnis HMT mempunyai prospek cukup baik, khususnya di daerah kantongkantong
peternakan, namun petani belum terbiasa dengan budidaya HMT,
untuk itu sosialisasi tentang budidaya HMT perlu ditingkatkan dengan
memperbanyak demplot-demplot HMT;
3. Untuk menjaga kesinambungan agribisnis sapi potong seperti di Kabupaten
Banyuasin , Kabupaten OKU, dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin investasi
yang telah ditanam baik dalam bentuk kandang, budidaya HMT, dan lain
sebagainya, maka peran koperasi dan kelompok tani/peternak perlu
ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2005. Penyusunan Model Pengembangan Agribsnis Pakan Ternak untuk
mendukung Program Sapi Perah Melalui Koperasi. Deputi Bidang
Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi., Kementerian Koperasi dan UKM,
Jakarta.
Anonim, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, Tentang Perkoperasian.
Anonim, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil.
Anonim, .Strategi Pembangunan Pertanian dan Industri: Mencari Pola Simbosis.,
Prisma, No. 2 Tahun XIX, 1990.
Arora S.P. 1984. Pencernaan Mikroba pada Rumansia, Gajah Mada University pres,
Yogyakarta.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
132
Anggrodi, 1979. Ilmu Makanan Ternak PT. Gramedia, Jakarta.
Bakrie B., Hogan J, Liang JB, Tareque AMM and Upadhyay RC, 1996, Ruminant
Nutrition and Production in the Tropic and Subtropics, Australian Centre for
Internasional Agriculture Research, Cambera.
Church, DS. 1972, Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant, Vol 3 Departemen
Animal Science Oregon State University Corvalis, Oregan USA.
Church, DC. 1977, Livestock Feed and Feeding. O and B Inc.USA.
Lubis DA, 1963, Ilmu Makanan Ternak, Yayasan Pembangunan Jakarta.
Siregar, SB 1994 Ransum Ternak Rumansia. Penebar Swadaya Jakarta.
Sutardi T, 1980 Landasan Ilmu Nutrisi, Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Sudarsono Jayadi, 1991, Tanaman Makanan Ternak Tropika, Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor.
Sajogyo. 1997. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pembangunan
Pertanian dan Pedesaaan. Journal of Agricultural and Resource Socio-
Economics. Vol. 10. No.2. Agustus 1997: 47-57.
Saragih, B. 1998. Kumpulan Pemikiran Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan
Ekonomi Berbasis Pertanian. Percetakan CV. Nasional, Jakarta.
Tilman A D, H. Hartadi, S. Reksoprojo, S. Prawirokusumo, S Lebdo Sukoyo, 1984,
Ilmu Makanan Ternak Dasar, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta
Soetrisno, N 1995. Peranan Kelompok Tani dan Koperasi dalam Diversifikasi
Pertanian, hlm, 262-271. Di dalam Diversifikasi Pertanian dalam Mpercepat
Laju Pembangunan Nasional. Hasil Konpernas X Perhimpunan Ekonomi
Pertanian Indonesia (PERHEPI). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
White, Benjamin, . Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Trasformasi Pedesaan.
dalam Sajogyo dan Mangara Tambunan (editorial), Industrialisasi Pedesaan, PT.
Sekindo Jaya, Jakarta, 1990: 200-251.
 
NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198