Senin, 07 November 2011

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 8

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)
REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
106

PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA*)

Abstract
The purpose of this study : (1) to draw up a cooperative development center regental
budgetary domain, (2) to give input to the regental administrator in its effort to create a
condusive slimate for cooperative development. This study was conducted in 20
provinces. Its study method consists of library study, primary and secondary data
collection, study analysis was conducted in various ways, namely : teoris, and exepertise
validity. Based on study result, we can conclude that alternative model for cooperative
development center in regental budegetary domain are : (1) cooperation model among
cooperatives is by operating waralaba (non profit shop), (2) secondary cooperative model,
(3) model of cooperation between secondary cooperative and bank, (4) people crediting
bank, (5) cooperation of primary bank and swamitra/partnership bank.

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak negatif hingga
kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan antara lain : (1) turunnya
daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang
dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk
UKM dan usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya
sumber-sumber pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro.
Salah satu permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro
dalam mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan
rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga
keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP
Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan
UKM dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/
USP Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan
konsekuensi logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang
memungkinkan kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu
mengakses atau memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Pengembangan
Pengelolaan Wirausaha-Universitas Indonesia (BPPWI-UI) Tahun 2004 (diringkas oleh : Triyono
dan Siti Aedah)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
107
2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi
Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir untuk mencari
alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah, dikaitkan dengan
penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan
dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat dilayani koperasi dibidang
pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan dan analisis
terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan teknologi. Berbagai
hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam
menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan. Model pemusatan alternatif merupakan
solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam rangka membangun
sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
b. Batasan Penelitian
Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh konstruksi model
pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara nasional. Mengingat
dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah
mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya
koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka modelmodel
yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan
kelemahan masing-masing.
c. Rumusan Masalah
Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan usaha kecil dan
menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan sistem keuangan,
baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong maupun pembentukkannya
diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan perbankan seperti
Kredit Investasi Kecil (KIK). Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil
yang relatif baik, akan tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan
pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan
dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah
yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.

3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan
dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di tingkat Kabupaten/
Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda
Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan
perkoperasian.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
108
2) Manfaat
Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan Koperasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
1. Landasan Kebijakan
Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan sumber kegiatan
perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha, baik pertanian, perdagangan,
industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil
dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha atau mencapai
99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja
lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46.
Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan
pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai program antara lain program
pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS, program pengembangan
keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta program pengembangan di
bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya. Program-program tersebut merupakan
stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi
pengembangan economic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi
kerakyatan, yaitu koperasi dan UKM.
2. Kerangka Pemikiran
Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/
Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam rangka upaya
dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP
pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi
dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa pertimbangan yang
merupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada keberhasilannya
dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar koperasi.
Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi, pendidikan dan
pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama usaha yang
dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi pengawasan,
pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang menjadi
salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
109

III. METODE
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar,
Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar,
Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.
2. Metode dan Analisis Pengkajian
Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data primer maupun
sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra
produksi rakyat yang dapat dikembangkan, ketersediaan lembaga keuangan,
lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP dan perkembangan KSP/USP,
serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing Kabupaten/Kota.
Kerangka pemikirannya dapat digambarkan sebagai berikut :
Faktor Pendukung (Driving Forces)
Peran KSP/USP
dalam Pemusatan
Pengembangan
Bidang Pembiayaan
Kinerja
KSP/USP
sebagai
Lembaga
Keuangan
Kinerja
KSP/USP
sebagai
Koperasi
Faktor Penghambat (Restraining Forces)
MODEL PEMUSATAN
KOPERASI PEMBIAYAAN
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengkajian Pemusatan Pengembangan
Koperasi Bidang Pembiayaan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
110
Analisis pengkajian dilakukan dengan beberapa cara, baik melalui induksi data,
deduksi berdasarkan teori-teori yang relevan, maupun dengan validasi experties. Dengan
demikian, analisis pengkajian lebih bersifat pendalaman berpikir kualitatif sesuai dengan
keperluan untuk merumuskan model-model yang dipandang optimal bagi pengembangan
pemusatan koperasi di bidang pembiayaan.
Perumusan model meliputi beberapa substansi pokok dan penting sebagai solusi
pengkajian yaitu : (1) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa keuangan, (2)
perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa non keuangan, dan (3) kelembagaan
pemusatannya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten Pati sebanyak
75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk
dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah.
Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya
menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola
oleh masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak
Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil
menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun
143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan tetap.
Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk mencapai
keberhasilannya adalah :
q Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah
koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota,
membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,
baik anggota maupun pengurus.
q Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau
dari kemampuan teknis maupun non teknis.
q Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut
falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
q Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan
rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan “dibaiat”
(disumpah) untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan,
manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan
ke pengadilan.
q Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar
masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
q Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil
kapan saja.
q Manajemen menganut falsafah “mudah, cepat dan meriah”, Mudah dalam arti
prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin,
bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi
diusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran
kecil sampai menengah.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
111
2. Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang layak dinyatakan berhasil
dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke daerah lain. Koperasi Simpan
Pinjam tersebut berbentuk Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5
Januari 1996 dengan modal awal sebesar Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di bawah Yayasan Binaan Baitul Maal
Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek Hubungan Bank Indonesia dan
Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya UU Nomor 29 tahun 1999
yang antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya berubah menjadi Badan
Hukum Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan dikelola dengan menggunakan
sistem syariah yang berbasis pada prinsip bagi hasil. Pendirian BTM Wiradesa ini
dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten
Pekalongan. Sampai dengan September 2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai
Rp. 2 milyar lebih dengan total aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman
yang diberikan pada periode yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih.
Untuk mempermudah pengelolaan dana dan sebagai penyangga likuiditas, maka
dari beberapa BTM membentuk koperasi sekunder berupa berupa Pusat KSP BTM
Wiradesa. Untuk menghindari perebutan nasabah (anggota) maka ada klasifikasi ukuran
pinjaman. Untuk pinjaman sampai dengan 30 juta hanya dapat dilayani di koperasi
primer dan Rp. 30 Juta ke atas dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman
dana dari koperasi sekunder ke koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan
sistem sindikasi. Perbedaannya adalah sistem channeling 100% dana pinjaman berasal
dari koperasi sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil keuntungan untuk koperasi
primer dan 80% untuk koperasi sekunder, sedangkan sistem sindikasi dana pinjaman
tidak 100% dari koperasi sekunder, namun terbagi antara koperasi sekunder dan koperasi
primer dengan proporsi pinjaman tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama.
Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan besarnya proporsi jumlah pinjaman .
3. Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank di
Kabupaten Cirebon
USP Swamitra adalah lembaga keuangan mikro yang didirikan atas kerjasama
saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan koperasi untuk mengembangkan
usaha kecil dan menengah. Melalui kerjasama ini USP atau KSP dapat beroperasi
secara modern dengan memanfaatkan jaringan teknologi dan dukungan sistem
manajemen yang telah dikembangkan oleh Bank Bukopin.
Swamitra Al-Ishlah dibentuk pada Desember 1998 sebagai hasil kerjasama antara
Koppontren Al-Ishlah dengan Bank Bukopin Cabang Cirebon. Swamitra Al-Ishlah berada
di desa Dukupuntang, Bobos, Cirebon dan melayani nasabah-nasabah di wilayah
Palimanan, Sumber hingga Rajagaluh yang radiusnya sekitar 17 km dari pusat kegiatan
di Pasar Kramat, Bobos. Kemudian pada pertengan 1999, Swamitra Al-Ishlah resmi
beroperasi. Pada saat itu dana yang disalurkan untuk Kredit Koperasi Kepada Anggota
(KPPA) sebesar Rp. 350 juta. Pinjaman tersebut berjangka satu tahun dan berbunga
16% setahun dan harus disalurkan kepada anggota koperasi tanpa bunga. Sebagai
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
112
penyalur, Swamitra Al-Ishlah juga tidak mengenakan bunga, tetapi menarik biaya sebesar
3% yang dipungut saat pencairan kredit. Sumber dana Swamitra A-Ishlah yang lain
adalah modal tidak tetap dari Bank Bukopin dengan alokasi sebesar Rp. 500 juta.
Sumber dana yang lainnya adalah simpanan masyarakat yang jumlahnya dalam tahun
pertama saja melebihi alokasi dari Bank Bukopin. Ini menunjukkan keberhasilan
Swamitra Al-Ishlah dalam menggalang dana masyarakat. Keberhasilan ini berkat
kerjasama antara pengelola Swamitra, pengurus Koppontren dan Bank Bukopin dalam
mempromosikan Swamitra di Majlis Taklim.
4. Alternatif Model Pemusatan
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan, model kelembagaan
pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi primer dengan pola waralaba
(franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi sekunder dengan bank, kerjasama
koperasi primer dengan bank dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang terjadi pada kelompok Koperasi
Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola kerjasama antar koperasi primer.
Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang menjadikan kelompok koperasi bhakti
dikembangkan dan dikelola secara tertib dan terkoordinasi, namun antar koperasi dalam
kelompok koperasi bhakti tidak memiliki kontrak kerjasama secara eksplisit. Koordinasi
pengelolaan dan pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi
pengelolaan dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan
pengembangan koperasi.
Potensi keunggulan model kerjasama antar Koperasi seperti Kelompok Koperasi
Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan pemusatan pengembangan pembiayaan
antara lain sebagai berikut :
(1) Standarisasi dan sinkronisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan
standarisasi karyawan dan standarisasi sistem dan prosedur, serta
sinkronisasi atau kesatuan komando manajemen.
(2) Pengembangan koperasi baru relatif lebih mudah dilakukan dengan adanya
karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada koperasi baru.
(3) Dengan karyawan yang terlatih dan aktif jemput bola maka memungkinkan
penetrasi perluasan anggota yang berarti perluasan pasar dan peningkatan
pangsa pasar.
(4) Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat standarisasi dan sinkronisasi
manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya dimiliki oleh anggotanya
yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi berada.
(5) Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan secara terbuka dan sukarela
sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara alami dan berkelanjutan
serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
(6) Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track record) yang cukup panjang
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
113
dan memiliki brand name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti memiliki
peluang sebagai suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam
yang dapat diaplikasikan pada pengembangan koperasi simpan pinjam.
2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya seluruh kegiatan yang diperlukan
untuk mendukung pengembangan koperasi primer dilakukan oleh koperasi sekunder
secara berjenjang dari tingkat daerah, wilayah, nasional dan internasional. Fungsifungsi
kegiatan pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang
keuangan yang terdiri atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam
(interlanding) dan pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiri
atas konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan
audit, pengadaan sarana usaha dan audit.
Keungulan koperasi sekunder sebagai model pemusatan pengembangan koperasi
adalah :
(1) Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik secara lokal, nasional maupun
internasional sehingga tinggal masalah penerapan.
(2) Penerapan koperasi sekunder sebagai model pemusatan lebih menjamin
penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga lebih menjamin
terwujudnya cita-cita koperasi yaitu peningkatan kesejahteraan dan
kemandirian ekonomi anggota koperasi.
3) Model Bank Perkreditan Rakyat
Pemusatan pengembangan koperasi dengan model Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau keleluasaan yang lebih
besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus keleluasaan dalam
penyaluran dana. Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki kewenangan untuk
menghimpun dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya.
Keunggulan BPR sebagai model pemusatan pengembangan koperasi antara
lain adalah :
(1) Memiliki kepercayaaan kemampuan yang efektif dan dalam menghimpun dana
baik dana dari masyarakat, maupun dana dari lembaga keuangan sebagai
konsekuensi bentuknya berupa bank.
(2) Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk menyalurkan dana kepada
masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau pemegang saham dalam
keadaan kelebihan dana.
(3) BPR yang harus mengikuti ketentuan perbankan yang ketat dapat menjadi
referensi yang baik dalam mengembangkan tata kelola yang baik (good
corporate governance) bagi koperasi yang dikembangkan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
114
4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank umum adalah sebagaimana
yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan pegawai negeri, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Bank Kesejahteraan
Ekonomi. Dalam hal ini induk-induk koperasi tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau,
Inkopal, dan Inkopol mengadakan kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi untuk anggota-anggota koperasi.
Keunggulan model ini adalah :
(1) Ketersediaan dana yang diperlukan oleh anggota koperasi dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi.
(2) Kemampuan penghimpunan dana masyarakat maupun dana dari lembaga
keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.
5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra
Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin dalam bentuk pola Swamitra
merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan koperasi dengan kerjasama
koperasi primer dengan bank. Dengan pola ini, Bukopin menyediakan sistem dan
aplikasi manajemen simpan pinjam koperasi, termasuk pengadaan dan pelatihan
sumberdaya manusia, aplikasi teknologi informasi, sistem manajemen operasi simpan
pinjam, pendampingan dan supervisi simpan pinjam dan standarisasi produk simpanan
dan pinjaman, serta cadangan likuiditas koperasi simpan pinjam.
Keunggulan pemusatan pengembangan koperasi dengan model kerjasama antar
koperasi primer dan bank pola Swamitra, antara lain :
(1) Terdapat paket dukungan pengembangan KSP/USP secara lengkap sehingga
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
(2) Terdapat sistem supervisi dan pengendalian secara seketika (on line) oleh
bank.
(3) Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang disediakan secara bertingkat, baik
di koperasi maupun di bank.
(4) Terdapat standarisasi sistem dan produk sehingga lebih memungkinkan
dikembangkan jaringan kerjasama.
(5) Memiliki kredibilitas yang tinggi dalam penghimpunan dana berkat dukungan
citra bank pendukungnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra usaha unggulan
adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industri
makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
115
konveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut berupa
usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak
melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku
bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya lebih tepat
dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan pinjam, karena
kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan
meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen
simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan
sarana usaha dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada
tingkat Kabupaten/Kota adalah : (a) kerjasama antar koperasi dengan pola
waralaba, (b) koperasi sekunder, (c) kerjasama koperasi sekunder dengan
bank, (d) Bank Perkreditan Rakyat, (e) kerjasama koperasi primer dan bank
dengan pola Swamitra.
2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu Kabupaten/Kota tidak harus
dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model tersebut diatas dengan maksud
agar dapat mempertahankan ciri masing-masing keunggulannya.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi dan UKM. Jakarta.
Arief, Sirtua, 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan terhadap Sektor Pertanian : Suatu
Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI. Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi. Jakarta.
Korten, David C., 1980. Community Organization and Rural Development : A Learning
Process Approach. Dalam Public Administration Review, No.40.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?.
Jakarta.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
116
Krisnamurthi, B., 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian :
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan
Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Pertanian. Jakarta.
Prijadi, dkk. 2002. Pengembangan KSP dan USP Koperasi sebagai Lembaga Keuangan.
Yayasan Studi Perkotaan. Jakarta.
Soetrisno, N. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI.
Jakarta.
Wibowo, R. 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik dalam Manajemen Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian pada Milenium Ketiga. Dalam Refleksi Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 7


NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)
REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
99

PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
UNTUK PEMBERDAYAAN UKM*)

ABSTRACT
This research observe about how important the finansial institution Non Bank
(LKNB) for contribuded development of capacity SME’s acceleration, its specifically
for finance trade needs. The bangking institute by tecnical bank specification are still
difficult to SME’s access in the suburban and also in the rural area. The parisipation
and ascribel from goverment, state-owned corporation (BUMN), privat enterprise, LSM
and college should have contributed to development and below a variety of LKMN
bend for reinforcement of the SME’s. By cohesivenes and involvement from above
substance, this researches are recommendation by development of partner model or
cohesiveness that be able to arrage the power in supplying a variety of finanace skim
type with procedure and a variety of the rules that used to SME’s access.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini berangkat dari latar belakang bahwa Jawa Timur mempunyai
andil yang cukup besar terhadap perkembangan ekspor nasional rata-rata berkisar
USD 5 milyar dengan kontribusi 11 % – 12 % dari ekspor nasional. Melalui kapasitas
industri besar, menengah dan kecil yang tersedia cukup besar maka suatu saat Jawa
Timur bias menjadi jaringan inter provinsi yang bisa memberikan sumbangan terbesar
setelah ekspor non migas. Tidak berlebihan Jawa Timur bisa memberi akses ke seluruh
provinsi terhadap barang-barang yang dihasilkan pelaku bisnis sektor riil dan non formal
(seperti : sektor hortikultura, perikanan, pertanian, perkebunan dan kerajinan).
Struktur ekonomi Jawa Timur 99,55% didominasi Usaha Kecil Menengah dan
Koperasi (UKMK), sedangkan usaha besar hanya 0,45%. Kontribusi UKMK terhadap
PDRB 50,12% dan penyerapan tenaga kerja pada sektor ini mencapai 91,66%. Bila
berpijak pada definisi industri kecil merupakan unit usaha dengan jumlah tenaga kerja
paling sedikit 5 orang paling banyak 19 orang dan industri rumah tangga adalah unit
usaha dengan jumlah pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha (BPS, 1998)
maka dengan asumsi UKM rata-rata memperkerjakan 2 orang saja berarti terjadi
penyerapan tenaga kerja sebanyak 12 juta orang.
Eksestensi UKM dalam menunjang perekonomiaan nasional sangat diperlukan,
krisis ekonomi tahun 1998 telah membuktikan kemampuan UKM tetap bertahan dan
bahkan memberikan kontribusi 58,2% dari PDB nasional. Untuk itu pemberdayaan
*) Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 (diringkas
oleh : Indra Idris)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
100
UKM perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak terutama dalam akses permodalan,
pengembangan pasar dan managemen. Dalam hal permodalaan, walaupun Bank
Indonesia mengalokasikan portofolio dalam jumlah cukup, namun kemampuan UKM
menyerap dana yang tersedia kurang dari 50%. Realisasi kredit UKM tahun 2002
sampai bulan oktober tersalur Rp. 27 T dari total portofolio Rp. 63,5 T (Darma Ali
2003). Pada sisi lain dikatakan pula bahwa realisasi tersebut 46% merupakan kredit
konsumtif. Jadi hanya sekitar 54% kredit yang tersalurkan pada UKM untuk kegiatan
produkltif atau untuk modal usaha.
Menurut ADB-TA, kekuatiran UKM dalam pengajuan kredit perbankan antara
lain : perusahaan dianggap tidak layak, kurang informasi, tidak memiliki agunan dan
NPWP. Suatu hal yang delematis, dimana pembiayaan UKM merupakan indikator
komitmen perbankan namun disisi lain UKM tidak mampu menarik dana perbankan
hanya karena persoalan bankable karena ketentuan prudential banking yang diterapkan
Bank Indonesia berpegang pada prinsip 5 C. Persyaratan bank teknis yang kaku ini,
menurut UKM bisa di atasi asalkan ada kesungguhan dan komitmen yang kuat untuk
benar-benar membantu UKM karena dari 5 C, ternyata 4 C yang lain umumnya dapat
dipenuhi UKM kecuali jaminan (collateral) yang sering menjadi hambatan.
Sebagai alternatif dalam menghadapi permasalahan permodal bagi pembiayaan
usaha UKM, maka banyak kalangan berpendapat perlu dikembangkan pembentukan
lembaga keuangan non bank antara lain : (1) Modal Ventura (ventura capital) dan (2)
Lembaga Penjamin Kredit (LPK).
1.2. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan hal di atas maka permasalahan yang dikaji dfalam
penelitian ini : (1) Sejauhmana lembaga keuangan non bank dapat berperan sebagai
alternatif sumber pembiayaan dalam pengembangan UKM; (2) sejauhmana lembaga
keuangan non bank dapat diformulasikan dan direkomendasikan untuk pengembangan
UKM : dan (3) sejauhmana lembaga modal ventura dan LPK dapat menjadi alternatif
BUMD.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah : (1) Mengetahui peran Lembaga Keuangan
Non Bank dalam membantu pengembangan UKM; (2) Menemukan model Lembaga
Keuangan Non Bank yang dapat dikembangkan dalam mendukung pembiayaan UKM.
Manfaat yang diharapkan adalah : (1) Sebagai bahan kajian akademis yang
dipertanggung jawabkan untuk pengembangan lembaga keuangan non bank yang
credibel dan capabel; (2) Sebagai materi kebijakan bagi Pemda Tingkat I dan Tingkat
II untuk mendukung pembiayaan modal bagi pemberdayaan UKM di daerahnya.
Sedangkan lingkup penelitian mencakup :
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
101
 
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pengembangan usaha UKM kebanyakan dihadapkan dengan masalah
permodalan. Kemampuan UKM untuk mengakses sumber pembiayaan perbankan
selalu terbentur pada persyaratan teknis Perbankan. Sebenarnya terdapat alternatif
sumber pembiayaan lain yang bisa dikembangkan untuk mem-beck-up UKM yaitu
lembaga keuangan non bank seperti modal ventura dan lembaga penjamin kredit.
Perusahaan modal ventura dapat dibedakan menjadi tiga : (!) perusahaan privat; (2)
perusahaan publik; (3) perusahaan affiliasi bank (Martono: 2002 dalam Wongsonegoro
2004). Ada beberapa hal mendasar yang membedakan antara modal ventura dengan
perbankan sebagai lembaga pembiayaan ( Wahyudi: 2003 yaitu : (1) lebih concern
terhadap bisnis mitranya; (2) pendekatan bisnis partnership; (3) tidak ada pembatasan
sektoral; (4) memiliki unsure pembinaan; (5) suku bunga relatif stabil; (6) modal
pembiayaan yang fleksibel; (7) pembiayaan untuk usaha baru. Melalui system pasangan
usaha menimbulkan manfaat timbal balik, dalam hal ini beberapa manfaat dapat
diperoleh Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) berkerja sama dengan perusahaan
modal ventura ( Wongsonegoro:2004) adalah : (1) Peningkatan potensi kegiatan usaha;
(2) Usaha dengan kemungkinan berhasil tinggi; (3) Peningkatan efisiensi pemasaran
produk; (4) Peningkatan Bank-Ability; (5) Peningkatan likuiditas; dan (6) Peningkatan
rentabilitas. Untuk pengembangan modal ventura (daerah) memerlukan keterlibatan
pemerintah (daerah), pelaku usaha, perguruan tinggi (konsultan), serta asosiasi sektoral
(Wahyudi:2003)
Pada sisi lain, Lembaga Penjamin Kredit diperlukan untuk pengambilalihan
resiko kegagalan UKM sebagai pihak terjamin sehingga kewajiban kepada kreditur
sebagai penerima jaminan dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang diperjanjikan
( Lintang : 2003). LPK ini telah didirikan sejak tahun 1971 c.q. Ditjen Koperasi dengan
membentuk Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dan lembaga ini akan melakukan
penjaminan bagi UKM yang tidak bisa memenuhi persyaratan agunan namun aspek 4
C terpenuhi. Dalam perkembangannya pemerintah melalui PP No. 51/1981 membentuk
Perum PKK, kemudian melalui PP Nomor 95/2000 Perum PKK lalu dirubah menjadi
Perum Sarana. Kementrian Koperasi dan UKM terus mendorong terbentuknya LPK
daerah dengan mengeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah No. 04/Kep/M/V/2001 dan No. 518-162/2001 tanggal 29 Mei 2001 tentang
pembentukan Lembaga Penjamin Kredit bagi Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro
Non Bank dan UKM di daerah. Selain yang disebutkan diatas, terdapat banyak LKBN
yang ada baik dikembangkan pemerintah, swasta/LSM maupun BUMN seperti model
dana Bergulir, pola kemitraan, dan berbagai pinjaman lunak lainnya. Tentunya
keberadaan lembaga penjamin kredit diharapkan mampu mengatasi masalah
pembiayaan UKM yang tidak memiliki agunan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
102

BAB III. METODE PENELITIAN
Untuk tercapainya output yang diinginkan maka metode pengumpulan data
dilakukan melalui observasi langsung; koleksi data sekunder; survey baik dengan
wawancara maupun kuesioner kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan teknik analisa
data yangdigunakan adalah dengan menggunakan analisa interaktif kwantitatif dan
kualitatif. Objek kajian adalah lembaga-lembaga keuangan non Bank, sedangkan
lokasi penelitian berada di kabupaten Pasuruan, Situbondo, Bondowoso dan Jember.

BAB IV. HASIL PENELITIAN
Dari temuan penelitian diperoleh hasil bahwa Lembaga Keuangan Non Bank
(LKNB) yang ada di lokasi penelitian dananya bersumber dari pemerintah, koperasi;
joint ventura; dana pensiun; dana ansuransi; pasar modal; reksa dana; pengadaian
dan lainnya. Sedangkan partisipasi LKBN dalam mendukung permodalan UKM pada
lokasi penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 1. Partisipasi LKNB, BANK dan Modal Sendiri
Dalam Mendukung Permodalan UKM
No
1.
2.
3.
4.
Lokasi Penelitian
Kab. Pasuruan
Kab. Situbondo
Kab. Bondowoso
Kab. Jember
LKNB
49,43 %
98,58 %
57,20 %
56,14 %
Bank
17,18 %
10,90 %
14,40 %
18, 72 %
Modal Sendiri
33,36 %
20,50 %
28,38 %
25, 12 %
Penyaluran dana yang dilakukan pemerintah dilakukan dalam bentuk model
Freeder Point dan Dana Bergulir. Selain itu, pemerintah dan BUMN juga menyalurkan
dukungan pembiayaan bagi UKM dalam bentuk model kemitraan seperti : kemitraan
bunga rendah, bantuan peralatan, bantuan manajemen, bantuan pemasaran, intiplasma,
bapak angkat dan ikubator. Sedangkan yang dilakukan swasta terdapat berupa model
pinjaman tampa anggunan dan pinjaman dengan anggunan, disamping itu ditemukan
pula model tengkulak dan model ijon. Kesemuanya itumerupakan LKNB yang memberi
dukungan pembiayaan terhadap pemberdayaan UKM pada lokasi penelitian. Secara
rinci LKNB ini dapat dilihat pada Tabel berikut :
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
103
Tabel 2. Model-Model LKNB di Lokasi Penelitian
No
1.
2.
3.
4.
Non Bank
Pemerintah
Pemerintah dan BUMN
Swasta
Lain-lain
Model pendanaan Kepada UKM
Freeder Point
Dana Bergulir
Model Pegadaian
Model Kemitraan
- Kemitraan bunga rendah
- Bantuan Peralatan
- Bantuan manajemen
- Bantuan pemasaran
- Intiplasma
- Bapak – anak
- Inkubator
Pinjaman tanpa anggunan
Pinjaman dengan anggunan
Model Tengkulak
Model Ijon
Adapun kelebihan dan kelemahan pada msing-masing model lebih menekankan
pada prosedur dan anggunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Table berikut :
Tabel. 3.
Keunggulan dan Kelemahan LKNB Menurut UKM
Model
1. Feeder Point
2. Dana Bergulir
3. Kemitraan
4. Kemitraan bunga rendah
5. Bantuan Peralatan
6. Bantuan Pemasaran
7. Intiplasma
8. Bapak angkat
9. Inkubator
Keunggulan
- Tampa anggunan
- Bunga ringan
- Bunga ringan
- Pinjaman dapat besar
- Jangka waktu dapat disesuaikan
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
Kelemahan
- Prosedur berbelit-belit
- Pinjaman kecil/minim
- Peminjam terbatas,
mengantri dan waktu
tunggu cukup lama
- Prosedur berbeli-belit
- Waktu menunggu lama
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
104
Dari berbagai bentuk model LKNB yang ada ternyata model Freeder Point
merupakan bentuk pendanaan yang diminati dan ditanggapi posif oleh UKM pelaku
Usaha. Selain itu, model penyaluran kredit lunak melalui Koperasi seperti dalam bentuk
dana bergulir sangat diminati namun jumlah penyaluran kepada UKM terbatas sehingga
sulit diakses pelaku Usaha yang jumlahnya sangat banyak. Freeder Point merupakan
program pemberian pinjaman kredit lunak kepada pengusaha Kecil (pengusaha
industrikecil dan pedagang Kecil) yang dikembangkan Dinas Perindustrian Provinsi
Jawa Timur dengan mengadopsi program Departemen Perindustrian. Program ini
membantu pendanaan bagi pengadaan bahan baku dan modal kerja tanpa bunga dan
anggunan. Walaupun terdapat program pemerintah lainnya dalam bentuk kredit lunak
seperti pola kemitraan namun dengan bunga 6% s/d 9% pertahun dan menggunakan
anggunan.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Lembaga Keuangan Non Banl (LKNB) amat diperlukan dalam mendukung
percepatan pemberdayaan UKM terutama bagi UKM di plosok-plosok dan pedesaan
dimana akses lembaga perbankan masih terbatas. Termasuk dalam hal mendukung
program bagi penumbuhan unit usaha baru sebanyak satu juta sepuluh ribu unit bisnis
untuk provinsi Jawa Timur pada tahun mendatang.
Selain itu, keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat sangat
diperlukan bagi penumbuhan Lembaga Keuangan Non Bank yang diharapkan dapat
mempercepat proses pemberdayaan UKM dan koperasi di provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini merekomendasikan model kemitraan/keterpaduan yang
melibatkan antara pemerintah dan Lembaga Keuangan Non Bank, serta LSM/Perguruan
Tinggi dalam membuat mekanisme pemberdayaan UKM dalam mengembangkan model
pembiayaan UKM yang mudah diakses pelaku usaha di lapangan. Dalam
pengembangan model yang perlu ditekankan adalah aspek dari kepastian hukum dan
menawarkan keuntungan tertentu dari beberapa aspek bagi pelaku usaha. Pertama,
menyediakan peraturan dengan beberapa jaminan yang spesifik atas tindakan yang
sedang diambil, Kedua, menyediakan basis yang seragam untuk penyelenggaraan
dan memastikan bahwa status atau kebutuhan lokal akan mendorong kearah
pemenuhan dengan standar mutu nasional. Ketiga, campuran dari standar mutu, standar
prestasi dan kebutuhan teknologi yang digunakan UKM.

DAFTAR PUSTAKA
Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia, Sydeney, Allen & Unwin,
1991.
Amir Effendi Siregar (ed.), Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
105
Bromley, Damel W. “Economic Interest and Institutions, The Conceptual Foundation
of Public Policy” Basil Blacwell Ltd. New York, 1989
Dunn, William N, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1994.
Dye, Thomas R, “Understanding Public Policy”, Englewood Cliffs, New Jersey. 1992.
Edwards III George C, “Implementing Public Policy” Congressional Quartely Inc,
Washington, 1980.
Grindle, Merille S (ed), “Political and Policy Implementation in the third World”,
New Jersey, Princeton University Press, 1980.
Mater. Donal S Van and Carl E. Van Horn, The Policy Implementation Proses,
Bervely Hills. Sage Publication, 1984.
Martin Staniland, What Is Political Economy, New Haven and London, Yale University
Press, 1985.
(Terjemahan) Martin Staniland, Apakah Ekonomi Politik Itu? Sebuah studi Teori Sosial
dan Keterbelakangan, Jakarta Rajawali Pres 2003.
Tjorowinoto, Moeljarto, “Pembangunan Dilema dan Tantangan”, Tiara Wacana
Yogyakarta, 1996.
Sritua Arief dan Adi Sasono, Ketergantungan dan Keterbelakangan, Penerbit Sinar
Harapan Anggota IKAPI bekerja sama dengan lembaga Studi Pembangunan
Jakarta, 1981.
Richard Robinson, Indonesia : The Rise of Capital, Asia Studies Association of
Australia, Southeast Asia Publications Series, 1986.
Yoshihhara Kunio The Rise of Ersart Capitalism in South East Asia (Kapitalime
Semu Asia Tenggara), LP3ES, 1990

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 6

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
84
*) Kajian ini dilaksanakan Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Lembaga
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2004 ( diringkas oleh
Asep Kamaruddin )

PROYEKSI PENGEMBANGAN KEBUTUHAN WIRAUSAHA BARU
DALAM RANGKA KESIAPAN
MENUJU LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN INVESTASI*)

ABSTRACT
This study aim to compile projection of new enterpreneur in Indonesia year 2004-2009,
identifying factors influencing growth of new enterpreneur, and know characteristic of
enterpreneur conducting business activity of small scale. This study is executed by
using survey method in 15 ( fifteen) province, that is North Sumatera, Riau, South
Sumatera, Lampung, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java, Bali, Nusa of
West South-East, South Kalimantan, East Kalimantan, North Sulawesi, South Sulawesi,
and Papua. Object of study are factors influencing amount of new enterpreneur,
projection sum up new enterpreneur [of] year 2004-2009, and characteristic of
enterpreneur of scale of SMEs in various sector of business. Election of sample
conducted by cluster sampling of pursuant to sector of business. Result of research
indicate that : 1) projection sum up new enterpreneur for year 2004-2009 indicating that
in range of time five the year sum up new enterpreneur increase about 5.187.527 unit
of small scale and 17.226 unit of middle scale; 2) sector of most potential business for
new enterpreneur with small scale are commerce, hotel and restaurant; transportation
and communications; and the agriculture, ranch, forestry, plantation, and the fishery;
3) sector of most potential business to develop new enterpreneur with middle scale are
finance, rental and company service; commerce, hotel, and the restaurant, and also
the processing industry; 4) factors influencing to expand new enterpreneur are
characteristics of business enterpreneur ( age, gender, and level of education; legality
of entity; capital; marketing target; and the labour); cultural and also characteristic of
new enterpreneur ( motivate to try; resistance launch out; accepted support; and the
governmental role).
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi telah mengakibatkan pelaku usaha di Indonesia tertinggal 5-7
tahun dibandingkan dengan pelaku usaha negara lain. Kondisi ini mengakibatkan
daya saing ekonomi nasional mengalami penurunan peringkat secara sangat signifikan.
Karena itu, kebutuhan pengembangan wirausaha baru di Indonesia menjadi keniscayaan
meningkatkan daya saing dan daya dukung perekonomian nasional. Hal ini disebabkan
jumlah wirausaha di sektor industri pengolahan dan sektor usaha yang berbasis
pengetahuan relatif masih sangat kurang, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk
Indonesia. Padahal sektor ini sangat potensial sebagai tumpuan untuk meningkatkan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
85
produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi nasional dalam era ekonomi
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa mendatang.
Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi APEC, diperlukan satu unit
UKM untuk setiap 20 orang penduduk, sehingga diperlukan tambahan 70 juta UKM di
kawasan anggota APEC sampai dengan tahun 2020 (Harvie dan Hoa, 2003). Hal ini
berdasarkan hasil kajian Pacific Economic Cooperation Council bahwa anggota ekonomi
APEC yang maju, umumnya memiliki rasio wirausaha terhadap terhadap jumlah
penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan anggota APEC yang tergolong sedang
berkembang. Soetrisno (2003) menyebutkan bahwa untuk kasus Indonesia, diperlukan
tambahan 20 juta unit UKM di luar sektor pertanian sampai dengan tahun 2020,
mengingat sebagian besar UKM berada dalam skala industri rumahtangga.
Dalam rangka mengembangkan wirausaha baru yang berbasis pengetahuan
dan teknologi, diperlukan pengembangan kewirausahaan terutama pada sektor ekonomi
yang propspektif, perekayasaan budaya masyarakat yang mendukung kewirausahaan,
penciptaan lingkungan usaha kondusif, dan dukungan perkuatan bagi lahirnya
wirausaha baru yang berbasis pengetahuan dan teknologi. Kajian ini berupaya
memetakan proyeksi jumlah wirausaha baru di setiap sektor ekonomi, termasuk di
dalamnya upaya penumbuhannya.

1.2 Perumusan Masalah
Pokok masalah yang menjadi fokus kajian ini adalah seberapa banyak jumlah
wiausaha baru dapat dilahirkan dan bagaimana wirausaha lama dapat dikembangkan
agar dapat bersaing secara global.

1.3 Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk :
a. Menyusun proyeksi wirausaha Baru di Indonesia tahun 2004-2009;
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penumbuhan wirausaha
baru;
c. Mengetahui karakteristik wirausaha yang melakukan kegiatan usaha skala
kecil.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam kebijakan
pemberdayaan UKM, khususnya yang berkaitan dengan penumbuhan wirausaha baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Tinjauan Pustaka
Kewirausahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan bisnis.
Sedangkan wirausahawan adalah seseorang pengusaha yang jeli, ulet, hati-hati, dan
terampil dalam menjalankan serta mengembangkan usahanya (Kao, 1989). Di sisi
lain, Timmons (1978) memandang kewirausahaan sebagai tindakan kreatif atau suatu
kemampuan melihat dan memanfaatkan peluang, bahkan pada saat semua orang
tidak melihat adanya peluang. Dengan demikian, kewirausahaan adalah kesatuan

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
86
terpadu dari semangat, nilai-nilai, prinsip, sikap, kiat, seni, dan tindakan nyata yang
sangat perlu, tepat, dan unggul dalam menangani dan mengembangkan perusahaan
atau kegiatan lain, yang mengarah pada pelayanan terbaik kepada pelanggan dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan, termasuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam kajian ini, kewirausahaan dipandang sebagai suatu tindakan kreatif dalam
memanfaatkan kesempatan untuk mengawali dan menjalankan suatu kegiatan tertentu,
dengan tujuan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan dan pihak-pihak
lain. Menjadi wirausaha berarti memiliki kemampuan menemukan dan mengevaluasi
peluang-peluang serta mengumpulkan sumberdaya yang diperlukan, kemudian
bertindak untuk mendapatkan keuntungan dari peluang tersebut. Kewirausahaan
merupakan kombinasi dari karakter wirausaha, kesempatan, dukungan sumberdaya,
dan tindakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa definisi kerja wirausaha yang
akan dipakai dalam studi ini adalah seseorang yang (1) memiliki daya kreativitas dan
daya inovasi yang kuat, (2) mempunyai kemampuan manajerial yang tinggi, (3)
menguasai pengetahuan tentang dunia bisnis secara mendalam, dan (4) berperilaku
dengan tujuan membentuk suatu organisasi usaha.
Terdapat studi yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan berperan dalam
pengembangan kewirausahaan, namun studi tersebut masih bersifat parsial, deskriptif,
dan hanya terfokus pada aspek-aspek tertentu dari lingkungan. Keterbatasan literatur
dan konsep mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kewirausahaan
mempersulit pembuat kebijakan (pemerintah) dalam mengembangkan kewirausahaan
di daerahnya. Dari berbagai penelitian diidentifikasi lima faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap pengembangan kewirausahaan, yaitu: (1) prosedur dan kebijakan
pemerintah, (2) kondisi sosial ekonomi, (3) keterampilan kewirausahaan dan kemampuan
bisnis, (4) dukungan keuangan, dan (5) dukungan non keuangan. Kombinasi yang
tepat dari kelima faktor lingkungan tersebut, ditambah kehadiran calon wirausaha akan
melahirkan sebuah kegiatan bisnis baru (Gnyawali dan Fogel, 1994; Agung Nur Fajar,
1996).
Vesper (1990) mengidentifikasi empat unsur pembentuk wirausaha, yaitu: (1)
peluang bisnis yang menguntungkan, (2) pengetahuan teknis kewirausahaan, (3)
keterampilan bisnis, (4) inisiatif wirausaha. Pengetahuan teknis dan ketrampilan bisnis
ini oleh Gnyawali dan Fogel (1994) didefinisikan sebagai ability to enterprise, sedang
inisiatif didefinisikan sebagai propensity to enterprise. Jadi, menurut Gnyawali dan
Fogel, tiga elemen pokok yang mempengaruhi pembentukan kewirausahaan adalah
peluang (opportunity), kemauan berwirausaha (propensity to enterprise), dan
kemampuan berwirausaha(ability to enterprise).
Peluang diartikan sebagai tingkat kemungkinan lahirnya usaha baru dan luasnya
kesempatan yang tersedia bagi wirausaha untuk memanfaatkan kelebihan yang
dimilikinya dalam mencapai keberhasilan. Kemampuan berwirausaha diartikan sebagai
kemampuan teknik dan bisnis yang diperlukan untuk memulai atau menjalankan suatu
bisnis. Kemampuan teknik merupakan keterampilan teknik, sedangkan kemampuan
bisnis merupakan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai aspek fungsional
bisnis, seperti perencanaan bisnis, pengembangan produk, pemasaran, manajemen
personalia, manajemen umum, akuntansi, keuangan, dan lain-lain. Inisiatif dan kemauan
memulai usaha dipengaruhi oleh pendapat masyarakat terhadap profesi kewirausahaan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
87
dan pengakuan masyarakat atas kinerja profesi wirausaha. Untuk itu, pemerintah
diharapkan dapat membentuk pengertian masyarakat yang benar mengenai
kewirausahaan. Adapun faktor kemauan merupakan sebuah niat yang harus hadir
dari diri calon wirausahawan itu sendiri. Memulai suatu kegiatan usaha berarti terlibat
pada suatu risiko. Jadi kemauan menjadi wirausaha adalah kemauan menanggung
risiko (Kuratko & Hodgetts, 1995).
Sikap masyarakat mempunyai pengaruh potensial dalam mendorong atau
menghambat pola perilaku kewirausahaan. Seorang wirausahawan tidak merasa leluasa
bergerak dan bertindak, jika ia berada ditengah-tengah anggota masyarakat yang
memiliki pandangan negatif terhadap kegiatan wirausaha. Gnyawali dan Fogel (1994)
menyatakan faktor sosial sama pentingnya dengan faktor modal, informasi, bantuan
teknis, dan fasilitas fisik dalam melahirkan kegiatan bisnis baru. Hal ini berarti bahwa
tersedianya modal, bantuan teknis, informasi yang diperlukan, dan fasilitas lain tidak
akan menjamin terciptanya kegiatan bisnis baru, jika tidak ada dukungan
sosial.Perekonomian suatu daerah dapat mempengaruhi lahir dan tumbuhnya
wirausaha. Daerah yang melaksanakan secara aktif program pengembangan
perekonomian, akan melahirkan lebih banyak kegiatan wirausaha dibandingkan dengan
daerah yang tidak atau sedikit memiliki program pengembangan perekonomian daerah.
Bahkan, saluran distribusi yang kuat dan persaingan antar badan usaha yang ketat
merupakan kesempatan bagi wirausaha untuk melakukan inovasi (Porter, 1990).
Pengembangan kewirausahaan terkait erat dengan pengembangan UKM,
mengingat wirausaha yang ada dan yang berpotensi dilahirkan di Indonesia, umumnya
akan melalui tahapan skalaUKM, sebelum menjadi usaha berskala besar dan skala
global. UKM menjadi sangat penting bagi pembangunan ekonomi bekelanjutan dan
untuk menjadi ekonomi yang modern/maju. Kewirausahaan juga penting untuk
pertumbuhan investasi langsung dari luar, membangun jejaring produksi regional dan
memberikan kontribusi kepada pertumbuhan domestik dan kawasan.
Terdapat empat faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan
kewirausahaan, yaitu : (1) akses terhadap modal, (2) peran inovasi, (3) pelatihan
kewirausahaan, dan (4) peran pemerintah dalam menciptakan iklim berusaha yang
kondusif bagi lahirnya wirausaha yang berdaya saing. Thailand dan USA merupakan
negara yang menyatakan bahwa akses terhadap modal merupakan salah satu faktor
penting bagi pengembangan UKM, khusus wirausaha baru. Bahkan, di beberapa
negara, seperti India, Amerika Serikat, Jepang, dan Taiwan terdapat dana khusus
untuk usaha pemula (business start-up). Keterlibatan pemerintah sangat penting dalam
pengembangan inovasi dan proses pewirausahaan. Dengan berinvestasi pada inovasi,
artinya pemerintah berinvestasi untuk kesejahteraan rakyat. Landasan dan kebijakan
kunci untuk pertumbuhan wirausaha baru atau pemula menyangkut pusat-pusat
pelayanan, eksibisi bisnis, program pelatihan, dan inkubator bisnis.
Faktor yang berkaitan dengan pelatihan kewirausahaan ditujukan pada strategi
untuk meningkatkan kemampuan pengusaha. Keberhasilan pengembangan ini
bergantung pada kemampuan pemerintah menerapkan kebijakan, yang menyangkut
intervensi langsung dan keseimbangan dari pasar pendidikan di seluruh sektor dan
seluruh tingkatan pendidikan. Dalam pengembangan kewirausahaan, beberapa
komponen yang perlu diperhatikan adalah : (1) mengidentifikasi, memilih, dan

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
88
memberikan dukungan kepada pengusaha potensial untuk mengembangkan usaha
baru, (2) memfasilitasi pertumbuhan pengusaha-pengusaha yang ada, (3) memberikan
kontribusi ke arah pengembangan budaya wirausaha, dan (4) memfasilitasi terciptanya
iklim usaha yang kondusif bagi UKM pada tingkat pemula dan dalam pertumbuhan.
Secara garis besar ada lima rambu-rambu dalam mengembangkan
wirausaha baru berdasarkan praktik terbaik yang teruji secara internasional (UNCTAD
dalam Noer Soetrisno, 2003), yaitu :
1. Pembentukan kerangka kondisi dan lingkungan bisnis yang baik bagi
tumbuhnya wirausaha baru;
2. Sistem insentif yang dirancang dengan baik;
3. Intervensi pemerintah yang seminimal mungkin tetapi efektif;
4. Adanya kerjasama yang baik dengan dunia perguruan tinggi;
5. Membangun perusahaan swasta untuk mengembangkan dan mengasuh
wirausaha baru.
Kerjasama antara perguruan tinggi dan perusahaan swasta akan mampu
menumbuhkan wirausaha baru, karena kedua lembaga ini memiliki karakteristik yang
saling melengkapi. Kombinasi antara ciri mengejar keuntungan dan kepuasan untuk
mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi kemajuan. Model inkubasi bisnis
yang didukung oleh intervensi pemerintah yang tepat menjadi model terbaik di berbagai
negara.
Peran swasta untuk menumbuhkan wirausaha baru sangat penting, karena
inkubator bisnis yang berhasil umumnya terdiri dari perusahaan swasta yang sukses.
Perusahaan swasta yang sukses dapat bertindak sebagai mentor bagi pengusaha
baru dalam kemampuan manajerial, keterampilan teknis, memberikan jaminan pasar,
dan menjadi avalis bagi wirausaha baru dalam berhubungan dengan perbankan. Dengan
demikian, segenap praktik terbaik pengembangan wirausaha memerlukan komitmen
untuk melaksanakannya. Karena itu, perlu segera diwujudkan program aksi pada
tingkat daerah berupa upaya menumbuhkan seorang wirausaha baru di tiap desa setiap
bulannya (Noer Soetrisno, 2003).
2.2 Kerangka Pikir
Menyusun proyeksi jumlah wirausaha di Indonesia memerlukan keberanian yang
luar biasa, karena kompleksnya variabel penentu dan hampir semua aspek yang
berkaitan masih belum menentu (masih cair), seperti : kinerja ekonomi, motivasi dan
keberanian menanggung risiko, politik, sosial, budaya, dan hukum. Variabel yang relatif
dapat diproyeksikan secara akurat adalah jumlah penduduk. Hal ini terutama untuk
jangkauan waktu yang relatif panjang, yaitu sampai tahun 2020.
Untuk kepentingan proyeksi ini dilakukan penyederhanaan, yaitu berbagai
variabel dianggap akan berpengaruh terhadap kinerja ekonomi, sehingga variabel
ekonomi dianggap mampu merepresentasikan perkembangan variabel keamanan,
sosial, budaya, ekonomi, dan trend perkembangan global. Dengan demikian, proyeksi
jumlah wirausaha dianggap dipengaruhi oleh dinamika perkembangan ekonomi dan
perkembangan jumlah penduduk. Kedua variabel ini menjadi penentu pada sisi
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
89
permintaan terhadap produk yang dihasilkan wirausaha, sedang variabel penduduk
menjadi input dari sisi pasokan wirausaha.
Dengan pertimbangan belum ada teknik proyeksi jumlah wirausaha yang baku,
maka proyeksi jumlah wirausaha dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain :
(1) menggunakan model ekonometrik, (2) pendekatan elastisitas, (3) pendekatan input
output, (4) pendekatan ketenagakerjaan, dan (5) pendekatan benchmarking rasio
pengusaha terhadap jumlah penduduk pada beberapa negara. Pendekatan pertama
sampai keempat didasarkan pada keterkaitan jumlah wirausaha baru dengan kinerja
ekonomi yang mengacu pada data historis Indonesia, dengan asumsi tidak ada
perubahan kebijakan pengembangan kewirausahaan yang signifikan. Keempat
pendekatan ini akan dipilih berdasarkan pada MPE yang terendah. Peramalan jumlah
wirausaha per sektor didasarkan pada hasil proyeksi dengan beberapa penyesuaian
berdasarkan besaran MPE. Pendekatan kelima merupakan benchmarking dari berbagai
negara lain yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan sasaran pengembangan
jumlah wirausaha yang ideal di Indonesia. Adanya gap yang besar antara hasil
pendekatan kelima dengan pendekatan lainnya merupakan indikasi perlunya upaya
mempercepat pengembangan kewirausahaan di Indonesia.
Dari beberapa pendekatan dalam menyusun proyeksi wirausaha di Indonesia,
model ekonometrik merupakan pilihan utama yang digunakan dalam kajian ini. Pilihan
model ekonometrik dengan pertimbangan bahwa model ini menggunakan berbagai
angka perkiraan kinerja ekonomi pada masa mendatang, terutama perkiraan
pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan ekonomi menurut sektor usaha.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada
model ekonometrik yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Model
BPS dipilih dengan pertimbangan beberapa data BPS yang digunakan masih merupakan
angka perkiraan, sehingga terjaga konsistensi data dengan hasil proyeksinya. Model
ekonometri BPS didasarkan pada model Keynes dan hanya difokuskan pada sisi
penggunaan (demand side). Prediksi yang dilakukan adalah prediksi ekonomi tahunan
untuk tahun 2003 dan untuk lima tahun ke depan, yaitu 2004-2009 dengan menggunakan
asumsi moderat yang cenderung optimis.
Di dalam membuat model prediksi ini, ada beberapa variabel yang akan
dipertimbangkan. Salah satunya yang paling penting adalah konsumsi rumah tangga,
yang merupakan pemicu kuat pengaruhnya dalam perekonomian Indonesia. Selain itu
ekspor dan impor juga dimuat di dalam model. Beberapa variabel lainnya, seperti
tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah, dan inflasi juga akan dipertimbangkan dalam
model, mengingat variabel ini cukup mempengaruhi perekonomian Indonesia. Tingkat
suku bunga dilihat melalui pendekatan M2. Di samping itu, ada beberapa variabel
exogenous lainnya, seperti perekonomian dunia, terutama Amerika Serikat dan Jepang,
karena kedua negara ini merupakan negara importir terbesar dari produk Indonesia.
Begitu juga dengan pinjaman asing, investasi asing, dan harga luar negeri juga akan
dilihat pengaruhnya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa asumsi yang digunakan adalah
moderat yang cenderung optimis dalam arti diasumsikan pada tahun 2006 ekonomi
kita sudah mulai stabil. Pada tahun ini, nilai tukar dolar sudah mencapai angka stagnan,
yaitu sebesar Rp 8.000, begitu juga dengan kondisi pemerintahan sudah mulai stabil.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
90
Dengan demikian, kapital pemerintah sedikit demi sedikit sudah mulai tumbuh, karena
didukung dengan perekonomian Jepang dan USA yang kian terus tumbuh, yang
sebelumnya mengalami penurunan.
Pendekatan jumlah wirausaha dilakukan dengan jumlah unit usaha pada setiap
sektor. Kajian ini menggunakan asumsi bahwa setiap unit usaha dimiliki oleh seseorang
wirausaha, demikian sebaliknya setiap wirausaha dianggap hanya memiliki satu unit
usaha. Model yang disusun dalam kajian ini merupakan dekomposisi dari perekonomian
Indonesia menjadi 9 sektor usaha. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap variabel
unit usaha. Pemilihan variabel bebas untuk setiap persamaan perilaku ditentukan
berdasarkan uji signifikansi untuk setiap variabel bebas dengan jumlah unit usaha
pada setiap sektor.
Dalam model ini digunakan metode penduga Two Stage Least Square (2 SLS),
agar hasil pendugaan parameter yang diperoleh menjadi lebih efisien dan tidak bias.
Demikian pula untuk kondisi penggunaan data deret waktu (time series), yang dapat
menimbulkan gangguan berupa adanya autokorelasi. Untuk mengatasi gangguan
tersebut, digunakan metode Cohranne-Orcutt yang dapat mengubah bentuk persamaan
menjadi autoregresif.
Ada dua blok peubah yang digunakan dengan 17 persamaan stokastik, yaitu
blok ekonomi sebanyak 8 persamaan dan blok unit usaha sebanyak 9 persamaan
serta 3 persamaan identitas (deterministik).
Persamaan Identitas dimaksud adalah:
1. Y9t = GDPt – (Y1t+ Y2t + Y3t + Y4t + Y5t + Y6t + Y7t + Y8t )
2. Kt = 0,97 Kt-1 + CFt
3. Ut = U1t + U2t + U3t + U4t + U5t + U6t + U7t + U8t + U9t
Keterangan:
1. Y1t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha pertanian,
peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan;
2. Y2t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha pertambangan dan
penggalian;
3. Y3t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha industri pengolahan;
4. Y4t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha listrik, gas dan air
bersih;
5. Y5t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha bangunan;
6. Y6t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha perdagangan, hotel
dan restaurant;
7. Y7t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha pengangkutan dan
komunikasi;

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
91
8. Y8t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan;
9. Y9t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha usaha jasa-jasa;
10. GDPt adalahProduk domestik bruto Indonesia;
11. Ext adalah nilai ekspor barang dan jasa;
12. Kt adalah stok kapital;
13. CFt adalah investasi fisik/pembentukan modal tetap bruto;
14. U1t adalah jumlah unit usaha di sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan;
15. U2t adalah jumlah unit usaha di sektor pertambangan dan penggalian;
16. U3t adalah jumlah unit usaha di sektor industri pengolahan;
17. U4t adalah jumlah unit usaha di sektor listrik, gas dan air bersih;
18. U5t adalah jumlah unit usaha di sektor bangunan;
19. U6t adalah jumlah unit usaha di sektor perdagangan, hotel dan
restoran;
20. U7t adalah jumlah unit usaha di sektor pengangkutan dan
komunikasi;
21. U8t adalah jumlah unit usaha di sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan;
22. U9t adalah jumlah unit usaha di sektor jasa-jasa;
23. Ut adalah total unit usaha di Indonesia
III. METODE KAJIAN
3.1 Lokasi dan Objek Kajian
Kegiatan kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survai di 15
(lima belas) provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Objek
kajian adalah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah wirausaha baru dan proyeksi
jumlah wirausaha baru 2004-2009. Untuk memperkuat hasil kajian ini, juga dilakukan
inventarisasi berbagai karakteristik wirausaha skala UKM di berbagai sektor usaha.
3.2 Penarikan Sampel
Untuk memperoleh data dan informasi melalui survai, penarikan sampel
UKM dilakukan dengan cluster sampling berdasarkan sektor usaha.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
92
3.3 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari responden
melalui wawancara dengan bantuan kuesioner yang telah disusun. Responden yang
ditetapkan dalam penelitian ini adalah pemilik perusahaan. Untuk melengkapi bahan
analisis dilakukan wawancara terhadap pembina UKM dan kelompok pakar, serta
menggunakan data sekunder yang bersumber dari instansi terkait, terutama BPS.
3.4 Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Model ekonometrik digunakan untuk membuat proyeksi wirausaha baru
menurut sektor usaha;
b. Analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk karakteristik wirausaha yang
melakukan kegiatan usaha skala kecil.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Proyeksi Wirausaha Baru
Hasil proyeksi wirausaha baru skala kecil menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
1 . Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa proyeksi jumlah unit usaha kecil mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,11 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 13,65 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,72 persen dan sektor 7 sebesar 7,56 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,72 persen, kemudian diikuti sektor 2
sebesar 2,80 persen dan sektor 5 sebesar 2,86 persen. pertumbuhan terendah adalah
sektor 1 sebesar 0,72 persen, kemudian diikuti sektor 2 sebesar 2,80 persen dan
sektor 5 sebesar 2,86 persen.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
93
Tabel 1 Proyeksi Jumlah Unit Usaha Kecil Menurut Sektor Usaha Tahun
Tahun 2004-2009
Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2004-2009
1
24.371.225
24.613.911
24.840.267
25.054.974
25.249.748
25.430.953
1.059.728
Pertumbuhan
1,00
0,92
0,86
0,78
0,72
0,72
2
349.362
360.674
371.934
383.457
395.453
408.133
58.771
Pertumbuhan
3,24
3,12
3,10
3,13
3,21
2,80
3
2.666.924
2.758.832
2.858.537
2.967.023
3.084.934
3.214.111
547.187
Pertumbuhan
3,45
3,61
3,80
3,97
4,19
3,42
4
9.675
10.269
11.031
11.893
12.938
14.158
4.483
Pertumbuhan
6,14
7,42
7,81
8,79
9,43
7,72
5
163.174
167.174
171.493
176.288
181.831
191.189
28.015
Pertumbuhan
2,45
2,58
2,80
3,14
5,15
2,86
6
8.614.374
8.781.705
9.110.365
9.501.392
9.948.546
10.426.908
1.812.534
Pertumbuhan
1,94
3,74
4,29
4,71
4,81
3,51
7
2.484.825
2.628.525
2.800.124
3.012.779
3.286.351
3.611.220
1.126.395
Pertumbuhan
5,78
6,53
7,59
9,08
9,89
7,56
8
30.949
34.207
38.103
42.899
48.858
56.304
25.355
Pertumbuhan
10,53
11,39
12,59
13,89
15,24
13,65
9
2.351.729
2.458.259
2.558.764
2.657.957
2.763.798
2.876.789
525.060
Pertumbuhan
4,53
4,09
3,88
3,98
4,09
3,72
Jumlah
41.042.237
41.813.556
42.760.618
43.808.662
44.972.457
46.229.765
5.187.528
Pertumbuhan
1,61
1,88
2,26
2,45
2,66
2,80
2,11
Sumber : Data BPS (Diolah)      
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
94
Hasil proyeksi wirausaha baru skala menengah menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
2 . Dari tabel 2 tersebut terlihat bahwa proyeksi jumlah unit usaha menengah mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,11 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 13,65 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,72 persen dan sektor 7 sebesar 7,55 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,72 persen, kemudian diikuti sektor 2
sebesar 2,81 persen dan sektor 5 sebesar 2,86 persen.
Tabel 2 Proyeksi Jumlah Unit Usaha Menengah Menurut Sektor Usaha Tahun 2004-
2009
S e k to r 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 0 4 -2 0 0 9
1
1 .7 7 2 1 .7 8 9
1 .8 0 6
1 .8 2 1
1 .8 3 6
1 .8 4 9 7 7
P e r tum b u h a n 0 ,9 6
0 ,9 5
0 ,8 3
0 ,8 2
0 ,7 1 0 ,7 2
2
1 .2 2 2 1 .2 6 2
1 .3 0 1
1 .3 4 1
1 .3 8 3
1 .4 2 8 2 0 6
P e r tum b u h a n 3 ,2 7
3 ,0 9
3 ,0 7
3 ,1 3
3 ,2 5 2 ,8 1
3
8 .7 9 2 9 .0 9 5
9 .4 2 3
9 .7 8 1
1 0 .1 7 0
1 0 .5 9 5 1 .8 0 3
P e r tum b u h a n 3 ,4 5
3 ,6 1
3 ,8 0
3 ,9 8
4 ,1 8 3 ,4 2
4
1 .0 0 4 1 .0 6 5
1 .1 4 4
1 .2 3 4
1 .3 4 2
1 .4 6 9 4 6 5
P e r tum b u h a n 6 ,0 8
7 ,4 2
7 ,8 7
8 ,7 5
9 ,4 6 7 ,7 2
5
9 .4 3 1 9 .6 6 3
9 .9 1 2
1 0 .1 8 9
1 0 .5 1 0
1 1 .0 5 1 1 .6 2 0
P e r tum b u h a n 2 ,4 6
2 ,5 8
2 ,7 9
3 ,1 5
5 ,1 5 2 ,8 6
6
2 1 .6 6 7 2 2 .0 8 8
2 2 .9 1 4
2 3 .8 9 8
2 5 .0 2 2
2 6 .2 2 6 4 .5 5 9
P e r tum b u h a n 1 ,9 4
3 ,7 4
4 ,2 9
4 ,7 0
4 ,8 1 3 ,5 1
7
3 .0 3 2 3 .2 0 7
3 .4 1 6
3 .6 7 6
4 .0 1 0
4 .4 0 6 1 .3 7 4
P e r tum b u h a n 5 ,7 7
6 ,5 2
7 ,6 1
9 ,0 9
9 ,8 8 7 ,5 5
8
6 .8 2 0 7 .5 3 8
8 .3 9 6
9 .4 5 3
1 0 .7 6 6
1 2 .4 0 7 5 .5 8 7
P e r tum b u h a n 1 0 ,5 3
1 1 ,3 8
1 2 ,5 9
1 3 ,8 9
1 5 ,2 4 1 3 ,6 5
9
6 .8 7 7 7 .1 8 8
7 .4 8 2
7 .7 7 2
8 .0 8 2
8 .4 1 2 1 .5 3 5
P e r tum b u h a n 4 ,5 2
4 ,0 9
3 ,8 8
3 ,9 9
4 ,0 8 3 ,7 2
J um la h
6 0 .6 1 7 6 2 .8 9 5
6 5 .7 9 4
6 9 .1 6 6
7 3 .1 2 1
7 7 .8 4 3 1 7 .2 2 6
P e r tum b u h a n
3 ,4 4 3 ,7 6
4 ,6 1
5 ,1 3
5 ,7 2
6 ,4 6 4 ,7 4
Sumber : Data BPS (Diolah)
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
95
Hasil proyeksi wirausaha baru skala besar menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
3 . Dari tabel 3 tersebut terlihat bahwa proyeksi jumlah unit usaha besar mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,11 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 13,61 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,89 persen dan sektor 7 sebesar 7,53 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,74 persen, kemudian diikuti sektor 2
dan 5 masing-masing sebesar 2,85 persen.
Tabel 3 Proyeksi Jumlah Unit Usaha Besar Menurut Sektor Usaha Tahun
2004-2009
Sumber : Data BPS (Diolah)      
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2004-2005
1 68 68 69 70 70 71 3
Pertumbuhan – 1,47 1,45 – 1,43 0,74
2 123 127 131 136 140 144 21
Pertumbuhan 3,25 3,15 3,82 2,94 2,86 2,85
3 580 600 622 646 671 700 120
Pertumbuhan 3,45 3,67 3,86 3,87 4,32 3,45
4 93
99 107 115 125 137 44
Pertumbuhan 6,45 8,08 7,48 8,70 9,60 7,89
5 205 210 215 221 228 240 35
Pertumbuhan 2,44 2,38 2,79 3,17 5,26 2,85
6 413 421 437 455 477 500 87
Pertumbuhan 1,94 3,80 4,12 4,84 4,82 3,51
7 146 154 164 177 193 212 66
Pertumbuhan 5,48 6,49 7,93 9,04 9,84 7,53
8 333 368 409 461 525 605 272
Pertumbuhan 10,51 11,14 12,71 13,88 15,24 13,61
9 253 265 276 286 298 310 57
Pertumbuhan 4,74 4,15 3,62 4,20 4,03 3,75
Jumlah 2.214 2.312 2.430 2.567 2.727 2.919 705
Pertumbuhan 4,05 4,43 5,10 5,64 6,23 7,04 5,31

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
96
Hasil proyeksi wirausaha baru secara keseluruhan menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
3 . Dari tabel 3 tersebut terlihat bahwa proyeksi total unit usaha keseluruhan mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,28 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 12,20 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,80 persen dan sektor 7 sebesar 7,34 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,83 persen, kemudian diikuti sektor 5
dan 2 masing-masing sebesar 3,03 persen dan 3,20 persen.
Tabel 4 Proyeksi Total Unit Usaha Menurut Sektor Usaha Tahun 2004-2009
Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2004-2009
1
24.373.065
24.615.768
24.842.142
25.056.865 25.251.654 25.432.873 1.059.808
Pertumbuhan
0,70
1,00
0,92
0,86
0,78
0,72 0,83
2
350.707
362.063
373.366
384.934
396.976
409.705 58.998
Pertumbuhan
3,43
3,24
3,12
3,10
3,13
3,21 3,20
3
2.676.296
2.768.527
2.868.582
2.977.450
3.095.775
3.225.406 549.110
Pertumbuhan
2,50
3,45
3,61
3,80
3,97
4,19 3,59
4
10.772
11.433
12.282
13.242
14.405
15.764 4.992
Pertumbuhan
7,20
6,14
7,43
7,82
8,78
9,43 7,80
5
172.810
177.047
181.620
186.698
192.569
202.480 29.670
Pertumbuhan
2,03
2,45
2,58
2,80
3,14
5,15 3,03
6
8.636.454
8.804.214
9.133.716
9.525.745
9.974.045
10.453.634 1.817.180
Pertumbuhan
1,77
1,94
3,74
4,29
4,71
4,81 3,54
7
2.488.003
2.631.886
2.803.704
3.016.632
3.290.554
3.615.838 1.127.835
Pertumbuhan
5,15
5,78
6,53
7,59
9,08
9,89 7,34
8
38.102
42.113
46.908
52.813
60.149
69.316 31.214
Pertumbuhan
9,57
10,53
11,39
12,59
13,89
15,24 12,20
9
2.358.859
2.465.712
2.566.522
2.666.015
2.772.178
2.885.511 526.652
Pertumbuhan
5,73
4,53
4,09
3,88
3,98
4,09 4,38
Jumlah
41.105.068
41.878.763
42.828.842
43.880.394
45.048.305
46.310.527 5.205.459
Pertumbuhan
1,62
1,88
2,27
2,46
2,66
2,80 2,28
Sumber : Data BPS (Diolah)      
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
97
4.2 Penyesuaian Proyeksi Wirausaha Baru
Proyeksi wirausaha baru dengan menggunakan model ekonometrik, sebagaimana
disajikan di atas, memerlukan penyesuaian agar diperoleh hasil proyeksi yang lebih
akurat. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan menggunakan Mean Percentage Error
(MPE), yang secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
(Yt – Ý)
MPE = å —————— : n
Ýt
Hasil perhitungan MPE menunjukkan bahwa secara umum estimasi yang
dihasilkan dapat digunakan karena nilai MPE yang kecil, kecuali untuk sektor tertentu.
MPE pada usaha kecil untuk sektor 7 dan 9 relatif besar, sehingga hasil proyeksi akan
bias karena akan terjadi perbedaan yang relatif besar antara hasil estimasi dengan
kondisi aktual. MPE yang relatif besar untuk usaha menengah terjadi pada sektor 3
dan 7, pada usaha besar terjadi pada sektor 3, 4, 7, dan 9; sedangkan pada proyeksi
total terjadi pada sektor 3,4,6,7, dan 9. Hal ini menunjukkan bahwa MPE yang relatif
tinggi memberikan indikasi harus dilakukan penyesuaian agar diperoleh hasil proyeksi
yang lebih akurat. Penyesuaian model ekonometrik dalam kajian ini dilakukan dengan
pendekatan interval estimate dan point estimate. Interval estimate digunakan untuk
memperoleh dua jenis estimasi, yaitu estimasi pesimis dan estimasi optimis.
Sedangkan point estimate digunakan untuk memperoleh estimasi moderat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahsan yang disajikan pada uraian di muka, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Model ekonometrik merupakan pendekatan yang representatif dalam
menyusun proyeksi jumlah wirausaha di Indonesia, namun belum mampu
memberikan proyeksi yang akurat untuk sektor listrik, gas, dan air bersih;
sektor pengangkutan dan komunikasi; dan sektor jasa-jasa karena MPEnya
masih relatif besar.
2. Hasil proyeksi jumlah wirausaha baru untuk tahun 2004-2009 menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu lima tahun tersebut jumlah wirausaha baru
bertambah sekitar 5.187.527 unit usaha kecil dan 17.226 unit usaha
menengah.
3. Sektor usaha yang paling potensial untuk mengembangakan wirausaha baru
dengan skala kecil adalah usaha perdagangan, hotel dan restoran;
pengangkutan dan komunikasi; dan pertanian, peternakan, kehutanan,
perkebunan, dan perikanan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
98
4. Sektor usaha yang paling potensial untuk mengembangkan wirausaha baru
dengan skala menengah adalah keuangan, persewaan dan jasa perusahaan;
perdagangan, hotel, dan restoran; dan industri pengolahan.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya wirausaha baru adalah
karakteristik bisnis wirausaha (usia, gender, dan tingkat pendidikan; legalitas
usaha; permodalan; tujuan pemasaran; dan tenaga kerja); serta budaya
dan karakteristik wirausaha baru (motivasi berusaha; hambatan memulai
usaha; dukungan yang diterima; dan peran pemerintah).
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil proyeksi jumlah wirausaha, hasil survai karakteristik UKM,
studi kepustakaan, dan analisis yang relevan dengan berbagai aspek yang terkait
pengembangan wirausaha baru, terutama yang mempunyai implikasi terhadap
kebijakan pemberdayaan UKM, maka diajukan rekomendasi sebagai berikut :
1. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan wirausaha baru, seyogianya
mempertimbangkan potensi pengembangan menurut skala dan sektor usaha;
2. Dalam upaya pengembangan wirausaha baru di masa yang datang, perlu
mempertimbangkan karakteristik atau profil wirausaha beserta faktor-faktor
yang mempengaruhinya, baik yang melekat pada karakteristik bisnis
wirausaha maupun budaya dan karakteristik wirausaha baru.

DAFTAR PUSTAKA
Harvie, Charles and Tran Van Hoa. 2003. New Asian Regionalism : Responses to
Globalisation and Crises. Palgrave Macmillan.
Soetrisno, Noer. 2003. Kewirausahaan dalam Pengembangan UKM di Indonesia.
dalam Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Deputi bidang
Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Jakarta.
Agung Nur fajar. 1996. Model Pengembangan Kewirausahaan di Indonesia. Makalah
pada Seminar Dosen STEKPI. Jakarta.
Gnyawali, Devi R. and Daniel S. Fogel (1994). Environment for Enterpreneurship
Development : Key Dimension and Research Implications. Enterpreneurship :
Theory and Practice.
Kao, John (1989). Enterpreneurship, Creativity and Organization : Text, Cases and
Reading. Englewood Cliffs, Prentice Hall.
Kuratko and Hodgetts. 1995. Enterpreneurship : A Contemporary Approach. The
Dryden Press. New York.

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 5


NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
13
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Gunatama Megah
Business and Management Consultant Tahun 2004 (diringkas oleh : Joko Sutrisno dan Sri Lestari
HS)
KAJIAN USAHA MIKRO INDONESIA*1

ABSTRACT
Charactheristic which is owned by small enterprise signs some weakness which is
potential generates some problem. And this study has an aim to identify profile, role,
small enterprise problem, and also at the same time to recommend model development
of Indonesia small enterprise. Whereas locations and study object were in West
Sumatera, South Sumatera, East Java, West Nusa Tenggara, West Kalimantan, and
South Sulawesi. The study using survey method, data-processing by tabulation and
data analysis has done by descriptive .
From study result can be conclused that : 1) The development of small enterprise
is a national programe which is integral part of generalization development program. 2)
To assist in improving small enterpreneur ability, it is needed integrated trainee from
every element 3) Required some developing ways to improve access for small enterprise
to the bank with: (a) Developing banking corporate system, which is big bank have to
become locomotive to assist small banks like BPR, so that can improve the service to
small enterprise in the area itself, ( b) Simplify of prosedure and credit clauses, (c)
Using region otonom to create cooperate part between related deprtement and
guaranteed part to extend the budget to strategic sector which has wide affect (d)
Needed assisting partner to help in accessing process of banking fund. Whereas for
suggestions from this study are as follow:1) Fix access from small enterpreneur to
monetary service from bank, 2) Improve efficiency and goverment support 3) Fix accsess
of small enterpreneur, another monetary service co-operative and Micro Financial
Institution ( LKM ).

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang memporak-porandakan perekonomian nasional tahun 1997
yang lalu membangkitkan kesadaran pentingnya peran Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) sebagai “ tulang punggung “ perekonomian Indonesia. Berdasarkan kriteria BPS,
jumlah usaha kecil di Indonesia tahun 2002 sebanyak 40.1195.611 usaha kecil dan
99,99 persen di antaranya atau 40.195.516 merupakan usaha mikro. Pengembangan
UMKM saat ini dan mendatang menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam
menghadapi persaingan dunia usaha yang semakin ketat. Namun demikian dengan
berbagai keterbatasan yang ada, UMKM masih diharapkan mampu menjadi andalan
perekonomian Indonesia.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
14
Karakteristik yang dimiliki oleh usaha mikro mengisyaratkan adanya kelemahankelemahan
yang potensial menimbulkan berbagai masalah internal terutama yang
berkaitan dengan pendanaan. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagi
kemudahan dengan paket-paket kebijakan untuk mendorong kehidupan sektor usaha
kecil tersebut. Misalnya, kredit usaha tani dan kredit usha kecil ( KUK), namun
sayangnya apa yang telah dilakukan berkaitan dengan pemberian kredit tersebut,
belum dirasakan manfaatnya keseluruh oleh sektor usaha mikro.
Atas dasar potensi dan karakteristik tersebut, maka pemberdayaan usaha mikro
dinilai masih strategis dan sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional.
Peran strategis tersebut antara lain :
a. Dengan jumlah yang sangat banyak usaha kecil berpotensi menciptakan lapangan
kerja yang luas bagi masyarakat
b. Kontribusi terhadap PDB menurut harga berlaku sebesar 63,11 %
c. Usaha kecil merupakan pelaku ekonomi utama yang berinteraksi langsung dengan
konsumen
d. Mempunyai implikasi langsung untuk meredam persoalan-persoalan yang
berdimensi sosial politik, terbukti pada waktu krisis usaha kecil menengah
memegang peran kunci dalam kegiatan produksi dan distribusi.
Oleh karenanya sangat penting untuk mengadakan kajian yang mendalam untuk
mengidentifikasi profil, peran, permasalahan usaha mikro sekaligus merekomendasikan
model pengembangan usaha mikro di Indonesia. Diharapkan dengan kajian ini dapat
memberikan kontribusi yang signifikan kepada pihak-pihak terkait khususnya pembuat
kebijakan di sektor, usaha mikro, kecil dan menengah.
1.2 Identifikasi masalah
Hasil studi Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
menunjukkan bahwa usaha mikro memiliki permasalahan yang dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
a. Sistem pembukuan yang relative sederhana dan cenderung mengikuti kaidah
administrasi standar, sehingga datanya tidak up to date. Hal tersebut mengakibatkan
sulitnya menilai kinerja usaha mikro.
b. Margin usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat ketat
c. Modal terbatas
d. Pengalaman manajerial perusahaan terbatas.
e. Skala ekonomi yang terlalu kecil sehingga sulit mengharapkan penekanan biaya
untuk mencapai efesiensi yang tinggi.
f. Kemampuan pemasaran, negosiasi dan diversifikasi pasar yang terbatas.
g. Kemampuan untuk memperoleh sumber dana dari pasar modal yang rendah, karena
keterbatasan sistem administrasi.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
15
1.3 Tujuan dan manfaat
Kajian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui profil usaha mikro di Indonesia
b. Mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh usaha mikro
c. Menyusun model pengembangan usaha mikro yang bersifat aplikatif.
Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi yang aplikatif
dalam rangka merumuskan kebijakan pengembangan usaha mikro pada khususnya
dan pemberdayaan UMKMK pada umumnya.

II. KERANGKA PIKIR
2.1 Landasan teori
Usaha mikro mempunyai peran yang penting dalam pembangunan ekonomi,
karena intensitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dan investasi yang lebih kecil,
sehingga usaha mikro lebih fleksibel dalam menghadapi dan beradaptasi dengan
perubahan pasar. Hal ini menyebabkan usaha mikro tidak terlalu terpengaruh oleh
tekanan eksternal, karena dapat mengurang impor dan memiliki kandungan lokal yang
tinggi. Oleh karena itu pengembangan usaha mikro dapat memberikan kontribusi pada
diversifikasi ekonomi dan perubahan struktur sebagai prakondisi pertumbuhan ekonomi
jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan. Disamping itu tingkat penciptaan
lapangan kerja lebih tinggi pada usaha mikro dari pada yang terjadi di perusahaan
besar.
Dengan mempertimbangkan kelangkaan modal dalam negeri dan tingginya pertumbuhan
angkatan kerja yang berlanjut, maka perkembangan usaha mikro merupakan elemen
kunci dalam setiap strategi penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Daya saing ekonomi
nasional dipengaruhi oleh daya saing dan kondisi usaha mikro. Sebagai pemasok input,
komponen dan jasa, usaha mikro mempengaruhi daya saing perusahaan besar, termasuk
investor asing yang dapat menciptakan peluang pasar usaha mikro. Dengan demikian
pengembangan usaha mikro merupakan elemen terpadu dalam strategi daya saing
nasional dan terkait erat dengan kebijakan promosi dan investasi. Di Indonesia terutama
didaerah pengembangan usaha mikro menjadi kunci dalam usaha mengatasi kemiskinan
dan pembangunan ekonomi daerah yang lebih berimbang.
2.2 Kerangka pikir
Salah satu sifat usaha mikro adalah kemampuannya untuk beradaptasi terhadap
perubahan kondisi perekonomian dunia dibandingkan dengan perusahaan besar, oleh
karenanya usaha mikro akan cenderung lebih diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
16
yang dinamis. Lingkungan terbaik untuk pengembangan bisnis usaha mikro adalah
suatu lingkungan dimana pasar untuk input dan output berfungsi secara efektif dalam
menyediakan berbagai jasa yang memungkinkan pertumbuhan bisnis. Dalam lingkungan
ini, pemerintah seyogyanya terfokus pada fungsi intinya secara efisien dari pada
membuat distorsi dalam pasar. Pengalaman baru diberbagai negara industri menunjukan
bawa kebijakan deregulasi telah berhasil mendorong pertumbuhan lapangan kerja,
lingkungan yang kondusif dan kompetitif bagi usaha mikro yang berperan sebagai motor
pengerak penyesuaian dan perubahan struktural.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian
Daerah/ provinsi yang menjadi obyek penelitian adalah : Nusa Tenggara Barat.
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.
3.2. Ruang lingkup kajian meliputi:
a. Mengidentifikasi kondisi usaha mikro,(fokus kajian pada usaha mikro yang bergerak
pada usaha tanaman pangan semusim dan aspek perdagangan).
b. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi usaha mikro dalam pengembangan
usahanya
c. Mengidentifikasi dukungan perkuatan bagi perkembangan usaha mikro dengan
mengkaji alternatif sumber pembiayaan lainnya (misal modal syariah, dan modal
ventura).
3.3 Prosedur Penelitian
Kajian ini dilaksanakan dengan methode survey dan diskusi daerah. Data primer
diperoleh dari data lapang dengan cara wawancara menggunakan daftar pertanyaan,
serta diskusi daerah. Data sekunder diperoleh dari berbagai referensi, laporan hasil
penelitian, dan dokumen dari berbagai instansi terkait. Pengolahan data dengan cara
tabulasi , sedang analisa data menggunakan analisa deskriptif sederhana.
Bagan1 . Prosedur Penelitian
Data Primer
Data Lembaga
Penelitian
Data-data
Untuk analisis
Data Sekunder
Data
Instansi terkait
1. Data Kualitatif
2. Data Kuantitatif
Data Lapang dari
wawancara dan
diskusi /lokakarya
di 8 provinsi
Data Kuantitatif
Data Kualitatif
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
17
Tahun
Sektor
2000 2001 2002 2003
Pertanian
Industri
Perdagangan
Lain-lain
11,6
5
15
3
11,8
5,2
16,1
3
12,2
5,8
16,9
4,4
12,5
6,5
18
4,8
T o t a l 34,6 36,1 39,3 41,8
Sumber : BPS
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Usaha Mikro Di Daerah Penelitian
Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2003 sekitar 97 % dari seluruh
perusahaan di Indonesia Merupakan Usaha Mikro, yaitu 41,8 juta dengan kontribusi
terhadap PDB sebesar 30 % dengan tenaga kerja 71,44 juta, sementara keseluruhan
usaha mikro, kecil dan menengah sebanyak 42,5 juta usaha dengan kontribusi terhadap
PDB sebesar 57 %. Adapun yang dimaksud dengan usaha mikro menurut Keputusan
Menteri Keuangan nomor 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 adalah:
q Usaha produktif milik keluarga atau perorangan
q Penjualan maksimal Rp 100 juta pertahun
q Kredit yang diajukan maksimal Rp 50 juta
Tabel 1 .Perkembangan Usaha Mikro Nasional Persektor Usaha
(dalam juta unit)
Dari data tersebut ditunjukkan, bahwa secara nasional usaha mikro di Indonesia selama
4 tahun mengalami peningkatan sebesar 7,2% atau rata-rata 2,4%. Usaha mikro
yang berjumlah 41,8 juta usaha tersebut kebanyakan berkonsentrasi di subsektor
perdagangan yaitu sebanyak 18 juta selanjutnya pertanian 12,5 juta industri 6,5 juta
dan lain-lain 4,8 juta.
Adapun sebaran usaha mikro, kecil, menengah di daerah penelitian adalah sebagai
berikut:
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
18
Provinsi Usaha Mikro Usaha Kecil
Usaha
Menengah
Jumlah Usaha
Mikro, kecil, dan
menengah
1 2 3 4 5
1. Sumbar
2. Sumsel
3. Kalsel
4. Kalbar
5. Sulsel
6. Sulut
7. Jatim
8. NTB
1.525.324
1.700.205
896.530
785.760
1.723.254
755.650
2.082.350
625.360
44.606
119.014
162.019
275.230
316.365
132.105
400.445
153.137
5.070
6.056
2.011
8.370
20.335
2.245
40.655
1.503
1.575.250
1.825.275
1.050.560
1.058.360
2.950.054
890.350
3.253.450
780.000
Sumber : BPS
Tabel 2. Sebaran Usaha Mikro, Kecil, Menengah di Daerah Penelitian
Pulau Jawa mendominasi jumlah usaha mikro nasional, sedangkan jumlah usaha mikro
berdasarkan sektor dan daerah-daerah kajian ditunjukkan data seperti terlihat pada
tabel berikut:
Tabel 3 Komposisi Usaha Mikro berdasarkan Subsektor Usaha
Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Lain-lain
1 2 3 4 5
1. Sumbar
2. Sumsel
3. Kalsel
4. Kalbar
5. Sulsel
6. Sulut
7. Jatim
8. NTB
25.341
50.025
46.530
85.760
223.24
155.950
602.350
25.025
550.350
650.020
349.176
224.150
550.002
210.925
800.238
200.360
900.150
900.076
465.804
465.337
869.773
380.190
1.501.998
390.064
49.501
29.914
35.020
10.513
80.225
90575
99.763
9.011
Sumber : BPS

4.2. KEBIJAKAN USAHA MIKRO DAN PENYALURAN KREDIT MIKRO DI DAERAH
PENELITIAN
Berbicara tentang usaha mikro tentu tidak terlepas dengan kredit mikro. Pengertian
dari kredit mikro sangat terkait dengan pengertian usaha mikro. Secara universal
pengertian kredit mikro antara lain diantaranya: Adalah definisi yang dicetuskan dalam
pertemuan The world Summit on Microcredit di Washington pada tanggal 2-4 Februari
1997 adalah program/kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
19
masyarakat miskin untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan, pemberian
pinjaman untuk mengurus diri sendiri dan keluarganya.
Definisi kredit mikro di atas bukanlah harga mati, tentu saja definisi yang lebih luas
tentang kredit mikro tergantung dari masing-masing negara. Namun pada dasarnya
ada beberapa kriteria dasar dalam menjalankan program kredit mikro yang meliputi:
Tabel 4. Kriteria dasar Program Kredit Mikro
Ada beberapa model kredit mikro baik di Indonesia maupun di mancanegara. Model
KRITERIA BESARAN KETERANGAN
1. Ukuran
2. Kelompok Sasaran
3. Penggunaan
4. Waktu dan Persyaratan
· Pinjaman kecil atau sangat kecil
· Pengusaha kecil (sektor informal)
· Keluarga berpendapatan rendah
· Meningkatkan pendapatan
· Pengembangan usaha
· Kegiatan sosial (kesehatan,
pendidikan)
· Fleksibel
· Disesuaikan dengan kondisi
persyaratan
Misalnya di
kebanyakan kelompok
informal/paguyuban
pinjaman antara Rp
200.000 s.d. 1.000.000
Sumber : bank Indonesia
kredit mikro yang ada di Indonesia dirancang dan digulirkan pemerintah antara lain :
Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Usaha keluarga Sejahtera (KUKESRA), Badan Usaha
Unit Desa (BUUD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring
Pengaman Sosial (JPS), Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis
Ekonomi (PDMDKE). Adapun program kredit mikro yang non pemerintah adalah :
arisan, bank plecit, rentenir, koperasi simpan pinjam, dan beberapa model kredit mikro
yang digagas dan diselenggarakan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
diantaranya yang diselenggarakan oleh YPM Kesuma Multiguna, Bina Swadaya, YPWI,
dan beberapa Lembaga Pengabdian Masyarakat Perguruan Tinggi.
Sedangkan model kredit mikro mancanegara antara lain adalah Grameen Bank di
Bangladesh, SEWA Bank di India, Bank for Agricultural Cooperatives (BAAC) di Thailand,
Rottating Savings and Credit Associations (ROSCAs) hampir ada di setiap negara
dengan berbagai nama dan kegiatan. ROSCAs di Indonesia contohnya adalah arisan,
andilan, dan julo-julo.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
20
4.3. Pemanfaatan Dana Perbankan oleh Usaha Mikro
Dari hasil kajian dan data BPS (2000) ditunjukkan bahwa meskipun kebijakan dan
program pemberdayaan UKM khususnya : mendorong komitmen perbankan untuk
melayani usaha kecil dan mikro dengan mewajibkan seluruh bank menyalurkan 22,5 %
sampai 25 % dari total kreditnya untuk usaha kecil dan meningkatkan plafon kreditnya
dari Rp 250 juta menjadi Rp 350 juta, ternyata hanya sebagian kecil dari industri kecil
(IK) dan industri rumah tangga (IRT) yang memanfaatkan dana perbankan untuk menutupi
kekurangan modalnya. Industri kecil yang memanfaatkan pinjaman modal dari bank
baru 37,4 % , sedang industri rumah tangga baru 8,6 %. IK dan IRT lebih banyak
memanfaatkan tambahan modal dari pihak-pihak lain seperti koperasi, modal ventura,
lembaga non bank , keluarga, perorangan, dan lainnya. Rendahnya persentase IK dan
IRT memanfaatkan dana perbankan karena sulit memenuhi persyaratan perbankan,
birokrasi, dan prosedur yang cukup rumit.
4..4. Hasil analisis SWOT usaha mikro di Indonesia ditunjukkan:
4.4.1 Strenght (keunggulan)
Usaha Mikro memiliki keunggulan komparatif :
a. Usaha Mikro beroperasi menebar di seluruh pelosok dengan berbagai ragam bidang
usaha;
b. Usaha Mikro beroperasi dengan investasi modal untuk aktiva tetap pada tingkat
yang rendah;
c. Sebagian besar Usaha Mikro dapat dikatakan padat karya (labour intensive)
d. Hubungan yang erat antara pemilik dan karyawan menyebabkan sulitnya terjadi
PHK (Pemutusan Hubungan kerja).
4.4.2 Weakness (kelemahan)
a. Pemasaran (permasalahan persaingan pasar dan produk; permasalah akses
terhadap informasi pasar, dan permasalahan kelembagaan pendukung usaha mikro
b. Permodalan
c. Marjin Usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat tinggi
d. Kemitraan
e. Sumberdaya Manusia. Struktur organisasi dan pembagian kerja/ tugas kurang
atau tidak jelas, bahkan sering mengarah pada one man show. Sulit mencari dan
mempertahankan tenaga kerja atau pegawai yang memiliki loyalitas, disiplin,
kejujuran, dan tanggung jawab yang cukup tinggi. Kemampuan manajerial
perusahaan masih lemah.
f. Keuangan. Belum mampu memisahkan manajemen keuangan perusahaan dan
rumah tangga. Belum mampu melakukan perencanaan, pencatatan serta pelaporan
keuangan yang rutin dan tersusun baik
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
21
4.4.3 Opportunity
a. Ketika dunia terpadu secara ekonomi, bagian komponen-komponennya menjadi
lebih banyak, lebih kecil, dan lebih penting. Secara serentak ekonomi global
berkembang, sementara ukuran bagian-bagiannya menyusut. Makin besar dan
terbuka ekonomi dunia, akan makin besar peran usaha-usaha mikro (John Naisbitt,
Global paradox)
b. Perusahaan Multinasional (MNC) cenderung melakukan desentralisasi manajemen
yang dikelola secara otonom dalam unit-unit yang lebih kecil yang memberikan
kesempatan usaha mikro untuk aktif
c. Perbaikan akses pasar dan penghapusan Multifiber Arrangement (MFA)
kesepakatan GATT, yang mana dari jenis-jenis produk tersebut baik pertanian
maupun produk-produk dalam rangka MFA pada dasarnya merupakan barangbarang
yang diproduksi oleh usaha mikro
4.4.4 Threat
a. Dalam persaingan global dan kelonggaran pasar akan mengundang para pesaing
dari sesama negara berkembang, sehingga dapat diduga persaingan harga akan
menjadi lebih ketat, sama seperti persaingan non harga.
b. Hanya perusahaan yang efisien dan produktif yang mampu memanfaatkan peluang
tersebut. Padahal usaha mikro belum mampu mempertahankan kualitas produk,
memiliki jaringan pemasaran terbatas, kesulitan menjaga kesinambungan delivery
(pengiriman), serta lemah dalam promosi.
4.5. Faktor- faktor yang masih menjadi kendala dalam peningkatan daya saing
dan kinerja usaha mikro antara lain:
1. Lemahnya sistem pembiayaan dan kurangnya komitmen pemerintah bersama
legislatif terhadap dukungan permodalan usaha mikro sehingga keberpihakan
lembaga-lembaga keuangan dan perbankan masih belum seperti diharapkan;
2. Kurangnya kemampuan usaha mikro untuk meningkatkan akses pasar, daya saing
pemasaran, serta pemahaman regulasi pasar baik pasar domestik maupun pasar
global;
3. Terbatasnya informasi sumber bahan baku dan panjangnya jaringan distribusi,
lemahnya kekuatan tawar-menawar khususnya bahan baku yang dikuasai oleh
pengusaha besar, mengakibatkan sulitnya pengendalian harga;
4. Belum tercapainya blue print platformteknologi dan informasi yang meiputi masalah
regulasi, pembiayaan, standarisasi, lisensi, jenis tekologi tepat guna, dan fasilitas
pendukung teknologi kerja yang mampu digunakan sebagai keunggulan bersaing;
5. Masih rendahnya kualitas SDM yang meliputi aspek kompetensi, keterampilan,
etos kerja, karakter, kesadaran akan pentingnya konsistensi mutu dan standarisasi
produk dan jasa, serta wawasan kewirausahaan;
6. Proses perijinan badan usaha, paten, merk, hak cipta, investasi, ijin ekspor impor
yang masih birokratis dan biaya tinggi serta memerlukan waktu yang panjang;
7. Keberadaan jasa lembaga penjamin, asuransi, dan jasa lembaga keuangan non
bank lainnya masih belum mampu melayani usaha mikro secara optimal;
8. Tidak berfungsinya secara baik lembaga promosi pemerintah di dalam menunjang
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
22
promosi produk dan jasa usaha mikro baik untuk pasar domestik maupun pasar
global.
4.6 Hambatan pasar usaha mikro, yang ditemukan dari kajian ini yaitu;
1) Distorsi segmen pasar bawah karena penyediaan berbagai jasa pembinaan yang
bebas biaya oleh pemerintah dan para donor
2) Penyediaan jasa yang tidak memadai
3) Kelangkaan modal kerja dan pendanaan
Untuk mengatasi hambatan ini, diusulkan penggunaan instrumen sebagai berikut;
1) Skema voucher, untuk mendukung usaha mikro saat pasca pendirian dan formalisasi
usaha.
2) Skema matching grant untuk diagnostik usaha dan pengembangan strategi usaha
jangka menengah.
3) Skema matching grant untuk pengembangan produk dan proses kerjasama
penelitian dan pengembangan.
4) Skema matching grant untuk riset pasar input dan output.
4.7. Strategi Umum Pengembangan Usaha Mikro .
Kebijakan pengembangan usaha mikro yang efektif hendaknya dilakukan secara
lebih luas dan terpadu, bukan hanya sekedar membuat daftar program dukungan finansial
dan teknis yang berdiri sendiri tanpa adanya kaitan antara satu dengan yang lain.
Kebijakan pengembangan usaha mikro memerlukan pengkajian dan reorientasi peran
pemerintah dalam banyak aspek. Kebijakan pemerintah yang baik merupakan salah
satu isu sentral dalam pengembangan usaha mikro yang berkesinambungan, untuk itu
perlu penyempurnaan kebijakan pengembangan usaha mikro oleh pemerintah.
Pengaturan pemerintah dan implementasinya sangat mempengaruhi akses usaha mikro.
Ketidakpastian hukum akan membuat distorsi dalam pengambilan keputusan akan
menyulitkan pengembangan usaha mikro terutama dalam menghadapi pasar yang
berkembang dengan dinamis.
Langkah-langkah khusus untuk mempromosikan usaha mikro hanya akan
merupakan hal yang semu saja jika tidak dilakukan secara terpadu. Ada beberapa
bidang kebijakan prioritas yang perlu dilakukan perbaikan antara lain; penciptaan dan
pemeliharaan stabilitas ekonomi makro, reformasi sistim peradilan, serta alih peran
penting dalam pengembangan usaha kecil..
Pemerintah dalam mengembangkan usaha mikro perlu menerapkan kebijakan
dan program secara transfaran dan bertanggung jawab. Stimulasi yang diberikan untuk
meningkatkan daya saing secara teknis maupun finansial dinilai tidak dapat langsung
mengatasi hambatan-hambatan eksternal maupun internal yang dialami oleh sebagian
besar atau bahkan seluruh usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia. Sebaiknya
peran pemerintah adalah menciptakan insentif dan iklim yang kondusif agar usaha
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
23
mikro mampu menghadapi persaingan. Secara praktis, hal ini berarti membangkitkan
upaya untuk menghilangkan monopoli dan menghapuskan berbagai hambatan
perdagangan dalam negeri dan internasional. Dengan meningkatnya peluang bisnis
dan akses kepada sumberdaya produktif akan meningkatkan daya saing dan
kemampuan berwiraswasta. Instrumen pengaturan juga perlu melihat pada standarisasi
dan sertifikasi, serta piranti tidak langsung seperti peningkatan akses informasi dan
pelatihan yang relevan.
Pengembangan usaha mikro secara terpadu untuk meningkatkan daya saing
dan akses usaha mikro ke sumberdaya produktif perlu dilakukan melalui kebijakan
bidang: pengembangan infrastuktur, pembangunan daerah, komunikasi serta angkutan,
riset terapan dan pendidikan, promosi, perdagangan dan investasi. Otonomi daerah
juga menyebabkan peran dan tugas pemerintah kabupaten/kota dan propinsi lebih
meningkat , sehingga masih perlu kajian lebih lanjut untuk melihat labih jauh tentang
peran dan fungsi pemerintah pusat dan daerah untuk mengetahui batas peran dan
fungsi masing-masing serta mencegah terciptanya peraturan yang menghambat
perdagangan antar daerah. Disamping itu penyediaan informasi yang konsisten,
komprehensif dan terintegrasi untuk pengambilan kebijakan politik dan bisnis masih
perlu ditingkatkan.
4.8 Fasilitasi koordinasi melalui skema pembiayaan bersama.
Pendekatan baru yang dilakukan dalam pengembangan usaha mikro dan klaster di
daerah ialah pengenalan skema pembiayaan bersama (cost sharing). Melalui konsep
ini belanja daerah dapat dialihkan atau dialokasikan misalnya 40 % dan pusat
menyediakan kekurangan lainnya atau menyediakan insentif bagi stakeholder. Dengan
pembiayaan bersama ini pemerintah pusat mendapat keuntungan, karena pusat dapat
memperoleh akses langsung ke berbagai sistem dan memahami strategi yang
dikembangkan oleh daerah. Skema pembiayaan bersama didaerah akan dilengkapi
dengan matching grant scheme untuk mendukung asosiasi bisnis nasional dalam
mengembangkan inteligence pasar dalam negeri. Dalam rangka pengembangan konsep
ini memerlukan perhatian khusus dalam hal pemantapan koordinasi antara lain karena
(a). Saat ini lebih dari 15 Kementerian dan Lembaga Nasional terkait dalam
pengembangan UKM khususnya usaha mikro dan (b). Sekurangnya tiga lembaga
membawa mandat tumpang tindih dalam kebijakan koordinasi usaha mikro. Koordinasi
dalam pengembangan usaha mikro sampai saat ini belum mampu dijalankan secara
efektif dan terpadu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pengembangan usaha mikro merupakan program nasional yang memiliki peranan
yang strategis karena merupakan bagian integral dari upaya pemerataan hasilhasil
pembangunan.
2. Dalam rangka membantu meningkatkan kemampuan pengusaha mikro diperlukan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
24
pembinaan secara terpadu dari semua unsur terutama dinas-dinas terkait agar
usaha mikro dapat berkembang secara berkesinambungan yang akan berdampak
pada peningkatan perekonomian daerah dan perekonomian nasional .
3. Masih perlu dikembangkan upaya untuk meningkatkan akses usaha mikro, kepada
bank dengan cara :
a. Mengembangkan sistim kelembagaan perbankan, Bank besar harus menjadi
lokomotif yang dapat mengandeng bank-bank kecil( BPR) agar dapat
meningkatkan pelayanan kepada pengusaha mikro di daerah.
b. Penyederhanaan formulir dan sarana pendukung lainya untuk memberikan
kemudahan dalam prosedur perkreditan.
c. Memanfaatkan keberadaan otonomi daerah untuk menciptakan pola
kerajasama antara dinas/instansi terkait dan lembaga penjamin untuk
memperluas pembiayaan ke sektor usaha strategis yang berdampak luas.
d. Selama ini usaha mikro tidak mampu mengakses kredit kepada bank untuk
itu diperlukan adanya :
q Lembaga pendamping dalam proses untuk mengakses dana
q Informasi potensi pembiayaan sektor usaha yang diketahui bank.
Dengan upaya tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan usaha mikro secara
optimal.
4. Untuk meningkatkan keuangan usaha mikro yang disarankan :
1) Memperbaiki akses dari pengusaha mikro kepada layanan keuangan dari
bank
2) Meningkatkan efesiensi dan jangkauan dari dukungan dan layanan pemerintah
dalam pemberdayaan keuangan pengusaha mikro, kecil, menengah dan
Koperasi.
3) Memperluas akses dari pengusaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
ke layanan keuangan alternative dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM ).
4). Kredit Program agar difokuskan pada sektor yang tidak dapat dilayani oleh
bank umum,
5) Mengkaji ulang peraturan Bank Indonesia tentang agunan, pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva (PPAP) dinilai mempunyai dampak yang negartif terhadap
akses usaha mikro pada kredit komersial.
6) Penjaminan kredit agar diperluas dan diperbesar jumlahnya
7) Subsidi dan dukungan pemerintah bisa diperuntukkan:
q untuk menyediakan fee/marjin pengelolaan kepada bank penyalur
q mengambil alih resiko serta biaya yang berhubungan dengan pemindahan
dana jangka pendek atau mata uang asing kepada kredit rupiah jangka panjang.
q Subsidi suku bunga hendaknya jangan diberikan tanpa disertai dengan tujuan
dan kriteria yang jelas.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992.
Departemen Koperasi dan UKM, Jakarta
Anoraga, Pandji, SE, MM dan Sudantoko, Djoko, S. Sos, MM. 2002 Koperasi
Kewirausahaan, dan Usaha Kecil. Rineka Cipta, Jakarta
Cheston, Suzy dan Kuhn, Lisa, 2002. Measuring Transformation: Assessing and
Improving the Impact of Micro Credit. Washington D.C. Microcredit
SummitCampaignhttp:/www.microcreditsummit.org/papers/impactpaper.htm
Hanson, Ward, 2000. Pemasaran Internet. Edisi Keempat, South Western College
Publishing, Singapura, 2000.
Hitt, Michael A, Ireland, R. Duane, Hosjisson, Robert, Robert E, 2001. Manajemen
Strategis: Daya Saing dan Globalisasi. Edisi Keempat, South Western
College Publishing, Singapura, 2001.
Hubies, M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui
Pemberdayaan Manajemen Industri (Buku Orasi Guru Besar). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Iwantono, Sutrisno. 2002. Kiat Sukses Berwirausaha: Strategi Baru Mengelola Usaha
Kecil dan Menengah, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 2002
Hollah, Detlev. ProFI Microfinance Institution Study. SMERU Working Paper.
Denpasar, Maret, 2001.
Nasution, M.1999. KOPERASI: Pemikiran dan Peluang Pembangunan Masa
Depan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Sebstad, Jennefer, Juni 1998. Toward Guidelines for Lower-Cost Impact Assessment
Methodologies for Microenterprise Programs. Discussion Paper for the
Second Virtual Meeting of the CGAP Working Group on Impact Assessment
Methodologies. Washington, D. C. USAID AIMS
Wijaya, Kresna. 2002. Kumpulan Pemikiran: Analisis Pemberdayaan Usaha Kecil.
Pustaka Wirausaha Muda, Bogor