Senin, 07 November 2011

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 9


NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
KOMODITI LIDAH BUAYA (ALOEVERA)
Suhendar Sulaeman*

Abstrak
Aloe as an agriculture commodity is needed by many people in the world, but the
material stock is not supporting the manufacturing industries. Indonesia has a very
potential territory to develop aloe agri-business, so this is a chance for developing the
territory economic and people. Agri-business model for aloe commodity, which is
designed with business cluster approach, is a dynamic model. It means this model can be
used not only in West Kalimantan, but also in another territory as long as the
requirements are appropriate, especially the technical cultivation. Economically and
financially, this agri-business opportunity is feasible to develop, especially for increasing
territory and people economic activity by using local resource superiority.
Kata kunci : Agribisnis, Lidah Buaya, Jeli Lidah Buaya, Koktil Lidah Buaya, Tepung
Lidah Buaya, Kluster Bisnis, UKM, ULP2, BDS-P, Kelompok Tani, Ekonomi Wilayah,
Ekonomi Masyarakat, Keunggulan Komparatif, Sumberdaya Lokal.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia saat ini berusaha menggeliat untuk dapat
bangkit kembali setelah terpuruk atau krisis ekonomi dan sosial sejak tahun
1978 yang lalu. Melepaskan dari keterpurukan ekonomi memang tidak mudah,
apalagi bila dibayang-bayangi oleh ancaman kemungkinan terjadinya krisis
ekonomi jilid ke-2 di Asia yang menjadi kekhawatiran para menteri keuangan
negara-negara Asia yang bertemu pada pertengahan bulan Mei 2007 di Jepang.
Kekhawatiran terjadi kembali krisis ekonomi merupakan peringatan dini yang
harus ditindaklanjuti untuk menangkalnya, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama oleh negara-negara di Asia. Kebersaman antar negara Asia dalam
kontek globalisasi untuk mencegah krisis berikutnya akan sangat membantu
dalam hal ini Keichi Ohmae (2005) mengatakan bahwa ada empat faktor kunci
kehidupan bisnis dunia yang telah meraih posisi yang secara efektif tanpa
adanya batas, yaitu: komunikasi, modal, korporasi dan konsumen. Oleh karena
itu dapat disebutkan bahwa khusus untuk Indonesia diperlukan sesegera
mungkin melakukan upaya mengerakkan kegiatan sektor riil secara terencana
dan berkesinambungan. Ini artinya bahwa keberadaan institusi yang baik dan
kuat akan berdampak positif bagi pengembangan sektor ekonomi riil. Laporan
Word Bank (2006) menyebutkan bahwa ada petunjuk yang mendukung
pandangan bahwa institusi yang lemah dan tidak setara, memiliki pengaruh
kausatif atas instabilitas ekonomi. Karena upaya tersebut dipercaya akan dapat
*) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
2
meningkatkan aktivitas ekonomi di berbagai lapangan usaha dan wilayah,
sehingga menjadi barier bagi terjadinya krisis ekonomi jilid ke-2.
Salah satu bukti empiris adalah bahwa walaupun banyak hambatan,
sejak awal krisis ekonomi sepuluh tahun yang lalu sampai dengan saat ini roda
perekonomian Indonesia lebih banyak digerakkan oleh konsumsi masyarakat
dan ketangguhan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Oleh karena itu, upaya
pengembangan Usaha Kecil dan Menengah terutama yang banyak
mengandalkan sumberdaya lokal dan didukung oleh adanya institusi yang
handal, merupakan tumpuan dalam upaya memperbaiki kondisi sosial dan
ekonomi negara di masa mendatang.
Usaha Kecil dan Menengah yang umumnya melibatkan banyak orang,
baik sebagai pemilik usaha maupun tenaga kerja, tampaknya dipercaya banyak
pihak dapat menjadi solusi untuk mengerakkan aktivitas ekonomi riil di
Indonesia. Kendala yang dihadapi oleh UKM di Indonesia dalam mengemban
usahanya pada umumnya masih merupakan kendala klasik, seperti keterbatasan
akses terhadap sumber pendanaan dan pemasaran. Namun demikian, dibalik
kesulitan dana bagi pengembangan UKM terutama UKM pemula (start-up),
ternyata banyak diantara mereka yang produknya mempunyai keunggulan
komparatif. Salah satu komiditi yang dimaksud adalah produk olahan dari lidah
buaya (Aloevera).
Tanaman lidah buaya yang mudah tumbuh dengan baik di lahan gambut
sekitar khatulistiwa dapat dijadikan sebagai komoditi unggulan mengingat
manfaat dan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sayangnya salah satu komoditi
yang mempunyai keunggulan komparatif tersebut belum diusahakan secara
optimal.
Hingga saat ini sebagian besar tanaman lidah buaya diolah menjadi
makanan dan minuman atau diekspor dalam bentuk pelepah segar ke negara
tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Brunai Darussalam. Hasil olahan
yang terbatas dan ekspor dalam bentuk bahan baku hanya memberikan sedikit
nilai tambah. Nilai tambah akan diperoleh jika tanaman lidah buaya diolah
menjadi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjutan.
Industri lanjutan yang berbahan baku tanaman lidah buaya antara lain
industri farmasi dan kosmetika. Sebagai bahan baku, tanaman lidah buaya tidak
bisa digunakan secara langsung dalam bentuk pelepah segar, tetapi harus diolah
dahulu menjadi gel (aloe gel) atau tepung (aloe powder). Rasio kebutuhan
pelepah segar terhadap produk olahan seperti tepung lidah buaya sangat besar,
bahkan perbandingan untuk tepung lidah buaya dengan kualitas sangat baik
dapat mencapai 150 : 1. Tepung dengan kualitas tersebut dengan berat yang
sama nilai rupiahnya bisa mencapai seribu empat ratus kali lipat dari bahan
bakunya. Ini artinya adalah bahwa dari sisi bisnis, komoditi tersebut sangat
berpotensi untuk dikembangkan, sehingga dapat meningkatkan pendapatan
petani dan pelaku industri pengolahannya, yang pada akhirnya akan berdampak
positif pada peningkatan ekonomi wilayah. Oleh karena itu, apabila komoditi
tersebut akan dikembangkan pengusahaannya, maka sebaiknya industri yang
3
memproduksi gel ataupun tepung harus memiliki kontinuitas ketersediaan bahan
baku (pelepah segar). Kondisi tersebut dapat tercapai jika industri dan budidaya
terkait secara langsung dalam suatu klaster bisnis.
Adanya klaster bisnis yang mengkaitkan industri dan budidaya yang
didukung dengan kehadiran institusi yang kuat, diantaranya akan dapat
mencegah terjadinya perebutan bahan baku yang dapat berakibat mematikan
industri hilir. Kondisi tersebut justru akan memberikan jaminan kepastian pasar
bagi hasil panennya selain dimungkinkan adanya bantuan sarana produksi dan
pendampingan dalam penggunaan teknologi. Agribisnis dengan berbasis
tanaman lidah buaya dimaksud adalah pengusahaan komoditi lidah buaya mulai
dari budidaya, agroindustri (industri pengolahan) dan pemasaran hasil produk
akhirnya.
2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai melalui kajian ini adalah mempelajari dan
sekaligus merancang model pengembangan agribisnis aloevera melalui
pendekatan klaster bisnis.
Dengan terbentuknya Model Agribisnis yang didalamnya terdapat
klaster bisnis lidah buaya ini, diharapkan dapat mengembangkan usaha kecil
dan menengah terpadu yang mampu menjadi salah satu solusi untuk
memperbaiki kondisi sosial ekonomi Indonesia.
Secara lebih spesifik dapat disebutkan bahwa klaster bisnis ini
diharapkan dapat :
1). Menciptakan agroindustri berbasis lidah buaya terpadu dalam bentuk klaster
yang tangguh.
2). Memberikan nilai tambah ekonomis bagi komoditi lidah buaya
3). Menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat terutama pada beberapa
kawasan disekitar khatulistiwa yang berlahan gambut.
4). Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani budidaya dan pelaku
industri pengolahan lidah buaya serta pihak lain yang terkait dengan
agribisnis lidah buaya.
3. Metode Kajian
Kajian ini merupakan penelitian terapan dengan menggunakan metode
survey. Mundrajad (2003) menyebutkan bahwa penelitian terapan adalah
penelitian yang menyangkut aplikasi teori untuk memecahkan permasalahan
tertentu. Dengan lokasi survey di Pontianak dan Siantan, Propinsi Kalimantan
Barat. Data yang dikoleksi adalah :
1). Data primer yang bersumber dari : a) pengusaha kecil (petani lidah buaya,
industri kecil cocktail lidah buaya), b) pengusaha menengah dan besar
industri pengolahan cocktail dan jelly lidah buaya, c) peneliti aloevera
center dan expert lidah buaya, d) pejabat terkait dengan pengembangan
lidah buaya di Kalimantan Barat, dan e) tokoh masyarakat formal dan non
formal.
4
2). Data sekunder diperoleh dari: Aloevera center, Bank Umum dan instansi
terkait (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tingkat I dan Dinas Urusan
Pangan Kota Pontianak);
Untuk keperluan melihat apakah agribisnis lidah buaya ini cukup layak
untuk dikembangkan oleh UKM dengan pendekatan klaster bisnis, digunakan
metode analisis kelayakan bisnis. Husein Umar (2003) menyebutkan bahwa
studi kelayakan bisnis merupakan penelitian atau kajian terhadap rencana bisnis,
yang tidak hanya menganalisis layak atau tidaknya bisnis dibangun, tetapi juga
saat dioperasionalkan secara rutin, dalam rangka pencapaian keuntungan yang
maksimal untuk waktu yang tidak ditentukan.
II. AGROINDUSTRI LIDAH BUAYA
1. Manfaat Lidah Buaya
Lidah buaya merupakan salah satu dari 10 jenis tanaman terlaris di dunia
yang telah dikembangkan oleh negara-negara maju seperti Amerika, Australia
dan negara di benua Eropa sebagai bahan baku industri farmasi dan pangan.
Begitu pentingnya lidah buaya sebagai bahan baku industri pada saat ini dan
masa mendatang adalah didasarkan pada manfaat yang besar bagi kehidupan
manusia. Bahkan komoditi ini telah digunakan oleh manusia sejak dahulu kala.
Mutiara Hijau/Lidah Buaya (Aloevera) adalah, tanaman yang tumbuh
subur di Pontianak dan sekitarnya, tanaman ini menurut catatan WHO, lebih
dari 23 negara menggunakan si “Mutiara Hijau” sebagai bahan baku obatobatan
dan pada zaman raja Mesir Cleopatra menggunakan Aloevera sebagai
pembasuh kulit yang sangat mujarab sehingga dijadikan bahan baku kosmetika
yang penting. Di Amerika bagian barat daya lidah buaya (Aloevera) ditanam
sebagai tanaman hias di perkarangan rumah, dan dimanfaatkan sebagai obat
luka bakar (Aloevera Center www.bppt.go.id)
Penggunaan tanaman lidah buaya dalam industri secara garis besar dapat
dibagi menjadi empat jenis industri, yaitu:
1). Industri pangan, sebagai makanan tambahan (food supplement), produk
yang langsung dikonsumsi dan flavour
2). Industri farmasi dan kesehatan, sebagai anti inflamasi, anti oksidan, laksatif,
anti mikrobial dan molusisidal, anti kanker, imunomodulator dan
hepatoprotector. Paten yang telah dilakukan beberapa negara maju antara
lain: CAR 1000, CARN 750, Polymannoacetate, Aliminase, Alovex dan
Carrisyn.
3). Industri kosmetika, sebagai bahan baku lotion, krem, lipstik, shampo dan
kondisioner.
4). Industri pertanian, sebagai pupuk, suplemen hidroponik, suplemen untuk
media kultur jaringan dan penambah nutrisi pakan ternak
Penggunaan tanaman lidah buaya yang cukup besar di dalam industri
dikarenakan komponen-komponen yang dimilikinya cukup lengkap dan
5
bermanfaat. Komponen tersebut terdapat dalam cairan bening yang seperti jeli
dan cairan yang berwarna kekuningan.
Cairan bening seperti jeli diperoleh dengan membelah batang lidah
buaya. Jeli ini mengandung zat anti bakteri dan anti jamur yang dapat
menstimulasi fibroblast yaitu sel-sel kulit yang berfungsi menyembuhkan luka.
Selain kedua zat tersebut, jeli lidah buaya juga mengandung salisilat, zat
peredam sakit, dan anti bengkak seperti yang terdapat dalam aspirin.
Lidah buaya sebagian besar, 95%, mengandung air, sisanya mengandung
bahan aktif (active ingredients) seperti: minyak esensial, asam amino, mineral,
vitamin, enzim dan glikoprotein. Untuk setiap 100 gram bahan terdapat bahan
aktif seperti yang tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Komponen Gel Lidah Buaya
No. Komponen Nilai
1. Air 95.510 %
2. Total Padatan terlarut, terdiri atas: 0.0490 %
a. Lemak 0.0670 %
b. Karbohidrat 0.0430 %
c. Protein 0.0380 %
d. Vitamin A 4.594 IU
e. Vitamin C 3.476 Mg
Sumber : Aloevera Center, 2004
Beberapa manfaat komponen nutrisi lidah buaya untuk tubuh antara lain:
a. Asam folat berguna untuk kesehatan kulit dan rambut
b. Kalium berperan penting dalam memelihara kekencangan muka dan otot
tubuh
c. Ferrum berperan sebagai pembawa oksigen ke seluruh tubuh
d. Vitamin A berguna untuk oksigenasi jaringan tubuh terutama kulit dan
kuku.
Secara lengkap komponen-komponen nutrisi yang terkandung dalam
lidah buaya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Nutrisi dalam Lidah Buaya
No Item Nutrisi
1. Vitamin A, B1, B2, B12, C dan E
2. Mineral Kolin, Inositol, Asam folat, Kalsium, Magnesium, Potasium,
Sodium, Manganese, Cooper, Chloride, Iron, Zinc & Chromium
3. Enzym Amylase, Catalase, Cellulose, Carboxypedidas dan
Carboxyphelolase
4. Asam
Amino
Arginine, Asparagin, Asam Aspartat, Analine, Serine, Glutamic,
Theorinine, Valine, Glycine, Lycine, Tyrozine, Phenylalanine,
Proline, Histidine, Leucine dan Isoleucine
Sumber : Aloevera Center, 2004
6
2. Pohon Industri Lidah Buaya
Lidah buaya banyak digunakan oleh manusia sejak lama, baik diolah
secara moderen maupun sederhana. Khusus yang diolah secara moderen,
penggunaan lidah buaya pada umumnya dalam bentuk bubuk (aloe powder),
bahan jadi seperti sabun (aloe soap) dan produk lainnya seperti sari dan gel
lidah buaya yang telah distabilkan 100% agar tidak mengalami kerusakan
enzimatis. Kosmetika berbahan baku lidah buaya yang cukup banyak
diproduksi Amerika antara lain: lotion, sampo dan lipstik.
Mengingat manfaat yang diperoleh dari tanaman lidah buaya cukup
banyak maka dapat dibuat pohon industrinya seperti yang tertera pada Gambar1.
Gambar 1. Pohon Industri Lidah Buaya
Sumber : Aloevera Center, 2004
3. Potensi dan Peluang
Pada saat ini pusat pengembangan lidah buaya terdapat di negara-negara
Afrika bagian Selatan (Transvaal) yaitu: Eritrea, Ethiopia dan Northern
Somalia. Saat ini negara-negara yang telah membudidayakan tanaman lidah
buaya secara komersial adalah Amerika Serikat, Meksiko, Karibia, Israel,
Australia dan Thailand.
Tanaman lidah buaya yang berasal dari Pontianak (Aloevera chinensis)
merupakan varietas terunggul di Indonesia bahkan diakui keunggulannya di
dunia. Tanaman jenis ini setiap pelepahnya memiliki berat sekitar 0.8 – 1.2 kg
dan dapat dipanen setiap bulan sejak bulan ke 10 -12 setelah penanaman hingga
Gel (pulp)
Kulit
Ekstrak
Juice
Konsentrat
Kosmetik
Farmasi
Farmasi
Medical Purposes
Spray dried Powder
Freeze dried Powder
Minuman Kesehatan
Industri kimia
Makanan
Minuman
Pupuk Organik
Teh Lidah Buaya
Senyawa aktif
Powder
Agro Industri
Kosmetik
Farmasi
Minuman Kesehatan
Kosmetik
Farmasi
Lidah buaya
(Aloe vera)
7
tahun ke 5. Mutu panen setiap pelepah sebagian besar tergolong mutu A yaitu
tanpa cacat atau serangan hama penyakit daun. Berbeda dengan tanaman lidah
buaya yang dibudidayakan di luar Pontianak, seperti di Amerika dan Cina,
setiap pelepahnya memiliki berat hanya berkisar 0.5 – 0.6 kg dan dipanen hanya
1 kali setahun karena kendala musim dingin.
Saat ini permintaan lidah buaya Pontianak dalam bentuk pelepah segar
baru berasal dari Hongkong dan Malaysia sedangkan di dalam negeri berasal
dari Jakarta. Umumnya pedagang di Jakarta mengirimkan lagi ke Taiwan dan
Jepang mengingat dari kota Pontianak tidak ada jalur pelayaran langsung ke
negara-negara tersebut. Nilai ekspor pelepah lidah buaya segar yang tercatat
oleh Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konversi Alam untuk tahun
2001 adalah USD 2.143 untuk 15.000 lembar pelepah. Secara rinci data ekspor
lidah buaya dalam tonase dari Pontianak dapat dilihat pada tabel .3.
Tabel 3. Ekspor Lidah Buaya dari Pontianak
(Ton)
Tujuan Sept – Des
2000 2001 2002 2003 Total
Malaysia 52,5 206,6 630,1 117,5 1.006,7
Hongkong 21,0 92,6 270,0 161,5 545,1
Jakarta 0,0 206,5 705,6 278,1 1.190,2
Total 73,5 505,7 1.605,7 557,1 2.742,0
Sumber: Dinas Urusan Pangan Pontianak, 2003
Produsen dalam skala industri yang telah mengolah pelepah daun lidah
buaya menjadi makanan siap santap (dalam bentuk coktail) adalah PT. Niramas
dengan merek dagang Inaco dan PT. Keong Nusantara Abadi yang
menggunakan merek Wong Coco sedangkan eksportir pelepah segar yang
tercatat diantaranya adalah PT. Sumber Aloe Vera.
III. KLASTER BISNIS LIDAH BUAYA
Bisnis aloevera yang meliputi aloe cocktail, aloe gel dan aloe powder
sebagaimana bisnis berbasis hasil pertanian lainnya memerlukan keterkaitan yang
erat antara hulu (up stream) dan hilir (down stream). Hal ini dikarenakan pada
tingkat hulu (petani) memiliki keahlian dan kemauan dalam berproduksi, namun
terdapat keterbatasan dalam mengakses pasar dan teknologi. Sementara itu di
tingkat hilir, dalam hal ini pemilik pabrik, memiliki kekuatan dalam hal teknologi
dan akses pasar, namun membutuhkan kontinuitas dalam ketersediaan bahan baku.
Kebutuhan yang berbeda antara hulu dan hilir dapat dijembatani oleh suatu
lembaga. Lembaga tersebut di tingkat hulu diharapkan bertindak mendampingi,
membimbing, dan memonitor kegiatan yang berjalan. Pada tingkat hilir lembaga
berfungsi sebagai mediator yang memberikan masukan dan informasi tentang
ketersediaan produk di tingkat hilir. Seperti model klaster bisnis komoditi rumput
laut yang dikemukakan oleh Suhendar, S (2006) pada Infokop No.28 Tahun XXII
8
2006, mekanisme ini disebut sebagai klaster bisnis aloevera sebagaimana dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Model Kluster Bisnis Aloevera
Gambar 2. Model Kluster Bisnis Aloevera
Pada Gambar 1 Klaster Bisnis Aloevera yang dibangun melibatkan
beberapa sub sistem (komponen) atau institusi, yaitu Kelompok Tani, Lembaga
ULP2 (Lembaga Usaha Lepas Panen Pedesaan), perusahaan penghela, BDS
(Business Development Services) dan Lembaga Pembiayaan Usaha (Bank atau
LPBB). Bahkan sangat besar kemungkinannya petani tidak hanya berkelompok
dalam kelompok tani, tetapi juga dalam bentuk lembaga ekonomi koperasi,
terutama koperasi produsen. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani, maka koperasi produsen dimaksud selain dapat memiliki
ULP2 juga sangat dimungkinkan untuk memiliki saham pada perusahaan penghela.
Penjelasan masing-masing komponen dalam kluster adalah sebagai berikut :
Kelompok Tani
Satu kelompok tani yang terlibat dalam kluster beranggotakan 10 orang
petani yang melakukan budidaya tanaman lidah buaya di lahan seluas 10 ha (1
petani menangani 1 ha). Direncanakan jumlah kelompok tani yang terlibat dalam
PERUSAHAAN PENGHELA
LEMBAGA ULP2
Kel.
Tani
BDS
LEMBAGA ULP2
Kel.
Tan
Kel.
Tani
Kel.
Tani
Kel.
Tani
BDS
Kel.
Tan
BANK/LKBB
PASAR NASIONAL/
INTERNASIONAL
ALOEVERA
AAloveraaaaaa
Lembaga pengembangan
Teknologi/ R&D Aloevera
Surveyor Surveyor
9
satu klaster pada tahap awal sebanyak 15 kelompok atau petani yang terlibat
sejumlah 150 orang dengan lahan yang dibudidayakan seluas 150 ha.
Proses kerja yang dilaksanakan kelompok tani adalah penyiapan lahan,
penanaman, pemeliharaan tanaman, pemanenan dan pembersihan hasil panen
(pelepah segar). Seluruh pelepah segar lidah buaya dari kelompok tani akan
ditampung oleh lembaga ULP2, untuk dilakukan proses lanjutan sebelum dijual ke
perusahaan penghela sebagai bahan baku. Pada masa yang akan datang diharapkan
kelompok tani secara bertahap dapat memiliki saham di perusahaan penghela.
Business Development Services (BDS)
BDS merupakan badan independen yang berfungsi sebagai pendamping dan
pemonitor kinerja ULP2 dan kelompok tani. BDS ini dapat berasal dari kalangan
perguruan tinggi, lembaga penelitian atau perusahaan yang berpengalaman dalam
industri lidah buaya.
Satu BDS pada tahap awal direncanakan hanya untuk satu klaster atau
menangani 15 kelompok tani (10 petani menangani 10 Ha) yang berarti akan
mendampingi sekitar 150 petani lidah buaya sesuai asumsi di atas. Selanjutnya BDS
dapat mengembangkan lebih dari satu klaster bisnis sesuai dengan kemampuan.
Peran BDS melakukan pendampingan dalam rangka menjaga dan menjamin
kuantitas, kualitas, dan kontinuitas produksi pelepah segar lidah buaya agar sesuai
dengan yang diharapkan. Selain itu BDS juga melakukan monitoring terhadap
pengembalian pinjaman yang diterima oleh kelompok tani. Pemilihan BDS yang
akan dilibatkan dalam klaster didasarkan atas rekomendasi dari Kementerian
Koperasi dan UKM atau lembaga pemerintah lainnya yang ditunjuk.
Lembaga ULP2
Lembaga ULP2 juga merupakan badan independen yang akan melakukan
proses lanjutan dari pelepah segar lidah buaya yang dihasilkan petani. Pelepah segar
yang dibeli dari petani kemudian akan mengalami perlakuan pembersihan, proses
sortasi dan pengemasan untuk selanjutnya dijual ke perusahaan penghela.
Satu ULP2 direncanakan menampung hasil pelepah segar dari 15 kelompok
tani atau hasil dari 150 ha lahan budidaya. Dengan demikian dalam satu kluster
akan terdapat 1 lembaga ULP2.
Perusahaan Penghela
Perusahaan penghela akan menyerap seluruh pelepah segar yang telah
diproses oleh lembaga ULP2 dan berfungsi sebagai pabrikan pengolah pelepah
segar menjadi aloe cocktail, aloe gel dan aloe powder. Produk aloe gel dan aloe
powder akan dipasarkan oleh perusahaan penghela baik ke pasar domestik maupun
internasional sedangkan produk aloe cocktail diproduksi untuk memanfaatkan
kapasitas mesin yang saat ini belum optimal (idle capacity).
Saat ini perusahaan penghela telah memproduksi aloe cocktail dengan
kapasitas 7 ton bahan baku per hari dimana sebagian besar produknya dipasarkan ke
luar negeri. Perusahaan penghela juga akan bertindak sebagai avalis atau penjamin
atas pinjaman yang diterima oleh Lembaga ULP2 dan kelompok tani.
10
Lembaga Pembiayaan/Bank dan Bukan Bank
Bank berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi keberlangsungan
klaster lidah buaya. Fungsi ini akan diwujudkan dalam bentuk pemberian pinjaman
berupa investasi dan modal kerja bagi komponen kluster yang terlibat yaitu:
perusahaan penghela, Lembaga ULP2 dan kelompok tani. Fungsi Kementerian
Koperasi & UKM atau lembaga pemerintah lain yang ditunjuk adalah mediator bagi
kerjasama antar komponen klaster dalam kaitannya dengan perbankan. Selain itu
pihak kementerian akan menseleksi kelompok tani, Lembaga ULP2, dan BDS yang
akan terlibat di dalam klaster.
Pada model klaster bisnis dimaksud terdapat lembaga surveyor yang tidak
termasuk dalam komponen klaster. Lembaga surveyor bertindak sebagai pemantau
persediaan di level perusahaan penghela dan hanya sebagai pemeriksa persediaan di
level ULP2.
Layanan sebagai pemantau persediaan mewajibkan lembaga surveyor
membuat laporan rutin (seminggu atau dua minggu sekali) kepada lembaga
pembiayaan perihal kuantitas dan kondisi fisik persediaan, yang menjadi jaminan,
mulai dari bahan baku hingga barang jadi selama jam kerja. Lembaga surveyor juga
akan menerapkan sistem kunci ganda pada gudang dalam rangka mengawasi
keamanan dan mutasi barang yang bersangkutan.
Layanan sebagai pemeriksa persediaan hanya mewajibkan lembaga
surveyor membuat laporan atas kuantitas dan kondisi persediaan, yang dijaminkan,
pada satu waktu tertentu yang telah ditetapkan.
Manfaat lembaga surveyor akan dirasakan oleh lembaga keuangan pemberi
kredit/pembiayaan dan klaster bisnis itu sendiri. Manfaat bagi lembaga pembiayaan
adalah sebagai berikut:
a. Pengawasan terhadap jaminan berjalan secara kontinyu.
b. Berfungsi sebagai peringatan dini terhadap kondisi usaha
Manfaat bagi klaster bisnis lidah buaya adalah
a. Berfungsi sebagai peringatan dini dalam mengembangkan usaha.
b. Memberikan keyakinan terhadap lembaga keuangan dalam menyalurkan
pembiayaan terhadap usaha lidah buaya.
IV. SISTIM JARINGAN PRODUKSI DAN RENCANA OPERASI
Sistem jaringan produksi dan rencana operasi yang di dalamnya termasuk
masalah pembiayaan merupakan bagian yang penting dan tidak terpisahkan dalam
pengembangan model agribisnis aloevera ini.
1. Sistem Jaringan Produksi
Khusus mengenai sistem jaringan produksi produk lidah buaya, terutama
untuk jenis Aloe vera chinensis, secara umum dapat dilihat seperti yang tertera
pada gambar 3.
11
Gambar 3. Sistem Jaringan Produksi
Selama ini budidaya tanaman lidah buaya banyak dikembangkan di
Pulau Kalimantan yaitu di propinsi Kalimantan Barat dan sedikit di Kalimantan
Tengah. Berdasarkan luas areal yang telah dibudidayakan dan potensinya maka
propinsi Kalimantan Barat merupakan wilayah yang dipilih sebagai lokasi
klaster bisnis lidah buaya, mulai dari budidaya, ULP2, BDS dan pabrik pembuat
aloe gel dan aloe powder.Komponen klaster bisnis lidah buaya yang terlibat di
wilayah Kalimantan Barat dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Lembaga ULP2, BDS dan jumlah Kelompok Tani di Kalimantan Barat
Kabupaten/Kota Lembaga
ULP2 BDS Jumlah KelpTani
Pontianak – Untan 20
Siantan – Untan 20
Total – Untan 40
rendemen : %
harga : USD /kg
rendemen : %
harga : USD /kg
Bahan baku industri
rendemen : %
harga : Rp /kg
Pelepah Kualitas Ekspor
rendemen : %
harga : /kg
Bahan baku
rendemen :
harga : Rp /kg
Aloe cocktail
Aloe powder
PASAR
(Industri Kosmetik, Farmasi dan Pangan/ Konsumen Akhir)
Aloe gel
Budidaya
Aloevera chinensis
ULP2
Pasca Panen
12
2. Rencana Operasi
Rencana operasi dalam pembentukan klaster lidah buaya yang
terintegrasi mulai dari hulu hingga hilir akan menyangkut time frame dan
kegiatan yang dilakukan dalam setiap komponennya. Sebagai gambaran adalah
bahwa pada saat ini industri pengolahan yang sudah ada dan beroperasi adalah
industri pengolah aloe cocktail (skala besar dan kecil serta mikro), belum ada
industri pengolahan lidah buaya menjadi tepung (aloe tepung), padahal nilai
tambah terbesar ada pada industri pengolahan tepung.. Lokasi
pengembangannya untuk tahap awal adalah di Kalimantan Barat, karena di
wilayah ini sedang dikembangkan secara terencana untuk kegiatan budidaya,
dan agroindustri lidah buaya.
1). Tahap Pra Klaster
Tahap pra klaster merupakan tahap paling awal dalam pembentukan
kluster dimana tahap ini terdiri atas beberapa langkah, meliputi:
(1). Pencarian data.
(2). Verifikasi data.
(3). Penulisan rencana bisnis dan studi kelayakan.
(4). Penentuan pihak-pihak yang akan terlibat (pelaku, konsultan dan
kontraktor) dan teknologi yang akan digunakan.
(5). Penentuan lembaga keuangan dan skim pembiayaan yang akan
diterima.
Lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tahap pra klaster
adalah 6 (enam) bulan. Pada rentang waktu tersebut, pihak-pihak yang
berkedudukan sebagai pembina, seperti Kementerian Negara Koperasi dan
UKM dan lembaga pemerintah dan swasta lainnya berfungsi sebagai
mediator internal antara pihak-pihak yang terlibat dan sebagai fasilitator
dengan lembaga keuangan.
2). Tahap Awal
Pada tahap awal akan terdapat beberapa kegiatan yang berjalan
secara paralel yaitu kegiatan pada kelompok tani, ULP2 dan pabrik aloe
cocktail dan aloe gel.
(1). Kelompok Tani
Kegiatan pada kelompok tani di tahap awal berupa penyemaian
bibit lidah buaya pada lahan tanam yang telah ditentukan. Proses
penanaman dan pemeliharaan tanaman dilakukan selama 12 bulan.
Selama 10 bulan pertama, tanaman lidah buaya belum dapat dipanen.
Panen pertama tanaman lidah buaya dilakukan mulai bulan ke 11
hingga akhir tahun ke 5 dan dilakukan setiap bulan .
(2). ULP2
Pada saat proses penyemaian berlangsung sarana ULP2 mulai
dibangun sehingga diharapkan pada saat tanaman lidah buaya mulai
dipanen, tempat untuk proses lanjutan telah tersedia. Pembangunan
sarana ULP2 diperkirakan memakan waktu selama 3 bulan.
13
(3). Pabrik aloe cocktail dan aloe gel
Pada saat yang bersamaan pembangunan pabrik aloe cocktail
dan pabrik baru aloe gel mulai dilaksanakan. Pembangunan pabrik
hingga siap dioperasikan diperkirakan memakan waktu 12 bulan.
Selama rentang waktu tersebut dilakukan pula pemilihan teknologi
dan peralatan yang paling tepat dan efisien.
Sebaiknya dalam jangka waktu tersebut telah termasuk kegiatan
pemasangan dan penyetelan alat untuk skala produksi. Pemasangan
alat diperkirakan memakan waktu selama 2 bulan sedangkan
penyetelan alat akan memakan waktu selkitar 1 bulan.
3). Tahap Menengah
Pada tahap menengah diprediksikan akan terjadi panen pelepah lidah
buaya sebanyak 2 kali dimana panen tersebut telah dapat ditampung oleh
lembaga ULP2 namun tidak semua pelepah dapat diolah lebih lanjut
menjadi aloe cocktail dan aloe gel. Pelepah lidah buaya segar yang telah
mengalami proses sortasi serta pengemasan di ULP2 dan tidak tertampung
oleh pabrik aloe cocktail sementara dapat dijual dalam bentuk segar. Pasar
tujuan bahan baku ini dapat berupa pasar domestik ataupun ekspor.
Penjualan pelepah lidah buaya segar secara langsung (tanpa diolah
menjadi aloe cocktail dan aloe gel) ke pasar domestik atau ekspor tidak
akan mempengaruhi pendapatan lembaga ULP2 karena harga jual tersebut
diperkirakan akan sama dengan harga jual ke pabrik pengolah.
4). Tahap Akhir
Tahap akhir adalah pada akhir bulan ke-12 sejak bibit tanaman lidah
buaya disemaikan. Pada tahap ini pabrik aloe cocktail dan aloe gel telah
selesai diperluas dan dibangun sehingga siap beroperasi secara penuh.
3. Pembiayaan
Pembiayaan untuk kluster lidah buaya yang terintegrasi mulai hulu
hingga hilir haruslah dilakukan secara serempak dan satu kesatuan. Hal tersebut
untuk mencegah terjadinya kemacetan atau keterlambatan pada pembiayaan
salah satu komponen yang dapat berakibat kemacetan dan keterlambatan pada
komponen lainnya. Alternatif pembiayaan bagi klaster ini ada 2 jenis yaitu:
1). Pembiayaan Secara Komersial
Pembiayaan dengan alternatif ini berarti seluruh sumber dana di luar
modal sendiri akan berasal dari lembaga perbankan dengan tingkat suku
bunga pasar. Pada alternatif ini perbankan akan membiayai mulai dari
budidaya, lembaga ULP2 dan pabrik aloe cocktail dan aloe gel (perusahaan
penghela). Sesuai ketentuan perbankan, pihak-pihak yang terlibat dalam
klaster lidah buaya akan menyediakan jaminan sesuai yang diinginkan pihak
perbankan.
14
2). Pembiayaan Secara Campuran
Pada alternatif pembiayaan campuran akan terdapat lebih dari satu
sumber dana (pembiayaan), di luar modal sendiri, yang akan mewujudkan
klaster lidah buaya. Sumber pembiayaan di luar modal sendiri tersebut
direncanakan dapat berasal dari lembaga perbankan dan lembaga
pembiayaan lainnya.
Pada skim alternatif ini, sumber pembiayaan untuk kelompok tani akan
berasal dari Koperasi, Usaha Mikro dan Kecil (KUMK) dengan mekanisme
pembiayaan sentra. Dana yang berasal dari KUMK akan dikenakan bunga
(beban biaya) tertentu namun pengucuran dana ini tetap harus menjadi satu
kesatuan dengan pengucuran dana bagi kedua komponen kluster lainnya.
Sumber pembiayaan bagi dua komponen lainnya, ULP2 dan pabrik aloe
cocktail dan aloe gel (perusahaan penghela) akan berasal dari lembaga
keuangan dengan tingkat suku bunga pasar yang berlaku.
Prakiraan kebutuhan dana yang diperlukan bagi pengembangan
agribisnis aloevera melalui klaster bisnis, dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel. 5. Total Kebutuhan Dana Klaster Lidah Buaya
Kebutuhan dana (Rp)
No. Komponen
per petani Total
Total (Rp)
1. Petani 33.742.839 5.061.425.800 5.061.425.800
2. Lembaga ULP2 138.987.764 138.987.764
3. Pabrik 65.903.925.775 65.903.925.775
Total 71.104.339.339
Sumber dana pembangunan klaster bisnis lidah buaya terdiri atas 2
sumber yaitu lembaga keuangan dan modal sendiri dengan alternatif
komposisi masing-masing adalah 80 persen dan 20 persen. Secara rinci
alternatif komposisi tersebut dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Komposisi Pembiayaan Klaster Lidah Buaya
No Komponen Sumber Dana Jenis Nilai (Rp.) Persentase
(%)
1 2 3 4 5 6
Modal
Kerja 3.663.340.640 80%
Bank
Investasi 385.800.000 80%
Modal Kerja 915.835.160 20%
1. Petani
Modal Sendiri
Investasi 95.450.000 20%
15
1 2 3 4 5 6
Modal Kerja 101.590.211 80%
Bank
Investasi 9.600.000 80%
Modal Kerja 25.397.553 20%
2. ULP2
Modal Sendiri
Investasi 2.400.000 20%
Modal Kerja 34.324.552.727 80%
Bank
Investasi 18.398.587.893 80%
Modal Kerja 8.581.138.182 20%
3. Pabrik
Modal Sendiri
Investasi 4.599.646.973 20%
Secara ringkas kebutuhan dana perbankan dan modal sendiri untuk
mengembangkan klaster lidah buaya dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Alternatif Komposisi Sumber Dana Klaster Lidah Buaya
No. Komponen Bank (Rp.) Modal Sendiri (Rp.) Total (Rp.)
1.
Petani 4.049.140.640 1.012.285.160 5.061.425.800
2. ULP2 111.190.211 27.797.553 138.987.764
3. Pabrik 52.723.140.620 13.180.785.155 65.903.925.775
Total 56.883.471.471 14.220.867.868 71.104.339.339
4. Analisis Kelayakan Finansial
Hasil analisis kelayakan finansial menujukkan bahwa agribisnis lidah
buaya ini dinyatakan layak. Nilai-nilai kelayakan dimaksud, secara rinci dapat
dilihat pada tabel 8.
16
Tabel 8. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Agribisnis Aloevera
No Indikator Petani (Budidaya) ULP2 Pabrik
1. NPV 23.717.241 24.495.026 30.513.644.479
2. IRR 44% 48% 38%
3. BEP (Rp) 6.352.049 183.204.313 35.897.091.963
4. B/C 1.226 1.012 1.249
Dengan nilai kelayakan finansial, baik untuk petani dan ULP2 maupun
pabrik yang dinyatakan layak untuk terus dikembangkan seperti yang
diinformasikan pada tabel 4.5, ternyata kemungkinan pengembalian kreditnya
(pay back periods) adalah paling lama sekitar 4 tahun untuk pabrik.
Kemungkinan pengembalian kredit di tingkat petani dan ULP2 sekitar 2 tahun.
Seperti telah disampaikan pada bagian terdahulu, apabila agribisnis ini
dapat dilaksanakan dengan baik, maka akan sangat berdampak positif terhadap
kegiatan ekonomi wilayah. Ini dapat dilihat dari kemungkinan adanya
penambahan tenaga kerja baik sebagai petani rumput laut (150 0rang) per
klaster bisnis dan tenaga kerja di ULP2 dan pabrik pengolahan lidah buaya,
pajak dan restribusi lainnya, daya beli masyarakat yang meningkat, serta
kemungkinan berkembangnya kegiatan usaha lain, baik yang terkait dengan
kebutuhan penunjang agiribisnis lidah buaya maupun dengan kebutuhan
sandang dan pangan petani dan pekerja pabrik.
V. PENUTUP
Model agribisnis lidah buaya yang dirancang dengan pendekatan kluster
bisnis merupakan model yang dinamis. Artinya adalah bahwa model ini dapat
digunakan atau dioperasionalkan tidak hanya di Kalimantan Barat, tetapi juga di

wilayah lain sejauh persyaratan-persayratan, terutamayang menyangkut teknis
budidayanya sesuai dengan di Kalimantan Barat.
Secara ekonomi dan financial kegiatan agribisnis ini dikatakan layak untuk
dikembangkan. Dampak positif dari pengembangan agribisnis ini adalah terutama
dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi wilayah dan masyarakat dengan
memanfaatkan keunggulan sumberdaya local.
Pemerintah pusat maupun daerah mempunyai peran yang sangat besar,
terutama berperan sebagai regulator,fasilitator dan mediator pelaku agribisnis lidah
buaya. Tanpa bantuan dan dukungan yang kuat dari pemerintah, upaya UKM untuk
mengembangkan usahanya di bidang agribisnis lidah buaya akan sulit diwujudkan.
17

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, (2006). Laporan Bank Dunia, Kesetaraan dan Pembangunan. Penerbit
Salemba Empat, Grand Wijaya Center Blok D-7, Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi, (2004). Aloevera Center. Aloevera Center
www.bppt.go.id
Husein Umar, (2003). Studi Kelayakan Bisnis. Edisi ke-2. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Keichi Ohmae, (2005). The Next Global Stage. Tantangan dan Peluang Di Dunia yang
Tidak Mengenal Batas Kewilayahan. Penerbit PT. INDEKS Kelompok Gramedia,
Jakarta.
Mundrajad, K., (2003). Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Suhendar Sulaeman, dkk, (2005). Business Plan Agroindustri Aloevera. Tidak
Diterbitkan.
Suhendar Sulaeman, (2006). Pengembangan Agribisnis Rumput Laut Melalui Model
Kluster Bisnis. Majalah Infokop No.28 Tahun XXII 2006. Kementrian Negara
Koperasi dan UKM, Jakarta.

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 8

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)
REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
106

PENGKAJIAN PEMUSATAN PENGEMBANGAN KOPERASI
BIDANG PEMBIAYAAN PADA TINGKAT KABUPATEN/KOTA*)

Abstract
The purpose of this study : (1) to draw up a cooperative development center regental
budgetary domain, (2) to give input to the regental administrator in its effort to create a
condusive slimate for cooperative development. This study was conducted in 20
provinces. Its study method consists of library study, primary and secondary data
collection, study analysis was conducted in various ways, namely : teoris, and exepertise
validity. Based on study result, we can conclude that alternative model for cooperative
development center in regental budegetary domain are : (1) cooperation model among
cooperatives is by operating waralaba (non profit shop), (2) secondary cooperative model,
(3) model of cooperation between secondary cooperative and bank, (4) people crediting
bank, (5) cooperation of primary bank and swamitra/partnership bank.

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis ekonomi nasional tahun 1997 masih menyisakan dampak negatif hingga
kini, termasuk bagi UKM dan usaha mikro, yaitu menyebabkan antara lain : (1) turunnya
daya beli konsumen, dikarenakan semakin berkurangnya/langkanya usaha-usaha yang
dimiliki konsumen sebagai sumber pendanaan; (2) menurunnya kualitas produk-produk
UKM dan usaha mikro sebagai akibat rendahnya kualitas SDM serta berkurangnya
sumber-sumber pendanaan yang dimiliki pengusaha kecil dan menengah dan mikro.
Salah satu permasalahan yang dihadapi pengusaha kecil menengah dan mikro
dalam mengembangkan usahanya adalah kecilnya modal usaha yang dimiliki dan
rendahnya kemampuan untuk mengakses ke lembaga keuangan, baik lembaga
keuangan perbankan (BRI, BPR, dll) maupun lembaga keuangan non bank (KSP/USP
Koperasi, penggadaian, lembaga keuangan non formal, dll).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, sebagai upaya pengembangan
UKM dan usaha mikro, maka pengembangan lembaga keuangan mikro seperti KSP/
USP Koperasi melalui pemberdayaan dan berbagai regulasi peraturan merupakan
konsekuensi logis yang harus dilakukan, sehingga tercipta iklim kondusif yang
memungkinkan kemudahan bagi para pengusaha UKM dan usaha mikro mampu
mengakses atau memanfaatkan dana dan berbagai lembaga keuangan mikro tersebut.
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Pengembangan
Pengelolaan Wirausaha-Universitas Indonesia (BPPWI-UI) Tahun 2004 (diringkas oleh : Triyono
dan Siti Aedah)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
107
2. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi
Kegiatan ini memfokuskan pada pengembangan kerangka berfikir untuk mencari
alternatif pengembangan koperasi dalam era otonomi daerah, dikaitkan dengan
penyusunan model-model pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan
dilakukan terhadap beberapa potensi daerah yang dapat dilayani koperasi dibidang
pembiayaan, sentra-sentra produksi rakyat yang dapat dikembangkan dan analisis
terhadap daya dukung SDM, modal, lembaga keuangan dan teknologi. Berbagai
hambatan dan kebijakan pendorong diantisipasi untuk menjadi dukungan dalam
menkonstruksi model alternatif yang dihasilkan. Model pemusatan alternatif merupakan
solusi-solusi yang dipertimbangkan dan direkomendasikan dalam rangka membangun
sistem pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
b. Batasan Penelitian
Pada prinsipnya, pengkajian dilakukan untuk memperoleh konstruksi model
pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan secara nasional. Mengingat
dinamika otonomi daerah yang terjadi dan berbagai kondisi masing-masing daerah
mempunyai variabilitas dan heterogenitas dalam pengembangan koperasi, khususnya
koperasi simpan pinjam dan unit simpan pinjam pada koperasi-koperasi, maka modelmodel
yang direkonstruksikan secara substantif mengungkapkan kekuatan dan
kelemahan masing-masing.
c. Rumusan Masalah
Program-program pembantuan bagi permodalan koperasi dan usaha kecil dan
menengah relatif telah banyak dilaksanakan melalui pengembangan sistem keuangan,
baik yang berbasis sisi kultural seperti arisan, gotong royong maupun pembentukkannya
diprakarsai pemerintah seperti kredit program, serta kebijaksanaan perbankan seperti
Kredit Investasi Kecil (KIK). Dalam banyak hal, walaupun menunjukkan hasil-hasil
yang relatif baik, akan tetapi belum dapat dikatakan optimal. Untuk itu, diperlukan
pemikiran dan pertimbangan untuk membangun model-model kelembagaan keuangan
dalam bentuk pemusatan pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di daerah
yang mencakup kepentingan baik anggota-anggotanya dan lembaga keuangan.

3. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Secara umum, kegiatan ini bertujuan untuk mengembangkan alternatif kebijakan
dalam rangka pengembangan koperasi di bidang pembiayaan di tingkat Kabupaten/
Kota, sesuai dengan otonomi daerah yang berlangsung saat ini. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) menyusun model pemusatan pengembangan koperasi di bidang
pembiayaan tingkat Kabupaten/Kota; (2) memberikan masukan kepada Pemda
Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan
perkoperasian.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
108
2) Manfaat
Hasil penelitian ini diharpkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pimpinan dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan Koperasi.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
1. Landasan Kebijakan
Usaha kecil dan menengah (UKM) dan usaha mikro merupakan sumber kegiatan
perekonomian sebagian besar dari rakyat Indonesia baik di wilayah pedesaan maupun
perkotaan yang mencakup berbagai jenis lapangan usaha, baik pertanian, perdagangan,
industri dan jasa-jasa. Data BPS tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil
dan menengah di Indonesia berjumlah lebih dari 41 juta unit usaha atau mencapai
99,99% dari jumlah unit usaha di Indonesia dan telah mampu menyerap tenaga kerja
lebih dari 76 juta pekerja atau mencapai 99,46.
Kementerian Koperasi dan UKM dalam rangka mendukung UKM dan
pengembangan ekonomi lokal telah melaksanakan berbagai program antara lain program
pengembangan sentra UKM dukungan MAP dan BDS, program pengembangan
keuangan mikro melalui kompensasi subsidi BBM, serta program pengembangan di
bidang peternakan, perkebunan dan sebagainya. Program-program tersebut merupakan
stimulasi pembelanjaan bagi daerah, dan sisi lain sebagai upaya triggering bagi
pengembangan economic and social capital di daerah melalui pengembangan ekonomi
kerakyatan, yaitu koperasi dan UKM.
2. Kerangka Pemikiran
Pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada tingkat Kabupaten/
Kota pada dasarnya merupakan upaya mengkonstruksi model dalam rangka upaya
dan layanan untuk mendukung pengembangan, pengendalian dan operasi KSP/USP
pada tingkat Kabupaten/Kota pada suatu pusat agar diperoleh efektivitas dan efisiensi
dalam pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
Pemusatan pengembangan koperasi diperlukan karena beberapa pertimbangan yang
merupakan faktor penentu, antara lain :
(1) Kinerja KSP/USP sebagai koperasi sangat tergantung pada keberhasilannya
dalam melaksanakan prinsip koperasi, yaitu kerjasama antar koperasi.
Keberhasilan kerjasama antar koperasi memerlukan koordinasi, pendidikan dan
pelatihan, pembagian kerja, dinamisasi, promosi dan kerjasama usaha yang
dapat merupakan bagian dari fungsi daripada pemusatan pengembangan koperasi.
(2) KSP/USP sebagai lembaga keuangan memerlukan adanya fungsi pengawasan,
pengembangan jaringan pelayanan dan pengembangan produk yang menjadi
salah satu fungsi pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
109

III. METODE
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian meliputi 20 propinsi yaitu : Sumut, Jatim, Bali, Sulut, Sumbar,
Sultra, Kalteng, Kaltim, Sumsel, Bengkulu, Riau, NTT, NTB, Babel, Sulsel, Kalbar,
Sulteng, Jabar, Jateng, Kalsel.
2. Metode dan Analisis Pengkajian
Metode pengkajian berupa studi pustaka dan pengumpulan data primer maupun
sekunder yang berkaitan dengan potensi daerah yang dapat ditangani koperasi, sentrasentra
produksi rakyat yang dapat dikembangkan, ketersediaan lembaga keuangan,
lembaga-lembaga pendukung pengembangan KSP/USP dan perkembangan KSP/USP,
serta model-model pemusatan koperasi di masing-masing Kabupaten/Kota.
Kerangka pemikirannya dapat digambarkan sebagai berikut :
Faktor Pendukung (Driving Forces)
Peran KSP/USP
dalam Pemusatan
Pengembangan
Bidang Pembiayaan
Kinerja
KSP/USP
sebagai
Lembaga
Keuangan
Kinerja
KSP/USP
sebagai
Koperasi
Faktor Penghambat (Restraining Forces)
MODEL PEMUSATAN
KOPERASI PEMBIAYAAN
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengkajian Pemusatan Pengembangan
Koperasi Bidang Pembiayaan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
110
Analisis pengkajian dilakukan dengan beberapa cara, baik melalui induksi data,
deduksi berdasarkan teori-teori yang relevan, maupun dengan validasi experties. Dengan
demikian, analisis pengkajian lebih bersifat pendalaman berpikir kualitatif sesuai dengan
keperluan untuk merumuskan model-model yang dipandang optimal bagi pengembangan
pemusatan koperasi di bidang pembiayaan.
Perumusan model meliputi beberapa substansi pokok dan penting sebagai solusi
pengkajian yaitu : (1) perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa keuangan, (2)
perumusan pemusatan kegiatan di bidang jasa non keuangan, dan (3) kelembagaan
pemusatannya.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kasus Kelompok Koperasi Bhakti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah
Sampai dengan bulan Juni 2004 jumlah KSP/USP di Kabupaten Pati sebanyak
75 unit dengan anggota 59.160 orang. Dua puluh tujuh unit diantaranya termasuk
dalam klasifikasi unit papan atas, 11 unit papan tengah dan 37 unit papan bawah.
Bhakti Group adalah kumpulan dari beberapa koperasi yang menghimpun dirinya
menjadi kelompok dengan tujuan memudahkan pengaturan likuiditas dana yang dikelola
oleh masing-masing koperasi anggotanya. Bhakti Group dipimpin oleh Bapak
Abdurahman Saleh dan 7 orang rekannya dalam 24 tahun berkembang dan berhasil
menghimpun aset sebesar Rp. 126 milyar, sedangkan anggota yang berhasil dihimpun
143.674 orang dengan karyawan 5.000 karyawan tetap.
Adapun beberapa kiat yang dijalankan manajemen Bhakti Group untuk mencapai
keberhasilannya adalah :
q Komitmen yang kuat di tingkat top manajemen untuk membangun sebuah
koperasi sesuai dengan hakekat utamanya yaitu dari anggota untuk anggota,
membangun koperasi yang dilandasi dengan kejujuran dan kemajuan bersama,
baik anggota maupun pengurus.
q Sistem prekrutan tenaga kerja dilakukan secara terpusat dan ketat baik ditinjau
dari kemampuan teknis maupun non teknis.
q Prestasi karyawan dihargai dengan baik, dimana manajemen menganut
falsafah pengurus/karyawan tidak boleh miskin tapi juga tidak boleh kaya.
q Untuk menghindari benih kecurangan, maka setiap periode tertentu diadakan
rotasi antar cabang bagi karyawan, setiap karyawan baru akan “dibaiat”
(disumpah) untuk mau bekerja dengan jujur, jika ditemukan kecurangan,
manajemen tidak akan segan-segan memecat bahkan kasusnya diajukan
ke pengadilan.
q Untuk mencegah pindahnya anggota, maka tiap anggota tidak boleh keluar
masuk seenaknya. Anggota hanya diperbolehkan keluar satu kali.
q Dana yang dikelola secara profesional sehingga anggota dapat mengambil
kapan saja.
q Manajemen menganut falsafah “mudah, cepat dan meriah”, Mudah dalam arti
prosedur menabung maupun meminjam dilakukan dengan semudah mungkin,
bahkan dengan sistem jemput bola. Cepat dalam arti proses administrasi
diusahakan tidak bertele-tele. Meriah dalam arti jumlah tabungan pada kisaran
kecil sampai menengah.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
111
2. Kasus KSP BTM (Baitul Tamwil Muhammadiyah) di Kabupaten Pekalongan
Di Kabupaten Pekalongan terdapat koperasi yang layak dinyatakan berhasil
dalam bidang KSP, bahkan telah melebarkan sayapnya ke daerah lain. Koperasi Simpan
Pinjam tersebut berbentuk Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM). Didirikan tanggal 5
Januari 1996 dengan modal awal sebesar Rp. 25 juta, kelembagaan awalnya berbentuk
Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di bawah Yayasan Binaan Baitul Maal
Muhammdiyah (YBBMM) sebagai partisipan Proyek Hubungan Bank Indonesia dan
Kelompok Swadaya masyarakat (PHBK). Dengan adanya UU Nomor 29 tahun 1999
yang antara lain mengahapus PHBK, maka kelembagaannya berubah menjadi Badan
Hukum Koperasi, tepatnya Koperasi Simpan Pinjam dan dikelola dengan menggunakan
sistem syariah yang berbasis pada prinsip bagi hasil. Pendirian BTM Wiradesa ini
dilatarbelakangi oleh terbatasnya akses permodalan bagi usaha mikro di Kabupaten
Pekalongan. Sampai dengan September 2004, dana masyarakat yang berhasil mencapai
Rp. 2 milyar lebih dengan total aset Rp. 3 milyar lebih, sedangkan jumlah pinjaman
yang diberikan pada periode yang sama sebesar Rp. 2,5 milyar lebih.
Untuk mempermudah pengelolaan dana dan sebagai penyangga likuiditas, maka
dari beberapa BTM membentuk koperasi sekunder berupa berupa Pusat KSP BTM
Wiradesa. Untuk menghindari perebutan nasabah (anggota) maka ada klasifikasi ukuran
pinjaman. Untuk pinjaman sampai dengan 30 juta hanya dapat dilayani di koperasi
primer dan Rp. 30 Juta ke atas dilayani di koperasi sekunder. Sistem peminjaman
dana dari koperasi sekunder ke koperasi primer ada dua yaitu : sistem channeling dan
sistem sindikasi. Perbedaannya adalah sistem channeling 100% dana pinjaman berasal
dari koperasi sekunder dengan bagi hasil 20% bagi hasil keuntungan untuk koperasi
primer dan 80% untuk koperasi sekunder, sedangkan sistem sindikasi dana pinjaman
tidak 100% dari koperasi sekunder, namun terbagi antara koperasi sekunder dan koperasi
primer dengan proporsi pinjaman tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama.
Pembagian keuntungan diberikan sesuai dengan besarnya proporsi jumlah pinjaman .
3. Kasus Pemusatan Kerjasama Koppontren Al-Ishlah dengan Bank di
Kabupaten Cirebon
USP Swamitra adalah lembaga keuangan mikro yang didirikan atas kerjasama
saling menguntungkan antara Bank Bukopin dengan koperasi untuk mengembangkan
usaha kecil dan menengah. Melalui kerjasama ini USP atau KSP dapat beroperasi
secara modern dengan memanfaatkan jaringan teknologi dan dukungan sistem
manajemen yang telah dikembangkan oleh Bank Bukopin.
Swamitra Al-Ishlah dibentuk pada Desember 1998 sebagai hasil kerjasama antara
Koppontren Al-Ishlah dengan Bank Bukopin Cabang Cirebon. Swamitra Al-Ishlah berada
di desa Dukupuntang, Bobos, Cirebon dan melayani nasabah-nasabah di wilayah
Palimanan, Sumber hingga Rajagaluh yang radiusnya sekitar 17 km dari pusat kegiatan
di Pasar Kramat, Bobos. Kemudian pada pertengan 1999, Swamitra Al-Ishlah resmi
beroperasi. Pada saat itu dana yang disalurkan untuk Kredit Koperasi Kepada Anggota
(KPPA) sebesar Rp. 350 juta. Pinjaman tersebut berjangka satu tahun dan berbunga
16% setahun dan harus disalurkan kepada anggota koperasi tanpa bunga. Sebagai
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
112
penyalur, Swamitra Al-Ishlah juga tidak mengenakan bunga, tetapi menarik biaya sebesar
3% yang dipungut saat pencairan kredit. Sumber dana Swamitra A-Ishlah yang lain
adalah modal tidak tetap dari Bank Bukopin dengan alokasi sebesar Rp. 500 juta.
Sumber dana yang lainnya adalah simpanan masyarakat yang jumlahnya dalam tahun
pertama saja melebihi alokasi dari Bank Bukopin. Ini menunjukkan keberhasilan
Swamitra Al-Ishlah dalam menggalang dana masyarakat. Keberhasilan ini berkat
kerjasama antara pengelola Swamitra, pengurus Koppontren dan Bank Bukopin dalam
mempromosikan Swamitra di Majlis Taklim.
4. Alternatif Model Pemusatan
Dengan memperhatikan perkembangan koperasi di lapangan, model kelembagaan
pemusatan koperasi dapat berupa kerjasama antar koperasi primer dengan pola waralaba
(franchising), koperasi sekunder, kerjasama koperasi sekunder dengan bank, kerjasama
koperasi primer dengan bank dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
1) Model Kerjasama antar Koperasi Primer dengan Pola Waralaba
Model pengembangan koperasi seperti yang terjadi pada kelompok Koperasi
Bhakti di Kabupaten Pati merupakan suatu pola kerjasama antar koperasi primer.
Walaupun merupakan suatu pola kerjasama yang menjadikan kelompok koperasi bhakti
dikembangkan dan dikelola secara tertib dan terkoordinasi, namun antar koperasi dalam
kelompok koperasi bhakti tidak memiliki kontrak kerjasama secara eksplisit. Koordinasi
pengelolaan dan pengembangan terjadi berkat adanya standarisasi dan sinkronisasi
pengelolaan dan bahkan terdapat suatu kesatuan komando dalam pengelolaan dan
pengembangan koperasi.
Potensi keunggulan model kerjasama antar Koperasi seperti Kelompok Koperasi
Bhakti sebagai suatu pola atau kelembagaan pemusatan pengembangan pembiayaan
antara lain sebagai berikut :
(1) Standarisasi dan sinkronisasi dapat lebih mudah dilakukan dengan
standarisasi karyawan dan standarisasi sistem dan prosedur, serta
sinkronisasi atau kesatuan komando manajemen.
(2) Pengembangan koperasi baru relatif lebih mudah dilakukan dengan adanya
karyawan terlatih yang siap ditugaskan pada koperasi baru.
(3) Dengan karyawan yang terlatih dan aktif jemput bola maka memungkinkan
penetrasi perluasan anggota yang berarti perluasan pasar dan peningkatan
pangsa pasar.
(4) Walaupun antar Koperasi Bhakti terdapat standarisasi dan sinkronisasi
manajemen, masing-masing koperasi sepenuhnya dimiliki oleh anggotanya
yang sebagian besar berada pada sekitar koperasi berada.
(5) Keterbatasan Bhakti menganut keanggotaan secara terbuka dan sukarela
sehingga memungkinkan loyalitas anggota secara alami dan berkelanjutan
serta sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip koperasi.
(6) Mengingat memiliki catatan kinerja baik (track record) yang cukup panjang
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
113
dan memiliki brand name yang cukup dikenal, pola koperasi bhakti memiliki
peluang sebagai suatu sistem waralaba manajemen koperasi simpan pinjam
yang dapat diaplikasikan pada pengembangan koperasi simpan pinjam.
2) Model Koperasi Sekunder
Dengan pola koperasi sekunder pada dasarnya seluruh kegiatan yang diperlukan
untuk mendukung pengembangan koperasi primer dilakukan oleh koperasi sekunder
secara berjenjang dari tingkat daerah, wilayah, nasional dan internasional. Fungsifungsi
kegiatan pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan meliputi bidang
keuangan yang terdiri atas penghimpunan dan penyaluran dana melalui silang pinjam
(interlanding) dan pengelolaan resiko maupun bidang non jasa keuangan yang terdiri
atas konsultasi manajemen simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan
audit, pengadaan sarana usaha dan audit.
Keungulan koperasi sekunder sebagai model pemusatan pengembangan koperasi
adalah :
(1) Struktur dan sistemnya telah tersedia, baik secara lokal, nasional maupun
internasional sehingga tinggal masalah penerapan.
(2) Penerapan koperasi sekunder sebagai model pemusatan lebih menjamin
penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, sehingga lebih menjamin
terwujudnya cita-cita koperasi yaitu peningkatan kesejahteraan dan
kemandirian ekonomi anggota koperasi.
3) Model Bank Perkreditan Rakyat
Pemusatan pengembangan koperasi dengan model Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) terutama dimaksudkan agar memiliki kemampuan atau keleluasaan yang lebih
besar dalam penghimpunan dana masyarakat dan sekaligus keleluasaan dalam
penyaluran dana. Dengan bentuk BPR, sebagai bank, memiliki kewenangan untuk
menghimpun dana ke masyarakat, tidak hanya kepada anggotanya.
Keunggulan BPR sebagai model pemusatan pengembangan koperasi antara
lain adalah :
(1) Memiliki kepercayaaan kemampuan yang efektif dan dalam menghimpun dana
baik dana dari masyarakat, maupun dana dari lembaga keuangan sebagai
konsekuensi bentuknya berupa bank.
(2) Merupakan sarana yang legal dan sehat untuk menyalurkan dana kepada
masyarakat, terutama apabila koperasi anggota atau pemegang saham dalam
keadaan kelebihan dana.
(3) BPR yang harus mengikuti ketentuan perbankan yang ketat dapat menjadi
referensi yang baik dalam mengembangkan tata kelola yang baik (good
corporate governance) bagi koperasi yang dikembangkan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
114
4) Model Kerjasama Koperasi Sekunder dangan Bank
Model kerjasama koperasi sekunder dengan bank umum adalah sebagaimana
yang terjadi pada koperasi-koperasi di lingkungan pegawai negeri, Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Bank Kesejahteraan
Ekonomi. Dalam hal ini induk-induk koperasi tersebut sperti KPRI, Inkopad, Inkopau,
Inkopal, dan Inkopol mengadakan kerjasama dalam penyaluran dana dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi untuk anggota-anggota koperasi.
Keunggulan model ini adalah :
(1) Ketersediaan dana yang diperlukan oleh anggota koperasi dari Bank
Kesejahteraan Ekonomi.
(2) Kemampuan penghimpunan dana masyarakat maupun dana dari lembaga
keuangan lain melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi.
5) Model Kerjasama Koperasi Primer dengan Bank Pola Swamitra
Kerjasama koperasi primer dengan bank Bukopin dalam bentuk pola Swamitra
merupakan model pemusatan kegiatan pengembangan koperasi dengan kerjasama
koperasi primer dengan bank. Dengan pola ini, Bukopin menyediakan sistem dan
aplikasi manajemen simpan pinjam koperasi, termasuk pengadaan dan pelatihan
sumberdaya manusia, aplikasi teknologi informasi, sistem manajemen operasi simpan
pinjam, pendampingan dan supervisi simpan pinjam dan standarisasi produk simpanan
dan pinjaman, serta cadangan likuiditas koperasi simpan pinjam.
Keunggulan pemusatan pengembangan koperasi dengan model kerjasama antar
koperasi primer dan bank pola Swamitra, antara lain :
(1) Terdapat paket dukungan pengembangan KSP/USP secara lengkap sehingga
memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
(2) Terdapat sistem supervisi dan pengendalian secara seketika (on line) oleh
bank.
(3) Terdapat jaminan cadangan likuiditas yang disediakan secara bertingkat, baik
di koperasi maupun di bank.
(4) Terdapat standarisasi sistem dan produk sehingga lebih memungkinkan
dikembangkan jaringan kerjasama.
(5) Memiliki kredibilitas yang tinggi dalam penghimpunan dana berkat dukungan
citra bank pendukungnya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
(1) Sentra-sentra usaha yang dipandang perlu sebagai sentra usaha unggulan
adalah berupa sentra usaha yang bergerak di bidang pertanian, industri
makanan dan minuman, industri kerajinan, industri kerajinan tekstil dan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
115
konveksi rakyat. Sebagian dari pengusaha dalam sentra tersebut berupa
usaha mikro, yang memiliki kesamaan bahan baku atau teknologi dan tidak
melakukan kegiatan pemasaran bersama atau pengadaan bahan baku
bersama.
(2) Kebutuhan pembiayaan usaha dalam sentra pada dasarnya lebih tepat
dipenuhi oleh lembaga keuangan mikro seperti koperasi simpan pinjam, karena
kebutuhan dana berskala kecil dan sendiri-sendiri.
(3) Kegiatan pemusatan pengembangan koperasi dalam bidang pembiayaan
meliputi jasa keuangan dan jasa non keuangan meliputi konsultasi manajemen
simpan pinjam, pendidikan dan pelatihan, akuntansi dan audit, pengadaan
sarana usaha dan advokasi.
(4) Alternatif model pemusatan pengembangan koperasi bidang pembiayaan pada
tingkat Kabupaten/Kota adalah : (a) kerjasama antar koperasi dengan pola
waralaba, (b) koperasi sekunder, (c) kerjasama koperasi sekunder dengan
bank, (d) Bank Perkreditan Rakyat, (e) kerjasama koperasi primer dan bank
dengan pola Swamitra.
2. Saran
Model pemusatan pengembangan koperasi di suatu Kabupaten/Kota tidak harus
dalam bentuk satu model, dapat terdiri atas dua model tersebut diatas dengan maksud
agar dapat mempertahankan ciri masing-masing keunggulannya.
DAFTAR PUSTAKA
______, 2003. Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kantor Kementerian
Koperasi dan UKM. Jakarta.
Arief, Sirtua, 1997. Pembangunan dan Ekonomi Indonesia : Pemberdayaan Rakyat
dalam Arus Globalisasi. CPSM, Bandung.
Arifin, B. 2004. Menterjemahkan Keberpihakan terhadap Sektor Pertanian : Suatu
Telaah Ekonomi Politik. Dalam : Rudi Wibowo dkk (Ed)., Rekonstruksi dan
Restrukturisasi Pertanian. PERHEPI. Jakarta.
INFOKOP. 2002. Koperasi Menuju Otonomisasi. Jakarta.
Korten, David C., 1980. Community Organization and Rural Development : A Learning
Process Approach. Dalam Public Administration Review, No.40.
Komite Penanggulangan Kemiskinan. 2002. Kemiskinan Tanggung Jawab Siapa?.
Jakarta.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
116
Krisnamurthi, B., 2003. Analisis Grand Strategy Pembangunan Pertanian :
Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis dan Implementasi Pembangunan
Pertanian. Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Pertanian. Jakarta.
Prijadi, dkk. 2002. Pengembangan KSP dan USP Koperasi sebagai Lembaga Keuangan.
Yayasan Studi Perkotaan. Jakarta.
Soetrisno, N. 2003. Menuju Pembangunan Ekonomi Berkeadilan Sosial. STEKPI.
Jakarta.
Wibowo, R. 1999. Refleksi Teori Ekonomi Klasik dalam Manajemen Pemanfaatan
Sumberdaya Pertanian pada Milenium Ketiga. Dalam Refleksi Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 7


NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)
REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
99

PENGEMBANGAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
UNTUK PEMBERDAYAAN UKM*)

ABSTRACT
This research observe about how important the finansial institution Non Bank
(LKNB) for contribuded development of capacity SME’s acceleration, its specifically
for finance trade needs. The bangking institute by tecnical bank specification are still
difficult to SME’s access in the suburban and also in the rural area. The parisipation
and ascribel from goverment, state-owned corporation (BUMN), privat enterprise, LSM
and college should have contributed to development and below a variety of LKMN
bend for reinforcement of the SME’s. By cohesivenes and involvement from above
substance, this researches are recommendation by development of partner model or
cohesiveness that be able to arrage the power in supplying a variety of finanace skim
type with procedure and a variety of the rules that used to SME’s access.
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini berangkat dari latar belakang bahwa Jawa Timur mempunyai
andil yang cukup besar terhadap perkembangan ekspor nasional rata-rata berkisar
USD 5 milyar dengan kontribusi 11 % – 12 % dari ekspor nasional. Melalui kapasitas
industri besar, menengah dan kecil yang tersedia cukup besar maka suatu saat Jawa
Timur bias menjadi jaringan inter provinsi yang bisa memberikan sumbangan terbesar
setelah ekspor non migas. Tidak berlebihan Jawa Timur bisa memberi akses ke seluruh
provinsi terhadap barang-barang yang dihasilkan pelaku bisnis sektor riil dan non formal
(seperti : sektor hortikultura, perikanan, pertanian, perkebunan dan kerajinan).
Struktur ekonomi Jawa Timur 99,55% didominasi Usaha Kecil Menengah dan
Koperasi (UKMK), sedangkan usaha besar hanya 0,45%. Kontribusi UKMK terhadap
PDRB 50,12% dan penyerapan tenaga kerja pada sektor ini mencapai 91,66%. Bila
berpijak pada definisi industri kecil merupakan unit usaha dengan jumlah tenaga kerja
paling sedikit 5 orang paling banyak 19 orang dan industri rumah tangga adalah unit
usaha dengan jumlah pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha (BPS, 1998)
maka dengan asumsi UKM rata-rata memperkerjakan 2 orang saja berarti terjadi
penyerapan tenaga kerja sebanyak 12 juta orang.
Eksestensi UKM dalam menunjang perekonomiaan nasional sangat diperlukan,
krisis ekonomi tahun 1998 telah membuktikan kemampuan UKM tetap bertahan dan
bahkan memberikan kontribusi 58,2% dari PDB nasional. Untuk itu pemberdayaan
*) Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur Tahun 2005 (diringkas
oleh : Indra Idris)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
100
UKM perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak terutama dalam akses permodalan,
pengembangan pasar dan managemen. Dalam hal permodalaan, walaupun Bank
Indonesia mengalokasikan portofolio dalam jumlah cukup, namun kemampuan UKM
menyerap dana yang tersedia kurang dari 50%. Realisasi kredit UKM tahun 2002
sampai bulan oktober tersalur Rp. 27 T dari total portofolio Rp. 63,5 T (Darma Ali
2003). Pada sisi lain dikatakan pula bahwa realisasi tersebut 46% merupakan kredit
konsumtif. Jadi hanya sekitar 54% kredit yang tersalurkan pada UKM untuk kegiatan
produkltif atau untuk modal usaha.
Menurut ADB-TA, kekuatiran UKM dalam pengajuan kredit perbankan antara
lain : perusahaan dianggap tidak layak, kurang informasi, tidak memiliki agunan dan
NPWP. Suatu hal yang delematis, dimana pembiayaan UKM merupakan indikator
komitmen perbankan namun disisi lain UKM tidak mampu menarik dana perbankan
hanya karena persoalan bankable karena ketentuan prudential banking yang diterapkan
Bank Indonesia berpegang pada prinsip 5 C. Persyaratan bank teknis yang kaku ini,
menurut UKM bisa di atasi asalkan ada kesungguhan dan komitmen yang kuat untuk
benar-benar membantu UKM karena dari 5 C, ternyata 4 C yang lain umumnya dapat
dipenuhi UKM kecuali jaminan (collateral) yang sering menjadi hambatan.
Sebagai alternatif dalam menghadapi permasalahan permodal bagi pembiayaan
usaha UKM, maka banyak kalangan berpendapat perlu dikembangkan pembentukan
lembaga keuangan non bank antara lain : (1) Modal Ventura (ventura capital) dan (2)
Lembaga Penjamin Kredit (LPK).
1.2. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan hal di atas maka permasalahan yang dikaji dfalam
penelitian ini : (1) Sejauhmana lembaga keuangan non bank dapat berperan sebagai
alternatif sumber pembiayaan dalam pengembangan UKM; (2) sejauhmana lembaga
keuangan non bank dapat diformulasikan dan direkomendasikan untuk pengembangan
UKM : dan (3) sejauhmana lembaga modal ventura dan LPK dapat menjadi alternatif
BUMD.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah : (1) Mengetahui peran Lembaga Keuangan
Non Bank dalam membantu pengembangan UKM; (2) Menemukan model Lembaga
Keuangan Non Bank yang dapat dikembangkan dalam mendukung pembiayaan UKM.
Manfaat yang diharapkan adalah : (1) Sebagai bahan kajian akademis yang
dipertanggung jawabkan untuk pengembangan lembaga keuangan non bank yang
credibel dan capabel; (2) Sebagai materi kebijakan bagi Pemda Tingkat I dan Tingkat
II untuk mendukung pembiayaan modal bagi pemberdayaan UKM di daerahnya.
Sedangkan lingkup penelitian mencakup :
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
101
 
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pengembangan usaha UKM kebanyakan dihadapkan dengan masalah
permodalan. Kemampuan UKM untuk mengakses sumber pembiayaan perbankan
selalu terbentur pada persyaratan teknis Perbankan. Sebenarnya terdapat alternatif
sumber pembiayaan lain yang bisa dikembangkan untuk mem-beck-up UKM yaitu
lembaga keuangan non bank seperti modal ventura dan lembaga penjamin kredit.
Perusahaan modal ventura dapat dibedakan menjadi tiga : (!) perusahaan privat; (2)
perusahaan publik; (3) perusahaan affiliasi bank (Martono: 2002 dalam Wongsonegoro
2004). Ada beberapa hal mendasar yang membedakan antara modal ventura dengan
perbankan sebagai lembaga pembiayaan ( Wahyudi: 2003 yaitu : (1) lebih concern
terhadap bisnis mitranya; (2) pendekatan bisnis partnership; (3) tidak ada pembatasan
sektoral; (4) memiliki unsure pembinaan; (5) suku bunga relatif stabil; (6) modal
pembiayaan yang fleksibel; (7) pembiayaan untuk usaha baru. Melalui system pasangan
usaha menimbulkan manfaat timbal balik, dalam hal ini beberapa manfaat dapat
diperoleh Perusahaan Pasangan Usaha (PPU) berkerja sama dengan perusahaan
modal ventura ( Wongsonegoro:2004) adalah : (1) Peningkatan potensi kegiatan usaha;
(2) Usaha dengan kemungkinan berhasil tinggi; (3) Peningkatan efisiensi pemasaran
produk; (4) Peningkatan Bank-Ability; (5) Peningkatan likuiditas; dan (6) Peningkatan
rentabilitas. Untuk pengembangan modal ventura (daerah) memerlukan keterlibatan
pemerintah (daerah), pelaku usaha, perguruan tinggi (konsultan), serta asosiasi sektoral
(Wahyudi:2003)
Pada sisi lain, Lembaga Penjamin Kredit diperlukan untuk pengambilalihan
resiko kegagalan UKM sebagai pihak terjamin sehingga kewajiban kepada kreditur
sebagai penerima jaminan dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang diperjanjikan
( Lintang : 2003). LPK ini telah didirikan sejak tahun 1971 c.q. Ditjen Koperasi dengan
membentuk Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK) dan lembaga ini akan melakukan
penjaminan bagi UKM yang tidak bisa memenuhi persyaratan agunan namun aspek 4
C terpenuhi. Dalam perkembangannya pemerintah melalui PP No. 51/1981 membentuk
Perum PKK, kemudian melalui PP Nomor 95/2000 Perum PKK lalu dirubah menjadi
Perum Sarana. Kementrian Koperasi dan UKM terus mendorong terbentuknya LPK
daerah dengan mengeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah No. 04/Kep/M/V/2001 dan No. 518-162/2001 tanggal 29 Mei 2001 tentang
pembentukan Lembaga Penjamin Kredit bagi Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro
Non Bank dan UKM di daerah. Selain yang disebutkan diatas, terdapat banyak LKBN
yang ada baik dikembangkan pemerintah, swasta/LSM maupun BUMN seperti model
dana Bergulir, pola kemitraan, dan berbagai pinjaman lunak lainnya. Tentunya
keberadaan lembaga penjamin kredit diharapkan mampu mengatasi masalah
pembiayaan UKM yang tidak memiliki agunan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
102

BAB III. METODE PENELITIAN
Untuk tercapainya output yang diinginkan maka metode pengumpulan data
dilakukan melalui observasi langsung; koleksi data sekunder; survey baik dengan
wawancara maupun kuesioner kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan teknik analisa
data yangdigunakan adalah dengan menggunakan analisa interaktif kwantitatif dan
kualitatif. Objek kajian adalah lembaga-lembaga keuangan non Bank, sedangkan
lokasi penelitian berada di kabupaten Pasuruan, Situbondo, Bondowoso dan Jember.

BAB IV. HASIL PENELITIAN
Dari temuan penelitian diperoleh hasil bahwa Lembaga Keuangan Non Bank
(LKNB) yang ada di lokasi penelitian dananya bersumber dari pemerintah, koperasi;
joint ventura; dana pensiun; dana ansuransi; pasar modal; reksa dana; pengadaian
dan lainnya. Sedangkan partisipasi LKBN dalam mendukung permodalan UKM pada
lokasi penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 1. Partisipasi LKNB, BANK dan Modal Sendiri
Dalam Mendukung Permodalan UKM
No
1.
2.
3.
4.
Lokasi Penelitian
Kab. Pasuruan
Kab. Situbondo
Kab. Bondowoso
Kab. Jember
LKNB
49,43 %
98,58 %
57,20 %
56,14 %
Bank
17,18 %
10,90 %
14,40 %
18, 72 %
Modal Sendiri
33,36 %
20,50 %
28,38 %
25, 12 %
Penyaluran dana yang dilakukan pemerintah dilakukan dalam bentuk model
Freeder Point dan Dana Bergulir. Selain itu, pemerintah dan BUMN juga menyalurkan
dukungan pembiayaan bagi UKM dalam bentuk model kemitraan seperti : kemitraan
bunga rendah, bantuan peralatan, bantuan manajemen, bantuan pemasaran, intiplasma,
bapak angkat dan ikubator. Sedangkan yang dilakukan swasta terdapat berupa model
pinjaman tampa anggunan dan pinjaman dengan anggunan, disamping itu ditemukan
pula model tengkulak dan model ijon. Kesemuanya itumerupakan LKNB yang memberi
dukungan pembiayaan terhadap pemberdayaan UKM pada lokasi penelitian. Secara
rinci LKNB ini dapat dilihat pada Tabel berikut :
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
103
Tabel 2. Model-Model LKNB di Lokasi Penelitian
No
1.
2.
3.
4.
Non Bank
Pemerintah
Pemerintah dan BUMN
Swasta
Lain-lain
Model pendanaan Kepada UKM
Freeder Point
Dana Bergulir
Model Pegadaian
Model Kemitraan
- Kemitraan bunga rendah
- Bantuan Peralatan
- Bantuan manajemen
- Bantuan pemasaran
- Intiplasma
- Bapak – anak
- Inkubator
Pinjaman tanpa anggunan
Pinjaman dengan anggunan
Model Tengkulak
Model Ijon
Adapun kelebihan dan kelemahan pada msing-masing model lebih menekankan
pada prosedur dan anggunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Table berikut :
Tabel. 3.
Keunggulan dan Kelemahan LKNB Menurut UKM
Model
1. Feeder Point
2. Dana Bergulir
3. Kemitraan
4. Kemitraan bunga rendah
5. Bantuan Peralatan
6. Bantuan Pemasaran
7. Intiplasma
8. Bapak angkat
9. Inkubator
Keunggulan
- Tampa anggunan
- Bunga ringan
- Bunga ringan
- Pinjaman dapat besar
- Jangka waktu dapat disesuaikan
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
- Bungan pinjaman terjangkau
Kelemahan
- Prosedur berbelit-belit
- Pinjaman kecil/minim
- Peminjam terbatas,
mengantri dan waktu
tunggu cukup lama
- Prosedur berbeli-belit
- Waktu menunggu lama
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
- Mengantri/sulit mendapatkan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
104
Dari berbagai bentuk model LKNB yang ada ternyata model Freeder Point
merupakan bentuk pendanaan yang diminati dan ditanggapi posif oleh UKM pelaku
Usaha. Selain itu, model penyaluran kredit lunak melalui Koperasi seperti dalam bentuk
dana bergulir sangat diminati namun jumlah penyaluran kepada UKM terbatas sehingga
sulit diakses pelaku Usaha yang jumlahnya sangat banyak. Freeder Point merupakan
program pemberian pinjaman kredit lunak kepada pengusaha Kecil (pengusaha
industrikecil dan pedagang Kecil) yang dikembangkan Dinas Perindustrian Provinsi
Jawa Timur dengan mengadopsi program Departemen Perindustrian. Program ini
membantu pendanaan bagi pengadaan bahan baku dan modal kerja tanpa bunga dan
anggunan. Walaupun terdapat program pemerintah lainnya dalam bentuk kredit lunak
seperti pola kemitraan namun dengan bunga 6% s/d 9% pertahun dan menggunakan
anggunan.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Lembaga Keuangan Non Banl (LKNB) amat diperlukan dalam mendukung
percepatan pemberdayaan UKM terutama bagi UKM di plosok-plosok dan pedesaan
dimana akses lembaga perbankan masih terbatas. Termasuk dalam hal mendukung
program bagi penumbuhan unit usaha baru sebanyak satu juta sepuluh ribu unit bisnis
untuk provinsi Jawa Timur pada tahun mendatang.
Selain itu, keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat sangat
diperlukan bagi penumbuhan Lembaga Keuangan Non Bank yang diharapkan dapat
mempercepat proses pemberdayaan UKM dan koperasi di provinsi Jawa Timur.
Penelitian ini merekomendasikan model kemitraan/keterpaduan yang
melibatkan antara pemerintah dan Lembaga Keuangan Non Bank, serta LSM/Perguruan
Tinggi dalam membuat mekanisme pemberdayaan UKM dalam mengembangkan model
pembiayaan UKM yang mudah diakses pelaku usaha di lapangan. Dalam
pengembangan model yang perlu ditekankan adalah aspek dari kepastian hukum dan
menawarkan keuntungan tertentu dari beberapa aspek bagi pelaku usaha. Pertama,
menyediakan peraturan dengan beberapa jaminan yang spesifik atas tindakan yang
sedang diambil, Kedua, menyediakan basis yang seragam untuk penyelenggaraan
dan memastikan bahwa status atau kebutuhan lokal akan mendorong kearah
pemenuhan dengan standar mutu nasional. Ketiga, campuran dari standar mutu, standar
prestasi dan kebutuhan teknologi yang digunakan UKM.

DAFTAR PUSTAKA
Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia, Sydeney, Allen & Unwin,
1991.
Amir Effendi Siregar (ed.), Arus Pemikiran Ekonomi Politik, Esai-Esai Terpilih,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
105
Bromley, Damel W. “Economic Interest and Institutions, The Conceptual Foundation
of Public Policy” Basil Blacwell Ltd. New York, 1989
Dunn, William N, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 1994.
Dye, Thomas R, “Understanding Public Policy”, Englewood Cliffs, New Jersey. 1992.
Edwards III George C, “Implementing Public Policy” Congressional Quartely Inc,
Washington, 1980.
Grindle, Merille S (ed), “Political and Policy Implementation in the third World”,
New Jersey, Princeton University Press, 1980.
Mater. Donal S Van and Carl E. Van Horn, The Policy Implementation Proses,
Bervely Hills. Sage Publication, 1984.
Martin Staniland, What Is Political Economy, New Haven and London, Yale University
Press, 1985.
(Terjemahan) Martin Staniland, Apakah Ekonomi Politik Itu? Sebuah studi Teori Sosial
dan Keterbelakangan, Jakarta Rajawali Pres 2003.
Tjorowinoto, Moeljarto, “Pembangunan Dilema dan Tantangan”, Tiara Wacana
Yogyakarta, 1996.
Sritua Arief dan Adi Sasono, Ketergantungan dan Keterbelakangan, Penerbit Sinar
Harapan Anggota IKAPI bekerja sama dengan lembaga Studi Pembangunan
Jakarta, 1981.
Richard Robinson, Indonesia : The Rise of Capital, Asia Studies Association of
Australia, Southeast Asia Publications Series, 1986.
Yoshihhara Kunio The Rise of Ersart Capitalism in South East Asia (Kapitalime
Semu Asia Tenggara), LP3ES, 1990

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 6

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
84
*) Kajian ini dilaksanakan Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Lembaga
Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2004 ( diringkas oleh
Asep Kamaruddin )

PROYEKSI PENGEMBANGAN KEBUTUHAN WIRAUSAHA BARU
DALAM RANGKA KESIAPAN
MENUJU LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN INVESTASI*)

ABSTRACT
This study aim to compile projection of new enterpreneur in Indonesia year 2004-2009,
identifying factors influencing growth of new enterpreneur, and know characteristic of
enterpreneur conducting business activity of small scale. This study is executed by
using survey method in 15 ( fifteen) province, that is North Sumatera, Riau, South
Sumatera, Lampung, West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java, Bali, Nusa of
West South-East, South Kalimantan, East Kalimantan, North Sulawesi, South Sulawesi,
and Papua. Object of study are factors influencing amount of new enterpreneur,
projection sum up new enterpreneur [of] year 2004-2009, and characteristic of
enterpreneur of scale of SMEs in various sector of business. Election of sample
conducted by cluster sampling of pursuant to sector of business. Result of research
indicate that : 1) projection sum up new enterpreneur for year 2004-2009 indicating that
in range of time five the year sum up new enterpreneur increase about 5.187.527 unit
of small scale and 17.226 unit of middle scale; 2) sector of most potential business for
new enterpreneur with small scale are commerce, hotel and restaurant; transportation
and communications; and the agriculture, ranch, forestry, plantation, and the fishery;
3) sector of most potential business to develop new enterpreneur with middle scale are
finance, rental and company service; commerce, hotel, and the restaurant, and also
the processing industry; 4) factors influencing to expand new enterpreneur are
characteristics of business enterpreneur ( age, gender, and level of education; legality
of entity; capital; marketing target; and the labour); cultural and also characteristic of
new enterpreneur ( motivate to try; resistance launch out; accepted support; and the
governmental role).
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi telah mengakibatkan pelaku usaha di Indonesia tertinggal 5-7
tahun dibandingkan dengan pelaku usaha negara lain. Kondisi ini mengakibatkan
daya saing ekonomi nasional mengalami penurunan peringkat secara sangat signifikan.
Karena itu, kebutuhan pengembangan wirausaha baru di Indonesia menjadi keniscayaan
meningkatkan daya saing dan daya dukung perekonomian nasional. Hal ini disebabkan
jumlah wirausaha di sektor industri pengolahan dan sektor usaha yang berbasis
pengetahuan relatif masih sangat kurang, apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk
Indonesia. Padahal sektor ini sangat potensial sebagai tumpuan untuk meningkatkan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
85
produktivitas, daya saing, dan pertumbuhan ekonomi nasional dalam era ekonomi
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa mendatang.
Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi APEC, diperlukan satu unit
UKM untuk setiap 20 orang penduduk, sehingga diperlukan tambahan 70 juta UKM di
kawasan anggota APEC sampai dengan tahun 2020 (Harvie dan Hoa, 2003). Hal ini
berdasarkan hasil kajian Pacific Economic Cooperation Council bahwa anggota ekonomi
APEC yang maju, umumnya memiliki rasio wirausaha terhadap terhadap jumlah
penduduk yang lebih besar dibandingkan dengan anggota APEC yang tergolong sedang
berkembang. Soetrisno (2003) menyebutkan bahwa untuk kasus Indonesia, diperlukan
tambahan 20 juta unit UKM di luar sektor pertanian sampai dengan tahun 2020,
mengingat sebagian besar UKM berada dalam skala industri rumahtangga.
Dalam rangka mengembangkan wirausaha baru yang berbasis pengetahuan
dan teknologi, diperlukan pengembangan kewirausahaan terutama pada sektor ekonomi
yang propspektif, perekayasaan budaya masyarakat yang mendukung kewirausahaan,
penciptaan lingkungan usaha kondusif, dan dukungan perkuatan bagi lahirnya
wirausaha baru yang berbasis pengetahuan dan teknologi. Kajian ini berupaya
memetakan proyeksi jumlah wirausaha baru di setiap sektor ekonomi, termasuk di
dalamnya upaya penumbuhannya.

1.2 Perumusan Masalah
Pokok masalah yang menjadi fokus kajian ini adalah seberapa banyak jumlah
wiausaha baru dapat dilahirkan dan bagaimana wirausaha lama dapat dikembangkan
agar dapat bersaing secara global.

1.3 Tujuan dan Manfaat
Kajian ini bertujuan untuk :
a. Menyusun proyeksi wirausaha Baru di Indonesia tahun 2004-2009;
b. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penumbuhan wirausaha
baru;
c. Mengetahui karakteristik wirausaha yang melakukan kegiatan usaha skala
kecil.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dalam kebijakan
pemberdayaan UKM, khususnya yang berkaitan dengan penumbuhan wirausaha baru.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Tinjauan Pustaka
Kewirausahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan bisnis.
Sedangkan wirausahawan adalah seseorang pengusaha yang jeli, ulet, hati-hati, dan
terampil dalam menjalankan serta mengembangkan usahanya (Kao, 1989). Di sisi
lain, Timmons (1978) memandang kewirausahaan sebagai tindakan kreatif atau suatu
kemampuan melihat dan memanfaatkan peluang, bahkan pada saat semua orang
tidak melihat adanya peluang. Dengan demikian, kewirausahaan adalah kesatuan

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
86
terpadu dari semangat, nilai-nilai, prinsip, sikap, kiat, seni, dan tindakan nyata yang
sangat perlu, tepat, dan unggul dalam menangani dan mengembangkan perusahaan
atau kegiatan lain, yang mengarah pada pelayanan terbaik kepada pelanggan dan
pihak-pihak lain yang berkepentingan, termasuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam kajian ini, kewirausahaan dipandang sebagai suatu tindakan kreatif dalam
memanfaatkan kesempatan untuk mengawali dan menjalankan suatu kegiatan tertentu,
dengan tujuan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan dan pihak-pihak
lain. Menjadi wirausaha berarti memiliki kemampuan menemukan dan mengevaluasi
peluang-peluang serta mengumpulkan sumberdaya yang diperlukan, kemudian
bertindak untuk mendapatkan keuntungan dari peluang tersebut. Kewirausahaan
merupakan kombinasi dari karakter wirausaha, kesempatan, dukungan sumberdaya,
dan tindakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa definisi kerja wirausaha yang
akan dipakai dalam studi ini adalah seseorang yang (1) memiliki daya kreativitas dan
daya inovasi yang kuat, (2) mempunyai kemampuan manajerial yang tinggi, (3)
menguasai pengetahuan tentang dunia bisnis secara mendalam, dan (4) berperilaku
dengan tujuan membentuk suatu organisasi usaha.
Terdapat studi yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan berperan dalam
pengembangan kewirausahaan, namun studi tersebut masih bersifat parsial, deskriptif,
dan hanya terfokus pada aspek-aspek tertentu dari lingkungan. Keterbatasan literatur
dan konsep mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kewirausahaan
mempersulit pembuat kebijakan (pemerintah) dalam mengembangkan kewirausahaan
di daerahnya. Dari berbagai penelitian diidentifikasi lima faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap pengembangan kewirausahaan, yaitu: (1) prosedur dan kebijakan
pemerintah, (2) kondisi sosial ekonomi, (3) keterampilan kewirausahaan dan kemampuan
bisnis, (4) dukungan keuangan, dan (5) dukungan non keuangan. Kombinasi yang
tepat dari kelima faktor lingkungan tersebut, ditambah kehadiran calon wirausaha akan
melahirkan sebuah kegiatan bisnis baru (Gnyawali dan Fogel, 1994; Agung Nur Fajar,
1996).
Vesper (1990) mengidentifikasi empat unsur pembentuk wirausaha, yaitu: (1)
peluang bisnis yang menguntungkan, (2) pengetahuan teknis kewirausahaan, (3)
keterampilan bisnis, (4) inisiatif wirausaha. Pengetahuan teknis dan ketrampilan bisnis
ini oleh Gnyawali dan Fogel (1994) didefinisikan sebagai ability to enterprise, sedang
inisiatif didefinisikan sebagai propensity to enterprise. Jadi, menurut Gnyawali dan
Fogel, tiga elemen pokok yang mempengaruhi pembentukan kewirausahaan adalah
peluang (opportunity), kemauan berwirausaha (propensity to enterprise), dan
kemampuan berwirausaha(ability to enterprise).
Peluang diartikan sebagai tingkat kemungkinan lahirnya usaha baru dan luasnya
kesempatan yang tersedia bagi wirausaha untuk memanfaatkan kelebihan yang
dimilikinya dalam mencapai keberhasilan. Kemampuan berwirausaha diartikan sebagai
kemampuan teknik dan bisnis yang diperlukan untuk memulai atau menjalankan suatu
bisnis. Kemampuan teknik merupakan keterampilan teknik, sedangkan kemampuan
bisnis merupakan pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai aspek fungsional
bisnis, seperti perencanaan bisnis, pengembangan produk, pemasaran, manajemen
personalia, manajemen umum, akuntansi, keuangan, dan lain-lain. Inisiatif dan kemauan
memulai usaha dipengaruhi oleh pendapat masyarakat terhadap profesi kewirausahaan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
87
dan pengakuan masyarakat atas kinerja profesi wirausaha. Untuk itu, pemerintah
diharapkan dapat membentuk pengertian masyarakat yang benar mengenai
kewirausahaan. Adapun faktor kemauan merupakan sebuah niat yang harus hadir
dari diri calon wirausahawan itu sendiri. Memulai suatu kegiatan usaha berarti terlibat
pada suatu risiko. Jadi kemauan menjadi wirausaha adalah kemauan menanggung
risiko (Kuratko & Hodgetts, 1995).
Sikap masyarakat mempunyai pengaruh potensial dalam mendorong atau
menghambat pola perilaku kewirausahaan. Seorang wirausahawan tidak merasa leluasa
bergerak dan bertindak, jika ia berada ditengah-tengah anggota masyarakat yang
memiliki pandangan negatif terhadap kegiatan wirausaha. Gnyawali dan Fogel (1994)
menyatakan faktor sosial sama pentingnya dengan faktor modal, informasi, bantuan
teknis, dan fasilitas fisik dalam melahirkan kegiatan bisnis baru. Hal ini berarti bahwa
tersedianya modal, bantuan teknis, informasi yang diperlukan, dan fasilitas lain tidak
akan menjamin terciptanya kegiatan bisnis baru, jika tidak ada dukungan
sosial.Perekonomian suatu daerah dapat mempengaruhi lahir dan tumbuhnya
wirausaha. Daerah yang melaksanakan secara aktif program pengembangan
perekonomian, akan melahirkan lebih banyak kegiatan wirausaha dibandingkan dengan
daerah yang tidak atau sedikit memiliki program pengembangan perekonomian daerah.
Bahkan, saluran distribusi yang kuat dan persaingan antar badan usaha yang ketat
merupakan kesempatan bagi wirausaha untuk melakukan inovasi (Porter, 1990).
Pengembangan kewirausahaan terkait erat dengan pengembangan UKM,
mengingat wirausaha yang ada dan yang berpotensi dilahirkan di Indonesia, umumnya
akan melalui tahapan skalaUKM, sebelum menjadi usaha berskala besar dan skala
global. UKM menjadi sangat penting bagi pembangunan ekonomi bekelanjutan dan
untuk menjadi ekonomi yang modern/maju. Kewirausahaan juga penting untuk
pertumbuhan investasi langsung dari luar, membangun jejaring produksi regional dan
memberikan kontribusi kepada pertumbuhan domestik dan kawasan.
Terdapat empat faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan
kewirausahaan, yaitu : (1) akses terhadap modal, (2) peran inovasi, (3) pelatihan
kewirausahaan, dan (4) peran pemerintah dalam menciptakan iklim berusaha yang
kondusif bagi lahirnya wirausaha yang berdaya saing. Thailand dan USA merupakan
negara yang menyatakan bahwa akses terhadap modal merupakan salah satu faktor
penting bagi pengembangan UKM, khusus wirausaha baru. Bahkan, di beberapa
negara, seperti India, Amerika Serikat, Jepang, dan Taiwan terdapat dana khusus
untuk usaha pemula (business start-up). Keterlibatan pemerintah sangat penting dalam
pengembangan inovasi dan proses pewirausahaan. Dengan berinvestasi pada inovasi,
artinya pemerintah berinvestasi untuk kesejahteraan rakyat. Landasan dan kebijakan
kunci untuk pertumbuhan wirausaha baru atau pemula menyangkut pusat-pusat
pelayanan, eksibisi bisnis, program pelatihan, dan inkubator bisnis.
Faktor yang berkaitan dengan pelatihan kewirausahaan ditujukan pada strategi
untuk meningkatkan kemampuan pengusaha. Keberhasilan pengembangan ini
bergantung pada kemampuan pemerintah menerapkan kebijakan, yang menyangkut
intervensi langsung dan keseimbangan dari pasar pendidikan di seluruh sektor dan
seluruh tingkatan pendidikan. Dalam pengembangan kewirausahaan, beberapa
komponen yang perlu diperhatikan adalah : (1) mengidentifikasi, memilih, dan

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
88
memberikan dukungan kepada pengusaha potensial untuk mengembangkan usaha
baru, (2) memfasilitasi pertumbuhan pengusaha-pengusaha yang ada, (3) memberikan
kontribusi ke arah pengembangan budaya wirausaha, dan (4) memfasilitasi terciptanya
iklim usaha yang kondusif bagi UKM pada tingkat pemula dan dalam pertumbuhan.
Secara garis besar ada lima rambu-rambu dalam mengembangkan
wirausaha baru berdasarkan praktik terbaik yang teruji secara internasional (UNCTAD
dalam Noer Soetrisno, 2003), yaitu :
1. Pembentukan kerangka kondisi dan lingkungan bisnis yang baik bagi
tumbuhnya wirausaha baru;
2. Sistem insentif yang dirancang dengan baik;
3. Intervensi pemerintah yang seminimal mungkin tetapi efektif;
4. Adanya kerjasama yang baik dengan dunia perguruan tinggi;
5. Membangun perusahaan swasta untuk mengembangkan dan mengasuh
wirausaha baru.
Kerjasama antara perguruan tinggi dan perusahaan swasta akan mampu
menumbuhkan wirausaha baru, karena kedua lembaga ini memiliki karakteristik yang
saling melengkapi. Kombinasi antara ciri mengejar keuntungan dan kepuasan untuk
mencari sesuatu yang baru yang bermanfaat bagi kemajuan. Model inkubasi bisnis
yang didukung oleh intervensi pemerintah yang tepat menjadi model terbaik di berbagai
negara.
Peran swasta untuk menumbuhkan wirausaha baru sangat penting, karena
inkubator bisnis yang berhasil umumnya terdiri dari perusahaan swasta yang sukses.
Perusahaan swasta yang sukses dapat bertindak sebagai mentor bagi pengusaha
baru dalam kemampuan manajerial, keterampilan teknis, memberikan jaminan pasar,
dan menjadi avalis bagi wirausaha baru dalam berhubungan dengan perbankan. Dengan
demikian, segenap praktik terbaik pengembangan wirausaha memerlukan komitmen
untuk melaksanakannya. Karena itu, perlu segera diwujudkan program aksi pada
tingkat daerah berupa upaya menumbuhkan seorang wirausaha baru di tiap desa setiap
bulannya (Noer Soetrisno, 2003).
2.2 Kerangka Pikir
Menyusun proyeksi jumlah wirausaha di Indonesia memerlukan keberanian yang
luar biasa, karena kompleksnya variabel penentu dan hampir semua aspek yang
berkaitan masih belum menentu (masih cair), seperti : kinerja ekonomi, motivasi dan
keberanian menanggung risiko, politik, sosial, budaya, dan hukum. Variabel yang relatif
dapat diproyeksikan secara akurat adalah jumlah penduduk. Hal ini terutama untuk
jangkauan waktu yang relatif panjang, yaitu sampai tahun 2020.
Untuk kepentingan proyeksi ini dilakukan penyederhanaan, yaitu berbagai
variabel dianggap akan berpengaruh terhadap kinerja ekonomi, sehingga variabel
ekonomi dianggap mampu merepresentasikan perkembangan variabel keamanan,
sosial, budaya, ekonomi, dan trend perkembangan global. Dengan demikian, proyeksi
jumlah wirausaha dianggap dipengaruhi oleh dinamika perkembangan ekonomi dan
perkembangan jumlah penduduk. Kedua variabel ini menjadi penentu pada sisi
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
89
permintaan terhadap produk yang dihasilkan wirausaha, sedang variabel penduduk
menjadi input dari sisi pasokan wirausaha.
Dengan pertimbangan belum ada teknik proyeksi jumlah wirausaha yang baku,
maka proyeksi jumlah wirausaha dilakukan dengan berbagai pendekatan, antara lain :
(1) menggunakan model ekonometrik, (2) pendekatan elastisitas, (3) pendekatan input
output, (4) pendekatan ketenagakerjaan, dan (5) pendekatan benchmarking rasio
pengusaha terhadap jumlah penduduk pada beberapa negara. Pendekatan pertama
sampai keempat didasarkan pada keterkaitan jumlah wirausaha baru dengan kinerja
ekonomi yang mengacu pada data historis Indonesia, dengan asumsi tidak ada
perubahan kebijakan pengembangan kewirausahaan yang signifikan. Keempat
pendekatan ini akan dipilih berdasarkan pada MPE yang terendah. Peramalan jumlah
wirausaha per sektor didasarkan pada hasil proyeksi dengan beberapa penyesuaian
berdasarkan besaran MPE. Pendekatan kelima merupakan benchmarking dari berbagai
negara lain yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan sasaran pengembangan
jumlah wirausaha yang ideal di Indonesia. Adanya gap yang besar antara hasil
pendekatan kelima dengan pendekatan lainnya merupakan indikasi perlunya upaya
mempercepat pengembangan kewirausahaan di Indonesia.
Dari beberapa pendekatan dalam menyusun proyeksi wirausaha di Indonesia,
model ekonometrik merupakan pilihan utama yang digunakan dalam kajian ini. Pilihan
model ekonometrik dengan pertimbangan bahwa model ini menggunakan berbagai
angka perkiraan kinerja ekonomi pada masa mendatang, terutama perkiraan
pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan ekonomi menurut sektor usaha.
Perkiraan pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada
model ekonometrik yang dikembangkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Model
BPS dipilih dengan pertimbangan beberapa data BPS yang digunakan masih merupakan
angka perkiraan, sehingga terjaga konsistensi data dengan hasil proyeksinya. Model
ekonometri BPS didasarkan pada model Keynes dan hanya difokuskan pada sisi
penggunaan (demand side). Prediksi yang dilakukan adalah prediksi ekonomi tahunan
untuk tahun 2003 dan untuk lima tahun ke depan, yaitu 2004-2009 dengan menggunakan
asumsi moderat yang cenderung optimis.
Di dalam membuat model prediksi ini, ada beberapa variabel yang akan
dipertimbangkan. Salah satunya yang paling penting adalah konsumsi rumah tangga,
yang merupakan pemicu kuat pengaruhnya dalam perekonomian Indonesia. Selain itu
ekspor dan impor juga dimuat di dalam model. Beberapa variabel lainnya, seperti
tingkat suku bunga, nilai tukar rupiah, dan inflasi juga akan dipertimbangkan dalam
model, mengingat variabel ini cukup mempengaruhi perekonomian Indonesia. Tingkat
suku bunga dilihat melalui pendekatan M2. Di samping itu, ada beberapa variabel
exogenous lainnya, seperti perekonomian dunia, terutama Amerika Serikat dan Jepang,
karena kedua negara ini merupakan negara importir terbesar dari produk Indonesia.
Begitu juga dengan pinjaman asing, investasi asing, dan harga luar negeri juga akan
dilihat pengaruhnya.
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa asumsi yang digunakan adalah
moderat yang cenderung optimis dalam arti diasumsikan pada tahun 2006 ekonomi
kita sudah mulai stabil. Pada tahun ini, nilai tukar dolar sudah mencapai angka stagnan,
yaitu sebesar Rp 8.000, begitu juga dengan kondisi pemerintahan sudah mulai stabil.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
90
Dengan demikian, kapital pemerintah sedikit demi sedikit sudah mulai tumbuh, karena
didukung dengan perekonomian Jepang dan USA yang kian terus tumbuh, yang
sebelumnya mengalami penurunan.
Pendekatan jumlah wirausaha dilakukan dengan jumlah unit usaha pada setiap
sektor. Kajian ini menggunakan asumsi bahwa setiap unit usaha dimiliki oleh seseorang
wirausaha, demikian sebaliknya setiap wirausaha dianggap hanya memiliki satu unit
usaha. Model yang disusun dalam kajian ini merupakan dekomposisi dari perekonomian
Indonesia menjadi 9 sektor usaha. Hal yang sama juga diberlakukan terhadap variabel
unit usaha. Pemilihan variabel bebas untuk setiap persamaan perilaku ditentukan
berdasarkan uji signifikansi untuk setiap variabel bebas dengan jumlah unit usaha
pada setiap sektor.
Dalam model ini digunakan metode penduga Two Stage Least Square (2 SLS),
agar hasil pendugaan parameter yang diperoleh menjadi lebih efisien dan tidak bias.
Demikian pula untuk kondisi penggunaan data deret waktu (time series), yang dapat
menimbulkan gangguan berupa adanya autokorelasi. Untuk mengatasi gangguan
tersebut, digunakan metode Cohranne-Orcutt yang dapat mengubah bentuk persamaan
menjadi autoregresif.
Ada dua blok peubah yang digunakan dengan 17 persamaan stokastik, yaitu
blok ekonomi sebanyak 8 persamaan dan blok unit usaha sebanyak 9 persamaan
serta 3 persamaan identitas (deterministik).
Persamaan Identitas dimaksud adalah:
1. Y9t = GDPt – (Y1t+ Y2t + Y3t + Y4t + Y5t + Y6t + Y7t + Y8t )
2. Kt = 0,97 Kt-1 + CFt
3. Ut = U1t + U2t + U3t + U4t + U5t + U6t + U7t + U8t + U9t
Keterangan:
1. Y1t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha pertanian,
peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan;
2. Y2t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha pertambangan dan
penggalian;
3. Y3t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha industri pengolahan;
4. Y4t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha listrik, gas dan air
bersih;
5. Y5t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha bangunan;
6. Y6t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha perdagangan, hotel
dan restaurant;
7. Y7t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha pengangkutan dan
komunikasi;

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
91
8. Y8t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha keuangan,
persewaan dan jasa perusahaan;
9. Y9t adalah nilai tambah bruto pada sektor usaha usaha jasa-jasa;
10. GDPt adalahProduk domestik bruto Indonesia;
11. Ext adalah nilai ekspor barang dan jasa;
12. Kt adalah stok kapital;
13. CFt adalah investasi fisik/pembentukan modal tetap bruto;
14. U1t adalah jumlah unit usaha di sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan;
15. U2t adalah jumlah unit usaha di sektor pertambangan dan penggalian;
16. U3t adalah jumlah unit usaha di sektor industri pengolahan;
17. U4t adalah jumlah unit usaha di sektor listrik, gas dan air bersih;
18. U5t adalah jumlah unit usaha di sektor bangunan;
19. U6t adalah jumlah unit usaha di sektor perdagangan, hotel dan
restoran;
20. U7t adalah jumlah unit usaha di sektor pengangkutan dan
komunikasi;
21. U8t adalah jumlah unit usaha di sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan;
22. U9t adalah jumlah unit usaha di sektor jasa-jasa;
23. Ut adalah total unit usaha di Indonesia
III. METODE KAJIAN
3.1 Lokasi dan Objek Kajian
Kegiatan kajian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survai di 15
(lima belas) provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat,, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua. Objek
kajian adalah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah wirausaha baru dan proyeksi
jumlah wirausaha baru 2004-2009. Untuk memperkuat hasil kajian ini, juga dilakukan
inventarisasi berbagai karakteristik wirausaha skala UKM di berbagai sektor usaha.
3.2 Penarikan Sampel
Untuk memperoleh data dan informasi melalui survai, penarikan sampel
UKM dilakukan dengan cluster sampling berdasarkan sektor usaha.

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
92
3.3 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari responden
melalui wawancara dengan bantuan kuesioner yang telah disusun. Responden yang
ditetapkan dalam penelitian ini adalah pemilik perusahaan. Untuk melengkapi bahan
analisis dilakukan wawancara terhadap pembina UKM dan kelompok pakar, serta
menggunakan data sekunder yang bersumber dari instansi terkait, terutama BPS.
3.4 Model Analisis
Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Model ekonometrik digunakan untuk membuat proyeksi wirausaha baru
menurut sektor usaha;
b. Analisis deskriptif kuantitatif digunakan untuk karakteristik wirausaha yang
melakukan kegiatan usaha skala kecil.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Proyeksi Wirausaha Baru
Hasil proyeksi wirausaha baru skala kecil menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
1 . Dari tabel 1 tersebut terlihat bahwa proyeksi jumlah unit usaha kecil mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,11 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 13,65 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,72 persen dan sektor 7 sebesar 7,56 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,72 persen, kemudian diikuti sektor 2
sebesar 2,80 persen dan sektor 5 sebesar 2,86 persen. pertumbuhan terendah adalah
sektor 1 sebesar 0,72 persen, kemudian diikuti sektor 2 sebesar 2,80 persen dan
sektor 5 sebesar 2,86 persen.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
93
Tabel 1 Proyeksi Jumlah Unit Usaha Kecil Menurut Sektor Usaha Tahun
Tahun 2004-2009
Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2004-2009
1
24.371.225
24.613.911
24.840.267
25.054.974
25.249.748
25.430.953
1.059.728
Pertumbuhan
1,00
0,92
0,86
0,78
0,72
0,72
2
349.362
360.674
371.934
383.457
395.453
408.133
58.771
Pertumbuhan
3,24
3,12
3,10
3,13
3,21
2,80
3
2.666.924
2.758.832
2.858.537
2.967.023
3.084.934
3.214.111
547.187
Pertumbuhan
3,45
3,61
3,80
3,97
4,19
3,42
4
9.675
10.269
11.031
11.893
12.938
14.158
4.483
Pertumbuhan
6,14
7,42
7,81
8,79
9,43
7,72
5
163.174
167.174
171.493
176.288
181.831
191.189
28.015
Pertumbuhan
2,45
2,58
2,80
3,14
5,15
2,86
6
8.614.374
8.781.705
9.110.365
9.501.392
9.948.546
10.426.908
1.812.534
Pertumbuhan
1,94
3,74
4,29
4,71
4,81
3,51
7
2.484.825
2.628.525
2.800.124
3.012.779
3.286.351
3.611.220
1.126.395
Pertumbuhan
5,78
6,53
7,59
9,08
9,89
7,56
8
30.949
34.207
38.103
42.899
48.858
56.304
25.355
Pertumbuhan
10,53
11,39
12,59
13,89
15,24
13,65
9
2.351.729
2.458.259
2.558.764
2.657.957
2.763.798
2.876.789
525.060
Pertumbuhan
4,53
4,09
3,88
3,98
4,09
3,72
Jumlah
41.042.237
41.813.556
42.760.618
43.808.662
44.972.457
46.229.765
5.187.528
Pertumbuhan
1,61
1,88
2,26
2,45
2,66
2,80
2,11
Sumber : Data BPS (Diolah)      
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
94
Hasil proyeksi wirausaha baru skala menengah menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
2 . Dari tabel 2 tersebut terlihat bahwa proyeksi jumlah unit usaha menengah mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,11 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 13,65 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,72 persen dan sektor 7 sebesar 7,55 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,72 persen, kemudian diikuti sektor 2
sebesar 2,81 persen dan sektor 5 sebesar 2,86 persen.
Tabel 2 Proyeksi Jumlah Unit Usaha Menengah Menurut Sektor Usaha Tahun 2004-
2009
S e k to r 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7 2 0 0 8 2 0 0 9 2 0 0 4 -2 0 0 9
1
1 .7 7 2 1 .7 8 9
1 .8 0 6
1 .8 2 1
1 .8 3 6
1 .8 4 9 7 7
P e r tum b u h a n 0 ,9 6
0 ,9 5
0 ,8 3
0 ,8 2
0 ,7 1 0 ,7 2
2
1 .2 2 2 1 .2 6 2
1 .3 0 1
1 .3 4 1
1 .3 8 3
1 .4 2 8 2 0 6
P e r tum b u h a n 3 ,2 7
3 ,0 9
3 ,0 7
3 ,1 3
3 ,2 5 2 ,8 1
3
8 .7 9 2 9 .0 9 5
9 .4 2 3
9 .7 8 1
1 0 .1 7 0
1 0 .5 9 5 1 .8 0 3
P e r tum b u h a n 3 ,4 5
3 ,6 1
3 ,8 0
3 ,9 8
4 ,1 8 3 ,4 2
4
1 .0 0 4 1 .0 6 5
1 .1 4 4
1 .2 3 4
1 .3 4 2
1 .4 6 9 4 6 5
P e r tum b u h a n 6 ,0 8
7 ,4 2
7 ,8 7
8 ,7 5
9 ,4 6 7 ,7 2
5
9 .4 3 1 9 .6 6 3
9 .9 1 2
1 0 .1 8 9
1 0 .5 1 0
1 1 .0 5 1 1 .6 2 0
P e r tum b u h a n 2 ,4 6
2 ,5 8
2 ,7 9
3 ,1 5
5 ,1 5 2 ,8 6
6
2 1 .6 6 7 2 2 .0 8 8
2 2 .9 1 4
2 3 .8 9 8
2 5 .0 2 2
2 6 .2 2 6 4 .5 5 9
P e r tum b u h a n 1 ,9 4
3 ,7 4
4 ,2 9
4 ,7 0
4 ,8 1 3 ,5 1
7
3 .0 3 2 3 .2 0 7
3 .4 1 6
3 .6 7 6
4 .0 1 0
4 .4 0 6 1 .3 7 4
P e r tum b u h a n 5 ,7 7
6 ,5 2
7 ,6 1
9 ,0 9
9 ,8 8 7 ,5 5
8
6 .8 2 0 7 .5 3 8
8 .3 9 6
9 .4 5 3
1 0 .7 6 6
1 2 .4 0 7 5 .5 8 7
P e r tum b u h a n 1 0 ,5 3
1 1 ,3 8
1 2 ,5 9
1 3 ,8 9
1 5 ,2 4 1 3 ,6 5
9
6 .8 7 7 7 .1 8 8
7 .4 8 2
7 .7 7 2
8 .0 8 2
8 .4 1 2 1 .5 3 5
P e r tum b u h a n 4 ,5 2
4 ,0 9
3 ,8 8
3 ,9 9
4 ,0 8 3 ,7 2
J um la h
6 0 .6 1 7 6 2 .8 9 5
6 5 .7 9 4
6 9 .1 6 6
7 3 .1 2 1
7 7 .8 4 3 1 7 .2 2 6
P e r tum b u h a n
3 ,4 4 3 ,7 6
4 ,6 1
5 ,1 3
5 ,7 2
6 ,4 6 4 ,7 4
Sumber : Data BPS (Diolah)
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
95
Hasil proyeksi wirausaha baru skala besar menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
3 . Dari tabel 3 tersebut terlihat bahwa proyeksi jumlah unit usaha besar mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,11 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 13,61 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,89 persen dan sektor 7 sebesar 7,53 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,74 persen, kemudian diikuti sektor 2
dan 5 masing-masing sebesar 2,85 persen.
Tabel 3 Proyeksi Jumlah Unit Usaha Besar Menurut Sektor Usaha Tahun
2004-2009
Sumber : Data BPS (Diolah)      
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2004-2005
1 68 68 69 70 70 71 3
Pertumbuhan – 1,47 1,45 – 1,43 0,74
2 123 127 131 136 140 144 21
Pertumbuhan 3,25 3,15 3,82 2,94 2,86 2,85
3 580 600 622 646 671 700 120
Pertumbuhan 3,45 3,67 3,86 3,87 4,32 3,45
4 93
99 107 115 125 137 44
Pertumbuhan 6,45 8,08 7,48 8,70 9,60 7,89
5 205 210 215 221 228 240 35
Pertumbuhan 2,44 2,38 2,79 3,17 5,26 2,85
6 413 421 437 455 477 500 87
Pertumbuhan 1,94 3,80 4,12 4,84 4,82 3,51
7 146 154 164 177 193 212 66
Pertumbuhan 5,48 6,49 7,93 9,04 9,84 7,53
8 333 368 409 461 525 605 272
Pertumbuhan 10,51 11,14 12,71 13,88 15,24 13,61
9 253 265 276 286 298 310 57
Pertumbuhan 4,74 4,15 3,62 4,20 4,03 3,75
Jumlah 2.214 2.312 2.430 2.567 2.727 2.919 705
Pertumbuhan 4,05 4,43 5,10 5,64 6,23 7,04 5,31

JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
96
Hasil proyeksi wirausaha baru secara keseluruhan menurut sektor usaha dengan
menggunakan pendekatan ekonometrik berdasarkan unit usaha disajikan pada tabel
3 . Dari tabel 3 tersebut terlihat bahwa proyeksi total unit usaha keseluruhan mengalami
pertumbuhan pada seluruh sektor. Rata-rata pertumbuhan jumlah unit usaha pada
peroide tahun 2004-2009 adalah sebesar 2,28 persen, dengan rata-rata pertumbuhan
tertinggi dicapai sektor 8 sebesar 12,20 persen, kemudian diikuti sektor 4 sebesar
7,80 persen dan sektor 7 sebesar 7,34 persen. Sedangkan sektor dengan rata-rata
pertumbuhan terendah adalah sektor 1 sebesar 0,83 persen, kemudian diikuti sektor 5
dan 2 masing-masing sebesar 3,03 persen dan 3,20 persen.
Tabel 4 Proyeksi Total Unit Usaha Menurut Sektor Usaha Tahun 2004-2009
Sektor 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2004-2009
1
24.373.065
24.615.768
24.842.142
25.056.865 25.251.654 25.432.873 1.059.808
Pertumbuhan
0,70
1,00
0,92
0,86
0,78
0,72 0,83
2
350.707
362.063
373.366
384.934
396.976
409.705 58.998
Pertumbuhan
3,43
3,24
3,12
3,10
3,13
3,21 3,20
3
2.676.296
2.768.527
2.868.582
2.977.450
3.095.775
3.225.406 549.110
Pertumbuhan
2,50
3,45
3,61
3,80
3,97
4,19 3,59
4
10.772
11.433
12.282
13.242
14.405
15.764 4.992
Pertumbuhan
7,20
6,14
7,43
7,82
8,78
9,43 7,80
5
172.810
177.047
181.620
186.698
192.569
202.480 29.670
Pertumbuhan
2,03
2,45
2,58
2,80
3,14
5,15 3,03
6
8.636.454
8.804.214
9.133.716
9.525.745
9.974.045
10.453.634 1.817.180
Pertumbuhan
1,77
1,94
3,74
4,29
4,71
4,81 3,54
7
2.488.003
2.631.886
2.803.704
3.016.632
3.290.554
3.615.838 1.127.835
Pertumbuhan
5,15
5,78
6,53
7,59
9,08
9,89 7,34
8
38.102
42.113
46.908
52.813
60.149
69.316 31.214
Pertumbuhan
9,57
10,53
11,39
12,59
13,89
15,24 12,20
9
2.358.859
2.465.712
2.566.522
2.666.015
2.772.178
2.885.511 526.652
Pertumbuhan
5,73
4,53
4,09
3,88
3,98
4,09 4,38
Jumlah
41.105.068
41.878.763
42.828.842
43.880.394
45.048.305
46.310.527 5.205.459
Pertumbuhan
1,62
1,88
2,27
2,46
2,66
2,80 2,28
Sumber : Data BPS (Diolah)      
Keterangan : 1 = Pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan, dan perikanan
2 = Pertambangan dan penggalian
3 = Industri pengolahan
4 = Listrik, gas, dan air bersih
5 = Bangunan
6 = Perdagangan, hotel, dan restoran
7 = Pengangkutan dan komunikasi
8 = Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
9 = Jasa-jasa
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
97
4.2 Penyesuaian Proyeksi Wirausaha Baru
Proyeksi wirausaha baru dengan menggunakan model ekonometrik, sebagaimana
disajikan di atas, memerlukan penyesuaian agar diperoleh hasil proyeksi yang lebih
akurat. Penyesuaian tersebut dilakukan dengan menggunakan Mean Percentage Error
(MPE), yang secara matematis dirumuskan sebagai berikut :
(Yt – Ý)
MPE = å —————— : n
Ýt
Hasil perhitungan MPE menunjukkan bahwa secara umum estimasi yang
dihasilkan dapat digunakan karena nilai MPE yang kecil, kecuali untuk sektor tertentu.
MPE pada usaha kecil untuk sektor 7 dan 9 relatif besar, sehingga hasil proyeksi akan
bias karena akan terjadi perbedaan yang relatif besar antara hasil estimasi dengan
kondisi aktual. MPE yang relatif besar untuk usaha menengah terjadi pada sektor 3
dan 7, pada usaha besar terjadi pada sektor 3, 4, 7, dan 9; sedangkan pada proyeksi
total terjadi pada sektor 3,4,6,7, dan 9. Hal ini menunjukkan bahwa MPE yang relatif
tinggi memberikan indikasi harus dilakukan penyesuaian agar diperoleh hasil proyeksi
yang lebih akurat. Penyesuaian model ekonometrik dalam kajian ini dilakukan dengan
pendekatan interval estimate dan point estimate. Interval estimate digunakan untuk
memperoleh dua jenis estimasi, yaitu estimasi pesimis dan estimasi optimis.
Sedangkan point estimate digunakan untuk memperoleh estimasi moderat.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahsan yang disajikan pada uraian di muka, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Model ekonometrik merupakan pendekatan yang representatif dalam
menyusun proyeksi jumlah wirausaha di Indonesia, namun belum mampu
memberikan proyeksi yang akurat untuk sektor listrik, gas, dan air bersih;
sektor pengangkutan dan komunikasi; dan sektor jasa-jasa karena MPEnya
masih relatif besar.
2. Hasil proyeksi jumlah wirausaha baru untuk tahun 2004-2009 menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu lima tahun tersebut jumlah wirausaha baru
bertambah sekitar 5.187.527 unit usaha kecil dan 17.226 unit usaha
menengah.
3. Sektor usaha yang paling potensial untuk mengembangakan wirausaha baru
dengan skala kecil adalah usaha perdagangan, hotel dan restoran;
pengangkutan dan komunikasi; dan pertanian, peternakan, kehutanan,
perkebunan, dan perikanan.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
98
4. Sektor usaha yang paling potensial untuk mengembangkan wirausaha baru
dengan skala menengah adalah keuangan, persewaan dan jasa perusahaan;
perdagangan, hotel, dan restoran; dan industri pengolahan.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya wirausaha baru adalah
karakteristik bisnis wirausaha (usia, gender, dan tingkat pendidikan; legalitas
usaha; permodalan; tujuan pemasaran; dan tenaga kerja); serta budaya
dan karakteristik wirausaha baru (motivasi berusaha; hambatan memulai
usaha; dukungan yang diterima; dan peran pemerintah).
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil proyeksi jumlah wirausaha, hasil survai karakteristik UKM,
studi kepustakaan, dan analisis yang relevan dengan berbagai aspek yang terkait
pengembangan wirausaha baru, terutama yang mempunyai implikasi terhadap
kebijakan pemberdayaan UKM, maka diajukan rekomendasi sebagai berikut :
1. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan wirausaha baru, seyogianya
mempertimbangkan potensi pengembangan menurut skala dan sektor usaha;
2. Dalam upaya pengembangan wirausaha baru di masa yang datang, perlu
mempertimbangkan karakteristik atau profil wirausaha beserta faktor-faktor
yang mempengaruhinya, baik yang melekat pada karakteristik bisnis
wirausaha maupun budaya dan karakteristik wirausaha baru.

DAFTAR PUSTAKA
Harvie, Charles and Tran Van Hoa. 2003. New Asian Regionalism : Responses to
Globalisation and Crises. Palgrave Macmillan.
Soetrisno, Noer. 2003. Kewirausahaan dalam Pengembangan UKM di Indonesia.
dalam Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Deputi bidang
Pengkajian Sumberdaya UKMK Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Jakarta.
Agung Nur fajar. 1996. Model Pengembangan Kewirausahaan di Indonesia. Makalah
pada Seminar Dosen STEKPI. Jakarta.
Gnyawali, Devi R. and Daniel S. Fogel (1994). Environment for Enterpreneurship
Development : Key Dimension and Research Implications. Enterpreneurship :
Theory and Practice.
Kao, John (1989). Enterpreneurship, Creativity and Organization : Text, Cases and
Reading. Englewood Cliffs, Prentice Hall.
Kuratko and Hodgetts. 1995. Enterpreneurship : A Contemporary Approach. The
Dryden Press. New York.