Senin, 07 November 2011

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 5


NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

REVIEW JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
13
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK bekerjasama dengan Gunatama Megah
Business and Management Consultant Tahun 2004 (diringkas oleh : Joko Sutrisno dan Sri Lestari
HS)
KAJIAN USAHA MIKRO INDONESIA*1

ABSTRACT
Charactheristic which is owned by small enterprise signs some weakness which is
potential generates some problem. And this study has an aim to identify profile, role,
small enterprise problem, and also at the same time to recommend model development
of Indonesia small enterprise. Whereas locations and study object were in West
Sumatera, South Sumatera, East Java, West Nusa Tenggara, West Kalimantan, and
South Sulawesi. The study using survey method, data-processing by tabulation and
data analysis has done by descriptive .
From study result can be conclused that : 1) The development of small enterprise
is a national programe which is integral part of generalization development program. 2)
To assist in improving small enterpreneur ability, it is needed integrated trainee from
every element 3) Required some developing ways to improve access for small enterprise
to the bank with: (a) Developing banking corporate system, which is big bank have to
become locomotive to assist small banks like BPR, so that can improve the service to
small enterprise in the area itself, ( b) Simplify of prosedure and credit clauses, (c)
Using region otonom to create cooperate part between related deprtement and
guaranteed part to extend the budget to strategic sector which has wide affect (d)
Needed assisting partner to help in accessing process of banking fund. Whereas for
suggestions from this study are as follow:1) Fix access from small enterpreneur to
monetary service from bank, 2) Improve efficiency and goverment support 3) Fix accsess
of small enterpreneur, another monetary service co-operative and Micro Financial
Institution ( LKM ).

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang memporak-porandakan perekonomian nasional tahun 1997
yang lalu membangkitkan kesadaran pentingnya peran Usaha Kecil dan Menengah
(UKM) sebagai “ tulang punggung “ perekonomian Indonesia. Berdasarkan kriteria BPS,
jumlah usaha kecil di Indonesia tahun 2002 sebanyak 40.1195.611 usaha kecil dan
99,99 persen di antaranya atau 40.195.516 merupakan usaha mikro. Pengembangan
UMKM saat ini dan mendatang menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam
menghadapi persaingan dunia usaha yang semakin ketat. Namun demikian dengan
berbagai keterbatasan yang ada, UMKM masih diharapkan mampu menjadi andalan
perekonomian Indonesia.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
14
Karakteristik yang dimiliki oleh usaha mikro mengisyaratkan adanya kelemahankelemahan
yang potensial menimbulkan berbagai masalah internal terutama yang
berkaitan dengan pendanaan. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagi
kemudahan dengan paket-paket kebijakan untuk mendorong kehidupan sektor usaha
kecil tersebut. Misalnya, kredit usaha tani dan kredit usha kecil ( KUK), namun
sayangnya apa yang telah dilakukan berkaitan dengan pemberian kredit tersebut,
belum dirasakan manfaatnya keseluruh oleh sektor usaha mikro.
Atas dasar potensi dan karakteristik tersebut, maka pemberdayaan usaha mikro
dinilai masih strategis dan sangat penting dalam mendukung perekonomian nasional.
Peran strategis tersebut antara lain :
a. Dengan jumlah yang sangat banyak usaha kecil berpotensi menciptakan lapangan
kerja yang luas bagi masyarakat
b. Kontribusi terhadap PDB menurut harga berlaku sebesar 63,11 %
c. Usaha kecil merupakan pelaku ekonomi utama yang berinteraksi langsung dengan
konsumen
d. Mempunyai implikasi langsung untuk meredam persoalan-persoalan yang
berdimensi sosial politik, terbukti pada waktu krisis usaha kecil menengah
memegang peran kunci dalam kegiatan produksi dan distribusi.
Oleh karenanya sangat penting untuk mengadakan kajian yang mendalam untuk
mengidentifikasi profil, peran, permasalahan usaha mikro sekaligus merekomendasikan
model pengembangan usaha mikro di Indonesia. Diharapkan dengan kajian ini dapat
memberikan kontribusi yang signifikan kepada pihak-pihak terkait khususnya pembuat
kebijakan di sektor, usaha mikro, kecil dan menengah.
1.2 Identifikasi masalah
Hasil studi Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
menunjukkan bahwa usaha mikro memiliki permasalahan yang dapat diidentifikasikan
sebagai berikut :
a. Sistem pembukuan yang relative sederhana dan cenderung mengikuti kaidah
administrasi standar, sehingga datanya tidak up to date. Hal tersebut mengakibatkan
sulitnya menilai kinerja usaha mikro.
b. Margin usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat ketat
c. Modal terbatas
d. Pengalaman manajerial perusahaan terbatas.
e. Skala ekonomi yang terlalu kecil sehingga sulit mengharapkan penekanan biaya
untuk mencapai efesiensi yang tinggi.
f. Kemampuan pemasaran, negosiasi dan diversifikasi pasar yang terbatas.
g. Kemampuan untuk memperoleh sumber dana dari pasar modal yang rendah, karena
keterbatasan sistem administrasi.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
15
1.3 Tujuan dan manfaat
Kajian ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui profil usaha mikro di Indonesia
b. Mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh usaha mikro
c. Menyusun model pengembangan usaha mikro yang bersifat aplikatif.
Manfaat
Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi yang aplikatif
dalam rangka merumuskan kebijakan pengembangan usaha mikro pada khususnya
dan pemberdayaan UMKMK pada umumnya.

II. KERANGKA PIKIR
2.1 Landasan teori
Usaha mikro mempunyai peran yang penting dalam pembangunan ekonomi,
karena intensitas tenaga kerja yang relatif lebih tinggi dan investasi yang lebih kecil,
sehingga usaha mikro lebih fleksibel dalam menghadapi dan beradaptasi dengan
perubahan pasar. Hal ini menyebabkan usaha mikro tidak terlalu terpengaruh oleh
tekanan eksternal, karena dapat mengurang impor dan memiliki kandungan lokal yang
tinggi. Oleh karena itu pengembangan usaha mikro dapat memberikan kontribusi pada
diversifikasi ekonomi dan perubahan struktur sebagai prakondisi pertumbuhan ekonomi
jangka panjang yang stabil dan berkesinambungan. Disamping itu tingkat penciptaan
lapangan kerja lebih tinggi pada usaha mikro dari pada yang terjadi di perusahaan
besar.
Dengan mempertimbangkan kelangkaan modal dalam negeri dan tingginya pertumbuhan
angkatan kerja yang berlanjut, maka perkembangan usaha mikro merupakan elemen
kunci dalam setiap strategi penciptaan lapangan kerja dalam negeri. Daya saing ekonomi
nasional dipengaruhi oleh daya saing dan kondisi usaha mikro. Sebagai pemasok input,
komponen dan jasa, usaha mikro mempengaruhi daya saing perusahaan besar, termasuk
investor asing yang dapat menciptakan peluang pasar usaha mikro. Dengan demikian
pengembangan usaha mikro merupakan elemen terpadu dalam strategi daya saing
nasional dan terkait erat dengan kebijakan promosi dan investasi. Di Indonesia terutama
didaerah pengembangan usaha mikro menjadi kunci dalam usaha mengatasi kemiskinan
dan pembangunan ekonomi daerah yang lebih berimbang.
2.2 Kerangka pikir
Salah satu sifat usaha mikro adalah kemampuannya untuk beradaptasi terhadap
perubahan kondisi perekonomian dunia dibandingkan dengan perusahaan besar, oleh
karenanya usaha mikro akan cenderung lebih diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
16
yang dinamis. Lingkungan terbaik untuk pengembangan bisnis usaha mikro adalah
suatu lingkungan dimana pasar untuk input dan output berfungsi secara efektif dalam
menyediakan berbagai jasa yang memungkinkan pertumbuhan bisnis. Dalam lingkungan
ini, pemerintah seyogyanya terfokus pada fungsi intinya secara efisien dari pada
membuat distorsi dalam pasar. Pengalaman baru diberbagai negara industri menunjukan
bawa kebijakan deregulasi telah berhasil mendorong pertumbuhan lapangan kerja,
lingkungan yang kondusif dan kompetitif bagi usaha mikro yang berperan sebagai motor
pengerak penyesuaian dan perubahan struktural.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian
Daerah/ provinsi yang menjadi obyek penelitian adalah : Nusa Tenggara Barat.
Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.
3.2. Ruang lingkup kajian meliputi:
a. Mengidentifikasi kondisi usaha mikro,(fokus kajian pada usaha mikro yang bergerak
pada usaha tanaman pangan semusim dan aspek perdagangan).
b. Mengidentifikasi masalah yang dihadapi usaha mikro dalam pengembangan
usahanya
c. Mengidentifikasi dukungan perkuatan bagi perkembangan usaha mikro dengan
mengkaji alternatif sumber pembiayaan lainnya (misal modal syariah, dan modal
ventura).
3.3 Prosedur Penelitian
Kajian ini dilaksanakan dengan methode survey dan diskusi daerah. Data primer
diperoleh dari data lapang dengan cara wawancara menggunakan daftar pertanyaan,
serta diskusi daerah. Data sekunder diperoleh dari berbagai referensi, laporan hasil
penelitian, dan dokumen dari berbagai instansi terkait. Pengolahan data dengan cara
tabulasi , sedang analisa data menggunakan analisa deskriptif sederhana.
Bagan1 . Prosedur Penelitian
Data Primer
Data Lembaga
Penelitian
Data-data
Untuk analisis
Data Sekunder
Data
Instansi terkait
1. Data Kualitatif
2. Data Kuantitatif
Data Lapang dari
wawancara dan
diskusi /lokakarya
di 8 provinsi
Data Kuantitatif
Data Kualitatif
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
17
Tahun
Sektor
2000 2001 2002 2003
Pertanian
Industri
Perdagangan
Lain-lain
11,6
5
15
3
11,8
5,2
16,1
3
12,2
5,8
16,9
4,4
12,5
6,5
18
4,8
T o t a l 34,6 36,1 39,3 41,8
Sumber : BPS
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Usaha Mikro Di Daerah Penelitian
Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2003 sekitar 97 % dari seluruh
perusahaan di Indonesia Merupakan Usaha Mikro, yaitu 41,8 juta dengan kontribusi
terhadap PDB sebesar 30 % dengan tenaga kerja 71,44 juta, sementara keseluruhan
usaha mikro, kecil dan menengah sebanyak 42,5 juta usaha dengan kontribusi terhadap
PDB sebesar 57 %. Adapun yang dimaksud dengan usaha mikro menurut Keputusan
Menteri Keuangan nomor 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003 adalah:
q Usaha produktif milik keluarga atau perorangan
q Penjualan maksimal Rp 100 juta pertahun
q Kredit yang diajukan maksimal Rp 50 juta
Tabel 1 .Perkembangan Usaha Mikro Nasional Persektor Usaha
(dalam juta unit)
Dari data tersebut ditunjukkan, bahwa secara nasional usaha mikro di Indonesia selama
4 tahun mengalami peningkatan sebesar 7,2% atau rata-rata 2,4%. Usaha mikro
yang berjumlah 41,8 juta usaha tersebut kebanyakan berkonsentrasi di subsektor
perdagangan yaitu sebanyak 18 juta selanjutnya pertanian 12,5 juta industri 6,5 juta
dan lain-lain 4,8 juta.
Adapun sebaran usaha mikro, kecil, menengah di daerah penelitian adalah sebagai
berikut:
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
18
Provinsi Usaha Mikro Usaha Kecil
Usaha
Menengah
Jumlah Usaha
Mikro, kecil, dan
menengah
1 2 3 4 5
1. Sumbar
2. Sumsel
3. Kalsel
4. Kalbar
5. Sulsel
6. Sulut
7. Jatim
8. NTB
1.525.324
1.700.205
896.530
785.760
1.723.254
755.650
2.082.350
625.360
44.606
119.014
162.019
275.230
316.365
132.105
400.445
153.137
5.070
6.056
2.011
8.370
20.335
2.245
40.655
1.503
1.575.250
1.825.275
1.050.560
1.058.360
2.950.054
890.350
3.253.450
780.000
Sumber : BPS
Tabel 2. Sebaran Usaha Mikro, Kecil, Menengah di Daerah Penelitian
Pulau Jawa mendominasi jumlah usaha mikro nasional, sedangkan jumlah usaha mikro
berdasarkan sektor dan daerah-daerah kajian ditunjukkan data seperti terlihat pada
tabel berikut:
Tabel 3 Komposisi Usaha Mikro berdasarkan Subsektor Usaha
Provinsi Pertanian Industri Perdagangan Lain-lain
1 2 3 4 5
1. Sumbar
2. Sumsel
3. Kalsel
4. Kalbar
5. Sulsel
6. Sulut
7. Jatim
8. NTB
25.341
50.025
46.530
85.760
223.24
155.950
602.350
25.025
550.350
650.020
349.176
224.150
550.002
210.925
800.238
200.360
900.150
900.076
465.804
465.337
869.773
380.190
1.501.998
390.064
49.501
29.914
35.020
10.513
80.225
90575
99.763
9.011
Sumber : BPS

4.2. KEBIJAKAN USAHA MIKRO DAN PENYALURAN KREDIT MIKRO DI DAERAH
PENELITIAN
Berbicara tentang usaha mikro tentu tidak terlepas dengan kredit mikro. Pengertian
dari kredit mikro sangat terkait dengan pengertian usaha mikro. Secara universal
pengertian kredit mikro antara lain diantaranya: Adalah definisi yang dicetuskan dalam
pertemuan The world Summit on Microcredit di Washington pada tanggal 2-4 Februari
1997 adalah program/kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
19
masyarakat miskin untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan, pemberian
pinjaman untuk mengurus diri sendiri dan keluarganya.
Definisi kredit mikro di atas bukanlah harga mati, tentu saja definisi yang lebih luas
tentang kredit mikro tergantung dari masing-masing negara. Namun pada dasarnya
ada beberapa kriteria dasar dalam menjalankan program kredit mikro yang meliputi:
Tabel 4. Kriteria dasar Program Kredit Mikro
Ada beberapa model kredit mikro baik di Indonesia maupun di mancanegara. Model
KRITERIA BESARAN KETERANGAN
1. Ukuran
2. Kelompok Sasaran
3. Penggunaan
4. Waktu dan Persyaratan
· Pinjaman kecil atau sangat kecil
· Pengusaha kecil (sektor informal)
· Keluarga berpendapatan rendah
· Meningkatkan pendapatan
· Pengembangan usaha
· Kegiatan sosial (kesehatan,
pendidikan)
· Fleksibel
· Disesuaikan dengan kondisi
persyaratan
Misalnya di
kebanyakan kelompok
informal/paguyuban
pinjaman antara Rp
200.000 s.d. 1.000.000
Sumber : bank Indonesia
kredit mikro yang ada di Indonesia dirancang dan digulirkan pemerintah antara lain :
Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Usaha keluarga Sejahtera (KUKESRA), Badan Usaha
Unit Desa (BUUD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring
Pengaman Sosial (JPS), Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis
Ekonomi (PDMDKE). Adapun program kredit mikro yang non pemerintah adalah :
arisan, bank plecit, rentenir, koperasi simpan pinjam, dan beberapa model kredit mikro
yang digagas dan diselenggarakan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
diantaranya yang diselenggarakan oleh YPM Kesuma Multiguna, Bina Swadaya, YPWI,
dan beberapa Lembaga Pengabdian Masyarakat Perguruan Tinggi.
Sedangkan model kredit mikro mancanegara antara lain adalah Grameen Bank di
Bangladesh, SEWA Bank di India, Bank for Agricultural Cooperatives (BAAC) di Thailand,
Rottating Savings and Credit Associations (ROSCAs) hampir ada di setiap negara
dengan berbagai nama dan kegiatan. ROSCAs di Indonesia contohnya adalah arisan,
andilan, dan julo-julo.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
20
4.3. Pemanfaatan Dana Perbankan oleh Usaha Mikro
Dari hasil kajian dan data BPS (2000) ditunjukkan bahwa meskipun kebijakan dan
program pemberdayaan UKM khususnya : mendorong komitmen perbankan untuk
melayani usaha kecil dan mikro dengan mewajibkan seluruh bank menyalurkan 22,5 %
sampai 25 % dari total kreditnya untuk usaha kecil dan meningkatkan plafon kreditnya
dari Rp 250 juta menjadi Rp 350 juta, ternyata hanya sebagian kecil dari industri kecil
(IK) dan industri rumah tangga (IRT) yang memanfaatkan dana perbankan untuk menutupi
kekurangan modalnya. Industri kecil yang memanfaatkan pinjaman modal dari bank
baru 37,4 % , sedang industri rumah tangga baru 8,6 %. IK dan IRT lebih banyak
memanfaatkan tambahan modal dari pihak-pihak lain seperti koperasi, modal ventura,
lembaga non bank , keluarga, perorangan, dan lainnya. Rendahnya persentase IK dan
IRT memanfaatkan dana perbankan karena sulit memenuhi persyaratan perbankan,
birokrasi, dan prosedur yang cukup rumit.
4..4. Hasil analisis SWOT usaha mikro di Indonesia ditunjukkan:
4.4.1 Strenght (keunggulan)
Usaha Mikro memiliki keunggulan komparatif :
a. Usaha Mikro beroperasi menebar di seluruh pelosok dengan berbagai ragam bidang
usaha;
b. Usaha Mikro beroperasi dengan investasi modal untuk aktiva tetap pada tingkat
yang rendah;
c. Sebagian besar Usaha Mikro dapat dikatakan padat karya (labour intensive)
d. Hubungan yang erat antara pemilik dan karyawan menyebabkan sulitnya terjadi
PHK (Pemutusan Hubungan kerja).
4.4.2 Weakness (kelemahan)
a. Pemasaran (permasalahan persaingan pasar dan produk; permasalah akses
terhadap informasi pasar, dan permasalahan kelembagaan pendukung usaha mikro
b. Permodalan
c. Marjin Usaha yang cenderung tipis mengingat persaingan yang sangat tinggi
d. Kemitraan
e. Sumberdaya Manusia. Struktur organisasi dan pembagian kerja/ tugas kurang
atau tidak jelas, bahkan sering mengarah pada one man show. Sulit mencari dan
mempertahankan tenaga kerja atau pegawai yang memiliki loyalitas, disiplin,
kejujuran, dan tanggung jawab yang cukup tinggi. Kemampuan manajerial
perusahaan masih lemah.
f. Keuangan. Belum mampu memisahkan manajemen keuangan perusahaan dan
rumah tangga. Belum mampu melakukan perencanaan, pencatatan serta pelaporan
keuangan yang rutin dan tersusun baik
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
21
4.4.3 Opportunity
a. Ketika dunia terpadu secara ekonomi, bagian komponen-komponennya menjadi
lebih banyak, lebih kecil, dan lebih penting. Secara serentak ekonomi global
berkembang, sementara ukuran bagian-bagiannya menyusut. Makin besar dan
terbuka ekonomi dunia, akan makin besar peran usaha-usaha mikro (John Naisbitt,
Global paradox)
b. Perusahaan Multinasional (MNC) cenderung melakukan desentralisasi manajemen
yang dikelola secara otonom dalam unit-unit yang lebih kecil yang memberikan
kesempatan usaha mikro untuk aktif
c. Perbaikan akses pasar dan penghapusan Multifiber Arrangement (MFA)
kesepakatan GATT, yang mana dari jenis-jenis produk tersebut baik pertanian
maupun produk-produk dalam rangka MFA pada dasarnya merupakan barangbarang
yang diproduksi oleh usaha mikro
4.4.4 Threat
a. Dalam persaingan global dan kelonggaran pasar akan mengundang para pesaing
dari sesama negara berkembang, sehingga dapat diduga persaingan harga akan
menjadi lebih ketat, sama seperti persaingan non harga.
b. Hanya perusahaan yang efisien dan produktif yang mampu memanfaatkan peluang
tersebut. Padahal usaha mikro belum mampu mempertahankan kualitas produk,
memiliki jaringan pemasaran terbatas, kesulitan menjaga kesinambungan delivery
(pengiriman), serta lemah dalam promosi.
4.5. Faktor- faktor yang masih menjadi kendala dalam peningkatan daya saing
dan kinerja usaha mikro antara lain:
1. Lemahnya sistem pembiayaan dan kurangnya komitmen pemerintah bersama
legislatif terhadap dukungan permodalan usaha mikro sehingga keberpihakan
lembaga-lembaga keuangan dan perbankan masih belum seperti diharapkan;
2. Kurangnya kemampuan usaha mikro untuk meningkatkan akses pasar, daya saing
pemasaran, serta pemahaman regulasi pasar baik pasar domestik maupun pasar
global;
3. Terbatasnya informasi sumber bahan baku dan panjangnya jaringan distribusi,
lemahnya kekuatan tawar-menawar khususnya bahan baku yang dikuasai oleh
pengusaha besar, mengakibatkan sulitnya pengendalian harga;
4. Belum tercapainya blue print platformteknologi dan informasi yang meiputi masalah
regulasi, pembiayaan, standarisasi, lisensi, jenis tekologi tepat guna, dan fasilitas
pendukung teknologi kerja yang mampu digunakan sebagai keunggulan bersaing;
5. Masih rendahnya kualitas SDM yang meliputi aspek kompetensi, keterampilan,
etos kerja, karakter, kesadaran akan pentingnya konsistensi mutu dan standarisasi
produk dan jasa, serta wawasan kewirausahaan;
6. Proses perijinan badan usaha, paten, merk, hak cipta, investasi, ijin ekspor impor
yang masih birokratis dan biaya tinggi serta memerlukan waktu yang panjang;
7. Keberadaan jasa lembaga penjamin, asuransi, dan jasa lembaga keuangan non
bank lainnya masih belum mampu melayani usaha mikro secara optimal;
8. Tidak berfungsinya secara baik lembaga promosi pemerintah di dalam menunjang
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
22
promosi produk dan jasa usaha mikro baik untuk pasar domestik maupun pasar
global.
4.6 Hambatan pasar usaha mikro, yang ditemukan dari kajian ini yaitu;
1) Distorsi segmen pasar bawah karena penyediaan berbagai jasa pembinaan yang
bebas biaya oleh pemerintah dan para donor
2) Penyediaan jasa yang tidak memadai
3) Kelangkaan modal kerja dan pendanaan
Untuk mengatasi hambatan ini, diusulkan penggunaan instrumen sebagai berikut;
1) Skema voucher, untuk mendukung usaha mikro saat pasca pendirian dan formalisasi
usaha.
2) Skema matching grant untuk diagnostik usaha dan pengembangan strategi usaha
jangka menengah.
3) Skema matching grant untuk pengembangan produk dan proses kerjasama
penelitian dan pengembangan.
4) Skema matching grant untuk riset pasar input dan output.
4.7. Strategi Umum Pengembangan Usaha Mikro .
Kebijakan pengembangan usaha mikro yang efektif hendaknya dilakukan secara
lebih luas dan terpadu, bukan hanya sekedar membuat daftar program dukungan finansial
dan teknis yang berdiri sendiri tanpa adanya kaitan antara satu dengan yang lain.
Kebijakan pengembangan usaha mikro memerlukan pengkajian dan reorientasi peran
pemerintah dalam banyak aspek. Kebijakan pemerintah yang baik merupakan salah
satu isu sentral dalam pengembangan usaha mikro yang berkesinambungan, untuk itu
perlu penyempurnaan kebijakan pengembangan usaha mikro oleh pemerintah.
Pengaturan pemerintah dan implementasinya sangat mempengaruhi akses usaha mikro.
Ketidakpastian hukum akan membuat distorsi dalam pengambilan keputusan akan
menyulitkan pengembangan usaha mikro terutama dalam menghadapi pasar yang
berkembang dengan dinamis.
Langkah-langkah khusus untuk mempromosikan usaha mikro hanya akan
merupakan hal yang semu saja jika tidak dilakukan secara terpadu. Ada beberapa
bidang kebijakan prioritas yang perlu dilakukan perbaikan antara lain; penciptaan dan
pemeliharaan stabilitas ekonomi makro, reformasi sistim peradilan, serta alih peran
penting dalam pengembangan usaha kecil..
Pemerintah dalam mengembangkan usaha mikro perlu menerapkan kebijakan
dan program secara transfaran dan bertanggung jawab. Stimulasi yang diberikan untuk
meningkatkan daya saing secara teknis maupun finansial dinilai tidak dapat langsung
mengatasi hambatan-hambatan eksternal maupun internal yang dialami oleh sebagian
besar atau bahkan seluruh usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia. Sebaiknya
peran pemerintah adalah menciptakan insentif dan iklim yang kondusif agar usaha
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
23
mikro mampu menghadapi persaingan. Secara praktis, hal ini berarti membangkitkan
upaya untuk menghilangkan monopoli dan menghapuskan berbagai hambatan
perdagangan dalam negeri dan internasional. Dengan meningkatnya peluang bisnis
dan akses kepada sumberdaya produktif akan meningkatkan daya saing dan
kemampuan berwiraswasta. Instrumen pengaturan juga perlu melihat pada standarisasi
dan sertifikasi, serta piranti tidak langsung seperti peningkatan akses informasi dan
pelatihan yang relevan.
Pengembangan usaha mikro secara terpadu untuk meningkatkan daya saing
dan akses usaha mikro ke sumberdaya produktif perlu dilakukan melalui kebijakan
bidang: pengembangan infrastuktur, pembangunan daerah, komunikasi serta angkutan,
riset terapan dan pendidikan, promosi, perdagangan dan investasi. Otonomi daerah
juga menyebabkan peran dan tugas pemerintah kabupaten/kota dan propinsi lebih
meningkat , sehingga masih perlu kajian lebih lanjut untuk melihat labih jauh tentang
peran dan fungsi pemerintah pusat dan daerah untuk mengetahui batas peran dan
fungsi masing-masing serta mencegah terciptanya peraturan yang menghambat
perdagangan antar daerah. Disamping itu penyediaan informasi yang konsisten,
komprehensif dan terintegrasi untuk pengambilan kebijakan politik dan bisnis masih
perlu ditingkatkan.
4.8 Fasilitasi koordinasi melalui skema pembiayaan bersama.
Pendekatan baru yang dilakukan dalam pengembangan usaha mikro dan klaster di
daerah ialah pengenalan skema pembiayaan bersama (cost sharing). Melalui konsep
ini belanja daerah dapat dialihkan atau dialokasikan misalnya 40 % dan pusat
menyediakan kekurangan lainnya atau menyediakan insentif bagi stakeholder. Dengan
pembiayaan bersama ini pemerintah pusat mendapat keuntungan, karena pusat dapat
memperoleh akses langsung ke berbagai sistem dan memahami strategi yang
dikembangkan oleh daerah. Skema pembiayaan bersama didaerah akan dilengkapi
dengan matching grant scheme untuk mendukung asosiasi bisnis nasional dalam
mengembangkan inteligence pasar dalam negeri. Dalam rangka pengembangan konsep
ini memerlukan perhatian khusus dalam hal pemantapan koordinasi antara lain karena
(a). Saat ini lebih dari 15 Kementerian dan Lembaga Nasional terkait dalam
pengembangan UKM khususnya usaha mikro dan (b). Sekurangnya tiga lembaga
membawa mandat tumpang tindih dalam kebijakan koordinasi usaha mikro. Koordinasi
dalam pengembangan usaha mikro sampai saat ini belum mampu dijalankan secara
efektif dan terpadu.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pengembangan usaha mikro merupakan program nasional yang memiliki peranan
yang strategis karena merupakan bagian integral dari upaya pemerataan hasilhasil
pembangunan.
2. Dalam rangka membantu meningkatkan kemampuan pengusaha mikro diperlukan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
24
pembinaan secara terpadu dari semua unsur terutama dinas-dinas terkait agar
usaha mikro dapat berkembang secara berkesinambungan yang akan berdampak
pada peningkatan perekonomian daerah dan perekonomian nasional .
3. Masih perlu dikembangkan upaya untuk meningkatkan akses usaha mikro, kepada
bank dengan cara :
a. Mengembangkan sistim kelembagaan perbankan, Bank besar harus menjadi
lokomotif yang dapat mengandeng bank-bank kecil( BPR) agar dapat
meningkatkan pelayanan kepada pengusaha mikro di daerah.
b. Penyederhanaan formulir dan sarana pendukung lainya untuk memberikan
kemudahan dalam prosedur perkreditan.
c. Memanfaatkan keberadaan otonomi daerah untuk menciptakan pola
kerajasama antara dinas/instansi terkait dan lembaga penjamin untuk
memperluas pembiayaan ke sektor usaha strategis yang berdampak luas.
d. Selama ini usaha mikro tidak mampu mengakses kredit kepada bank untuk
itu diperlukan adanya :
q Lembaga pendamping dalam proses untuk mengakses dana
q Informasi potensi pembiayaan sektor usaha yang diketahui bank.
Dengan upaya tersebut diharapkan akan dapat meningkatkan usaha mikro secara
optimal.
4. Untuk meningkatkan keuangan usaha mikro yang disarankan :
1) Memperbaiki akses dari pengusaha mikro kepada layanan keuangan dari
bank
2) Meningkatkan efesiensi dan jangkauan dari dukungan dan layanan pemerintah
dalam pemberdayaan keuangan pengusaha mikro, kecil, menengah dan
Koperasi.
3) Memperluas akses dari pengusaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi
ke layanan keuangan alternative dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM ).
4). Kredit Program agar difokuskan pada sektor yang tidak dapat dilayani oleh
bank umum,
5) Mengkaji ulang peraturan Bank Indonesia tentang agunan, pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva (PPAP) dinilai mempunyai dampak yang negartif terhadap
akses usaha mikro pada kredit komersial.
6) Penjaminan kredit agar diperluas dan diperbesar jumlahnya
7) Subsidi dan dukungan pemerintah bisa diperuntukkan:
q untuk menyediakan fee/marjin pengelolaan kepada bank penyalur
q mengambil alih resiko serta biaya yang berhubungan dengan pemindahan
dana jangka pendek atau mata uang asing kepada kredit rupiah jangka panjang.
q Subsidi suku bunga hendaknya jangan diberikan tanpa disertai dengan tujuan
dan kriteria yang jelas.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
25
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 1992. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992.
Departemen Koperasi dan UKM, Jakarta
Anoraga, Pandji, SE, MM dan Sudantoko, Djoko, S. Sos, MM. 2002 Koperasi
Kewirausahaan, dan Usaha Kecil. Rineka Cipta, Jakarta
Cheston, Suzy dan Kuhn, Lisa, 2002. Measuring Transformation: Assessing and
Improving the Impact of Micro Credit. Washington D.C. Microcredit
SummitCampaignhttp:/www.microcreditsummit.org/papers/impactpaper.htm
Hanson, Ward, 2000. Pemasaran Internet. Edisi Keempat, South Western College
Publishing, Singapura, 2000.
Hitt, Michael A, Ireland, R. Duane, Hosjisson, Robert, Robert E, 2001. Manajemen
Strategis: Daya Saing dan Globalisasi. Edisi Keempat, South Western
College Publishing, Singapura, 2001.
Hubies, M. 1997. Menuju Industri Kecil Profesional di Era Globalisasi Melalui
Pemberdayaan Manajemen Industri (Buku Orasi Guru Besar). Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Iwantono, Sutrisno. 2002. Kiat Sukses Berwirausaha: Strategi Baru Mengelola Usaha
Kecil dan Menengah, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta 2002
Hollah, Detlev. ProFI Microfinance Institution Study. SMERU Working Paper.
Denpasar, Maret, 2001.
Nasution, M.1999. KOPERASI: Pemikiran dan Peluang Pembangunan Masa
Depan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Sebstad, Jennefer, Juni 1998. Toward Guidelines for Lower-Cost Impact Assessment
Methodologies for Microenterprise Programs. Discussion Paper for the
Second Virtual Meeting of the CGAP Working Group on Impact Assessment
Methodologies. Washington, D. C. USAID AIMS
Wijaya, Kresna. 2002. Kumpulan Pemikiran: Analisis Pemberdayaan Usaha Kecil.
Pustaka Wirausaha Muda, Bogor

Review Jurnal Ekonomi Koperasi 4

 

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:

1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)

Review jurnal koperasi
PEMBERDAYAAN KOPERASI USAHA KECIL DAN
MENENGAH DALAM MEMANFAATKAN HAK
KEKAYAAN INTELEKTUAL
Idham Bustamam*

Abstrak
Empowerment of Cooperatives and SMEs in this study, was nothing but
wanting to know in the field clearly, how did cooperatives and SMEs Utilize
Intellectual Property Rights, and how far did the government give promotion to
the institute concerned, so that information received by the cooperatives and
SMEs from the same enterprises. Low interest to utilize Intellectual Property
Rights makes also low interest to register their enterprise and unwilling to pay the
cost outside the business. Responden are eager to wait for promotional
information on Intellectual Property Rights from the Government or other
agencies concerned.
Kata kunci : “Perlu Penyuluhan”

I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam era globalisasi sekarang ini, untuk dunia perdagangan
internasional batas negara boleh dikatakan hamper tidak ada lagi, karena
setiap negara telah menyepakati kesepakatan internasional di bidang
perdagangan seperti WTO, APTA, APEC dan lain sebagainya harus
tunduk kepada kesepakatan tersebut. Dengan demikian setiap negara
tidak dapat lagi melindungi perekonomiannya dengan kebijakan tarif
maupun fiskal melebihi kesepakatan yang telah diterapkan. Termasuk
diantaranya pemberian perhatian khusus terhadap perlindungan pada hak
kekayaan Intelektual (HaKI) yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian
(Agreement Establishing The Word Trade Organization) yaitu salah satu
persetujuan di bawah WTO berupa perjanjian atau persetujuan mengenai
aspek-aspek dagang yang terkait dengan hak kekayaan intelektual,
termasuk perdagangan palsu (Agreement on the Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights atau persetujuan TRIP’s, Including Trade in
Counferfeit Goods). Indonesia telah mengikrarkan ikut dalam organisasi
perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) dengan
mengesahkan keikutsertaannya dalam Undang-Undang No.7 Tahun
1997.
Dalam era tersebut persaingan yang terjadi adalah persaingan antar
produsen ataupun perusahaan dan bukan lagi antar negara. Siapa yang
dapat bekerja lebih professional dan efisien itulah yang keluar sebagai
pemenang dan dapat eksis di pasar.
* ) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
2
Koperasi, usaha kecil dan menengah yang telah terdaftar dan
mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual antara lain : CV. Hadle
(garmen) di Cempaka Putih dengan merek “Supramanik”, Atikah
(garmen) di Jawa dengan merek “Dewi Bordir”, PT. Lembaga Kencana
(susu sapi) di Bandung dengan merek “Lambang Kencana”, dan Endjang
Dudrajat (peti antik) di Jawa Barat dengan merek “Pramanik”.
Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil lebih
memberikan leluasa gerak dari usaha kecil. Pada pasal 12/1995
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek perizinan usaha
sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (1) huruf f dengan menetapkan
Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan untuk:
1). Menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan dengan
mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap;
2). Memberikan kemudahan persyaratan untuk memperoleh perizinan.
Di bidang Perkoperasian Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, pasal 61 menyebutkan antara lain: “Dalam upaya
menciptakan dan mengembangkan iklim kondusif yang mendorong
pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi, Pemerintah :
1). Memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada
Koperasi;
2). Meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar menjadi
Koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri;
3). Mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan
antara Koperasi dengan badan usaha lainnya;
4). Memberdayakan Koperasi dalam masyarakat.
Berbagai kebijakan tersebut diatas mengindikasikan pemerintah
sangat peduli akan tumbuh dan berkembangnya Koperasi dan Usaha
Kecil dengan melindungi dan memberikan iklim, baik untuk Koperasi
dan Usaha Kecil. Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang merek pertama kali dikenal dengan di undangkannya Undang-
Undang No. 21 Tahun 1961 tentang “Merek Perusahaan dan
Perniagaan”. Undang-Undang ini dikenal dengan sebutan undangundang
merek dan merupakan perubahan tentang ketentuan yang
mengatur tentang merek sejak zaman kolonial dahulu yang disebut
“Reglement Industrial Eigendom Kolonial”. Undang-Undang No. 21
Tahun 1961 menganut sistem “Deklaratif” dengan pengertian bahwa
perlindungan hukum terhadap hak atas merek yang diberikan kepada
pemakai merek pertama. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut
dirasakan masih kurang tepat karena belum menggambarkan/mengikat
kepastian hukum, oleh karena itu pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang baru No. 19 Tahun 1992 tentang merek. Ada perbedaan yang
sangat menyolok pada Undang-Undang No.19 Tahun 1992 menganut
sistem “Konstitutif” yang lebih menjamin kepastian hukum karena
perlindungan hukum hak atas merek diberikan kepada pendaftar
pertama.
Tahun 1997 oleh Pemerintah dikeluarkan Undang-Undang No. 14
Tahun 1997 sebagai penyesuaian Undang-Undang No. 19 tahun 1992,
3
yang mengatur tentang merek dagang dan jasa, kemudian diatur lagi
Undang-Undang merek yang khusus pada UU Merek No. 15 Tahun
2001.
Perkembangan perdagangan dunia internasional yang semakin
cepat, menuntut kesepakatan dan komitmen terhadap pengurangan
segala hambatan-hambatan perdagangan dunia internasional di berbagai
aspek tetapi menjunjung tinggi azas legalitas yang telah disepakati
bersama.
2. Rumusan Masalah
Kalau dilihat dari judul penelitian, maka dapatlah diidentifikasi
permasalahan sebagai berikut :
1). Sejauhmana sebenarnya minat dari Koperasi, Usaha Kecil dan
Menengah untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
2). Sejauhmana pemberian penyuluhan-penyuluhan HaKI oleh lembagalembaga
pemerintah yang terkait.
3). Sejauhmana hambatan-hambatan yang dihadapi Koperasi, Usaha
Kecil dan Menengah selaku pemanfaat HaKI.

3. Tujuan dan Manfaat
1). Tujuan
Tujuan dari penelitian ini dapat disampaikan antara lain :
- Seberapa minat untuk memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual
(HaKI) bagi Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah.
- Faktor-faktor penyebab kurang minatnya untuk memanfaatkan
Hak kekayaan Intelektual (HaKI) bagi koperasi, Usaha Kecil dan
Menengah.
2). Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lembaga, dinas
terkait, serta KUKM sebagai bahan penyusunan rencana kebijakan
yang akan datang.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian meliputi :
1). Gambaran produk-produk yang dihasilkan KUKM
2). Langkah-langkah operasional yang telah dilakukan instansi, dinas
yang menangani HaKI
3). Faktor-faktor penghambat dalam mendapatkan HaKI oleh Koperasi,
Usaha Kecil dan Menengah.

II. KERANGKA PEMIKIRAN
Arti penting HaKI adalah :
1. “Sebagai suatu sistem, HaKI sebagai sarana pemberian hak kepada
pihak-pihak yang memenuhi persyaratan dan memberikan perlindungan
bagi para pemegang hak dimaksud; dan
2. HaKI adalah alat pendukung pertumbuhan ekonomi sebab dengan
adanya perlindungan terhadap HaKI akan terbangkitkan motivasi
4
manusia untuk menghasilkan karya intelektual”. (UU Hak Cipta, Paten
& Merek, 2001).
1. Merek
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia tentang PATEN
dan MEREK Tahun 2001, khusus untuk merek diatur oleh Undangundang
Merek Nomor 15 Tahun 2001.
Yang dimaksud “Merek” adalah tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi
dari unsur-unsur tersebut memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa”.
Merek merupakan karya intelektual yang menyentuh kebutuhan
manusia sehari-hari dalam melengkapi hidupnya misal saja untuk
makanan, minuman dan keperluan sekunder seperti TV, radio, kulkas,
AC dan alat rumah tangga lainnya. Selain sebagai tanda yang mudah
dikenal pelaku konsumen juga dapat memberikan jaminan bagi kualitas
barang jasa apabila para konsumen sudah terbiasa menggunakan merek
tertentu untuk kebutuhannya.
Perlindungan hukum bagi pemilik merek tidak hanya dapat
dipandang dari aspek hukum saja, tetapi perlu dipandang dari aspek
ekonomi dan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam Undangundang
Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 90 berbunyi; “Barang siapa
dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama atau
keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
2. Sosialisasi Mendapatkan HaKI
Untuk meningkatkan kesadaran tentang HaKI sangat perlu
dilakukan sosialisasi pada masyarakat. Penilaian komersial patut
dihargai bagi seseorang yang telah maju dalam berbisnis. Nilai
komersial bisa hilang apabila usaha tersebut tidak diikat erat-erat dengan
ketentuan perundang-undangan. Di Indonesia kelihatannya HaKI kurang
diminati oleh pelaku bisnis, karena kurangnya penyuluhan, kurangnya
pembinaan pemerintah bagi usaha yang telah mulai baik jalannya. Hal
tersebut disebabkan kultur masyarakat yang beranggapan
memperbanyak karya intelektual dengan mempromosikan karya tersebut
tidak perlu otorisasi, ada yang beranggapan tanpa HaKI barang/produk
juga terjual, dan biaya administrasi tinggi berarti menambah beban usaha
saja. Persepsi yang keliru di kalangan masyarakat khususnya pengusaha
tersebut perlu segera diluruskan dan diperbaiki dengan memberikan
pengertian-pengertian yang jelas tentang HaKI.
Tujuan sosialisasi dibidang HaKI adalah untuk meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat mengenai sistem HaKI nasional maupun
internasional termasuk dalam hal merek.
5
3. Sengketa Merek Bagi Pelaku Bisnis
Sengketa merek sering terjadi bagi pengusaha yang usahanya
sudah maju dan berkembang dengan baik dengan merek dagang dikenal
oleh seluruh lapisan masyarakat, dimana merek dagangnya telah
dipalsukan oleh pengusaha lainnya.
Sengketa penggunaan merek tanpa hak dapat digugat dengan
delik perdata maupun pidana, disamping pembatalan pendaftaran merek
tersebut. Tindak pidana dalam hal merek dapat dibagi 2, yaitu Tindak
Pidana Kejahatan dan Tindak Pidana Pelanggaran.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan :
Pasal 92 ayat 1 : “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi
geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan
barang yang terdaftar, dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

III. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terpilih sampel ada 4 (empat) propinsi yaitu
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan
Lampung. Terpilihnya empat propinsi tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan bahwa informasi dan data diperoleh dapat
mewakili Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang tersebar sampai
pelosok Indonesia. Demikian pula jenis usaha yang akan dilihat beragam
usaha industri rumah tangga, merupakan mata pencaharian tetap bagi
pebisnis kecil, dengan administrasi sangat sederhana, tenaga kerja
setempat (lokal), jam kerja pun belum tentu memenuhi standar yang
ditetapkan pemerintah. Disamping itu pertimbangan lain adalah dana
dan tenaga yang tersedia.
Karakteristik produk dari keempat propinsi sampel antara lain,
Propinsi Kalimantan Selatan terkenal dengan produksi mandau (golok),
tikar lampit rotan, kipas rotan, keranjang rotan, tas dari manik.
Kalimantan Tengah terkenal pula dengan hasilnya seperti anyamanyaman
tikar dari rotan yang disebut tikar lampit dan kursi rotan.
Kalimantan Timur cukup terkenal dengan sarung Samarinda, tas dan
sarung pensil manik, bengkel bubut pembuatan kipas kapal. Propinsi
Lampung kerajinan rumah tangga terkenal dengan pembuatan kopi,
keripik singkong, keripik pisang dan makanan-makanan kecil lainnya.
Dengan memadukan beberapa propinsi yang mempunyai
penghasilan beragam, tentunya akan muncul pendapat responden tentang
minat memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual.
6
2. Populasi Penelitian
Dari empat propinsi yang diteliti maka data-data diambil sebagai
berikut : setiap propinsi 3 kabupaten/kota berarti daerah survey 12
kabupaten/kota. setiap kabupaten/kota diambil datanya 5 koperasi dan 5
usaha kecil dan menengah. Koperasi yang disurvei berjumlah 60
koperasi, dan 60 usaha kecil dan menengah. Jumlah data terkumpul yang
diperoleh 120 koperasi, Usaha Kecil dan Menengah. Data-data yang
telah terkumpul dianalisis untuk mengetahui minat dari pada pembisnis
dalam memanfaatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
3. Penarikan Sampel
Penelitian ini mempergunakan teknik antara lain :
a. Field Work Research
Penelitian langsung ke lapangan tempat obyeknya
(observasi). Dengan cara interview-interview sekaligus mengisi
daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Interview untuk Koperasi
dapat ditujukan pada pengurus koperasi dan manajer koperasi. Bagi
usaha kecil dan menengah interview langsung ditujukan pada
pemilik usaha.
Pada umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam
proses tanya jawab ini, dan masing-masing pihak dapat
menggunakan saluran-saluran komunikasi secara wajar dan lancar.
b. Library Research
Pengamatan deskriptif diperlukan untuk mendapatkan
informasi tentang berbagai permasalahan yang berhubungan dengan
materi penelitian. Teknik tersebut sangat banyak manfaatnya,
memberikan keterpaduan antara teori dengan praktek lapangan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Karakteristik Pengusaha
1). Persepsi Dan Pemanfataan HaKI
Dari hasil survei lapangan diketahui bahwa 100,00%
responden menyatakan pernah mendengar tentang HaKI.
Penyuluhan yang telah diperoleh yaitu, dari instansi terkait
(pembina) hanya 18,75%, melalui media massa 5,00%, dan melalui
pengusaha 76,25%. Pemahaman tentang HaKI, dari responden
yang mengatakan mamahami 30,00%, dan yang tidak paham HaKI
70,00%. Guna kemajuan usaha telah pula diperoleh informasi yang
jelas, bahwa responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap
jalan 75,00%, dan yang mengatakan terhambat jalannya 25,00%
(tabel 1).
7
Tabel. 1 Persepsi Dan Pemanfaatan HaKI
Persentase
Propinsi
Uraian
Kalsel Kalteng Kaltim Lampung
Rata-
Rata
1 2 3 4 5 6
Pernah mendengar
tentang HaKI:
a. Mendengar
b. Tidak
c. Tidak sama sekali
100,00
-
-
100,00
-
-
100,00
-
-
100,00
-
-
100,00
-
Sumber diperoleh tentang
HaKI:
a. Melalui Penyuluhan
b. Melalui mesmedia
c. Melalui rekan di
perusahaan
d. Atas usaha sendiri
Memahami HaKI:
a. Memahami
b. Tidak
c. Tidak sama sekali
Tanpa HaKI:
a. Perusahaan terhambat
b. Perusahaan terhenti
c. Perusahaan jalan
25,00
-
75,00
-
40,00
60,00
-
25,00
-
100,00
-
-
100,00
-
20,00
80,00
-
15,00
-
60,00
30,00
-
70,00
-
30,00
70,00
-
35,00
-
40,00
20,00
20,00
60,00
-
30,00
70,00
-
25,00
-
100,00
18,75
5,00
76,25
-
30,00
70,00
-
25,00
-
75,00
Sumber Data: Hasil Survei (Diolah), Tahun 2005
Dari data-data yang telah diperoleh bahwa penyuluhanpenyuluhan
tentang arti dan pentingnya HaKI perlu ditingkatkan
secara kontinu dari pemerintah.

2). Minat Mendapatkan HaKI
Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah yang mengatakan
berminat mendapatkan HaKI sebesar 2,25%, kurang minat 52,50%,
dan tidak berminat akan HaKI sebesar 45,25%. Kalau
mendapatkan HaKI dalam bentuk paten sebesar 52,50%, dan
bentuk merek 47,50% (tabel 2).
8
Tabel. 2 Minat Mendapatkan HaKI
Persentase
Propinsi
Uraian
Kalsel Kalteng Kaltim Lampung
Rata-
Rata
1 2 3 4 5 6
Minat Mendapatkan
HaKI:
a. Minat
b. Kurang minat
c. Tidak minat
20,00
25,00
63,00
2,50
60,00
37,50
3,00
45,00
52,00
1,50
70,00
28,50
2,25
52,50
45,25
Mendapatkan HaKI
dalam bentuk:
a. Paten
b. Cipta
c. Merek
40,00
-
40,00
60,00
-
60,00
80,00
-
70,00
30,00
-
20,00
52,50
-
47,50
Sumber Data: Hasil Survei (Diolah), Tahun 2005
Para pengusaha mengatakan bahwa belum sepenuhnya tahu
mengurus administrasi HaKI. Disamping itu modal usaha yang
dimiliki masih relatif kecil dengan teknologi sederhana.
3). Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Hasil survei mengatakan bahwa apabila memperoleh HaKI
dipergunakan untuk usaha sendiri sebesar 100,00%. Sedangkan
produk yang akan didaftarkan adalah hasil temuan sendiri 82,50%.
Produk mendapatkan HaKI adalah produk yang tidak memiliki
saingan 77,50%, (tabel 3). Pengusaha sebagai responden, usaha
yang dikelola umumnya usaha turun temurun dan telah ditekuni
berpuluh-puluh tahun.
Tabel. 3 Pemilikan HaKI Dan Produk Usaha
Persentase
Uraian Propinsi
Kalsel Kalteng Kaltim Lampung
Rata-
Rata
Pemilikan HaKI:
a. Untuk sendiri
b. Untuk mitra
c. Untuk orang lain
Produk Usaha:
a. Hasil temuan sendiri
b. Tidak memiliki saingan
100,00
-
-
70,00
80,00
100,00
-
-
100,00
60,00
100,00
-
-
100,00
85,00
100,00
-
-
60,00
85,00
100,00
-
-
82,50
77,50
Sumber Data: Hasil Survei (Diolah), Tahun 2005
9
4). Penyuluhan dan Biaya Mendapatkan Informasi
Sebagian responden HaKI mendapat hambatan dalam
mencari informasinya namun responden tetap menunggu
penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait.
Hasil survei menggambarkan bahwa tidak ada biaya bila
mencari sendiri sebesar 40%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kaltim
30,00%, Kalsel 35,00%, Kalteng 45,00%, dan Lampung 50,00%.
Apabila mencari dan mendengar dari orang lain maka responden
merasa kurang yakin kebenarannya, rata-rata jawaban responden
35,00%. Dapat dirinci sebagai berikut: Kalsel 25,00%, Kalteng
30,00%, Kaltim 45,00%, dan Lampung 40,00%.
Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait
yang berwenang memberikan penyuluhan lebih menguntungkan
menurut responden, rata-rata 33,75%. Adapun rinciannya sebagai
berikut: Kalsel 45,00%, Kalteng 30,00%, Kaltim 20,00%, dan
Lampung 40,00%.
Menunggu penyuluhan dari pemerintah, instansi terkait,
selain jelas penyuluhan diperoleh, dan juga kemudahan
pemanfaatannya, rata-rata responden memberikan pendapatnya
sebesar 55,00%. Adapun rinciannya sebagai berikut: Kalsel
75,00%, Kalteng 35,00%, Kaltim 50,00%, dan Lampung 60,00%,
(tabel 4).
Tabel. 4 Menunggu Penyuluhan
Persentase
Uraian Propinsi
Kalsel Kalteng Kaltim Lampung
Rata-
Rata
Menunggu penyuluhan:
a. Tidak ada biaya
mencari sendiri
b. Kurang yakin
kebenarannya
c. Lebih menguntungkan
d. Selain jelas
mendapatkan
bantuan/kemudahan
35,00
25,00
45,00
75,00
45,00
30,00
30,00
35,00
30,00
45,00
20,00
50,00
50,00
40,00
40,00
60,00
40,00
35,00
33,75
55,00
Sumber Data: Hasil Survei (Diolah), Tahun 2005
10
5). Biaya Pengurusan HaKI
Jumlah biaya yang dikeluarkan untuk mengurus HaKI
cukup besar, dan beragam untuk tiap daerah. Dari daftar
pertanyaan yang disampaikan, seluruhnya menjawab, ya
(100,00%). Untuk administrasi dijawab rata-rata 57,25%, untuk
pendaftaran rata-rata 30,50%, biaya lain-lain di jawab 52,50%
(tabel 5). Kalau dirinci propinsi sampel bahwa memang ada biaya
dikeluarkan, dapat disampaikan jawaban sebagai berikut: Biaya
administrasi daerah responden Kalsel 50,00%, Kalteng 72,00%,
Kaltim 32,00% dan Lampung 75,00%. Biaya pendaftaran Kalsel
50,00%, Kalteng 23,00%, Kaltim 24,00%, dan Lampung 25,00%.
Biaya lain-lain Kalsel 75,00%, Kalteng 55,00%, Kaltim 50,00%,
dan Lampung 30,00%.
Tabel. 5 Biaya Memanfaatkan HaKI
Persentase
Propinsi
Uraian
Kalsel Kalteng Kaltim Lampung
Rata-
Rata
1 2 3 4 5 6
Mendapatkan HaKI
diperlukan biaya:
a. Ya
b. Tidak
100,00
-
100,00
-
100,00
-
100,00
-
100,00
-
Biaya-biaya dikeluarkan:
a. Administrasi
b. Pendaftaran
c. Lain-lain
50,00
50,00
55,00
72,00
23,00
55,00
32,00
24,00
50,00
75,00
25,00
30,00
57,25
30,50
52,50
Sumber Data: Hasil Survei (Diolah), Tahun 2005
Dari hasil Pengamatan lapangan, ada indikasi tentang
keengganan pengusaha untuk mengeluarkan biaya pengurusan
HaKI. Apabila modal kerja dikeluarkan bukan untuk membiayai
usaha perusahaan, dikhawatirkan kegiatan usaha akan terganggu.
6). Keuntungan Memiliki HaKI
Dari jawaban responden diketahui bahwa 42,00%
menyatakan bahwa pemilikan HaKI memberikan keuntungan.
Kalau dijabarkan secara rinci per propinsi adalah sebagai berikut:
Memberikan keuntungan, Kalsel 60,00%, Kalteng 40,00%, Kaltim
40,00% dan Lampung 30,00%. Tidak memberikan keuntungan,
Kalsel 40,00%, Kalteng 60,00%, Kaltim 60,00%, dan Lampung
70,00%.
11
Keuntungan produksi mendapatkan jaminan rata-rata
48,25%, nilai komersilnya naik menjawab 29,25%, mendapatkan
kepuasan moral 3,75%, dan dapat dijual belikan menjawab 18,75%
(tabel 6).
Tabel. 6 Keuntungan Memiliki HaKI
Persentase
Uraian Propinsi
Kalsel Kalteng Kaltim Lampung
Rata-
Rata
Keuntungan memiliki
HaKI:
a. Ya
b. Tidak
Keuntungan didapat:
a. Produksi mendapat
jaminan
b. Nilai komersilnya naik
c. Mendapatkan
kepuasan moral
d. Dapat dijual belikan
60,00
40,00
80,00
20,00
-
-
40,00
60,00
33,00
67,00
-
-
40,00
60,00
35,00
15,00
15,00
35,00
30,00
70,00
45,00
15,00
-
40,00
42,00
57,50
48,25
29,25
3,75
18,75
Sumber Data: Hasil Survei (Diolah), Tahun 2005
2. Faktor Mempengaruhi Mendapatkan HaKI
1). Permohonan Dan Biaya HaKI
Persyaratan pengajuan permohonan untuk mendapatkan
HaKI telah ditetapkan oleh Departemen Hukum Dan HAM Cq.
Direktorat Jenderal HaKI. Baik untuk permohonan Paten maupun
Merek.
Permohonan administrasi sebagai berikut:
- Pemohon langsung mengajukan permohonan kepada Dirjen
HaKI di Jakarta.
- Mengoreksi salah atau benar permohonan oleh Ditjen HaKI
melalui Tim.
- Permohonan ditolak Ditjen HaKI, untuk perbaikan cukup
memakan waktu.
- Pembayaran biaya permohonan, rekening nomor 311928974
BRI Cabang Tangerang atas nama Direktorat Jenderal HaKI.
- Kantor Wilayah (Daerah) atau pejabat yang ditunjuk,
membubuhkan tanda tangan dan stempel pada permohonan
diterima.
(1). Biaya Paten antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan paten
12
- Biaya pemeriksaan substansi paten
- Penulisan deskripsi, abstrak, gambar
- Biaya lain-lain
(2). Biaya Merek antara lain terdiri dari :
- Biaya permohonan merek
- Biaya perpanjangan merek
- Biaya pencatatan pengalihan hak merek
- Biaya lain-lain
2). Usaha Koperasi dan Usaha Kecil
Responden yang diwawancarai kebanyakan usaha bergerak
dalam lingkungan industri kerajinan rakyat (industri alat rumah
tangga). Kegiatan usaha mempekerjakan keluarga, tetangga dan
penduduk sekitar tempat usaha. Pengembangan usaha
relatiflamban, karena modal kecil, usaha turun temurun, kadangkadang
produksi berdasarkan pesanan. Bagi koperasi, jenis usaha
ditekuni umumnya unit toko dan unit simpan pinjam yang
kebanyakan melayani anggotanya. Ada jenis usaha lain yang
didirikan koperasi, tapi belum banyak berkembang, oleh karena itu
untuk membiayai usaha tersebut diambilkan dananya dari usaha
yang telah maju.
Bagi usaha koperasi pengambilan keputusannya berbeda
sekali dengan keputusan diambil usaha kecil termasuk usaha
menengah. Keputusan yang diambil koperasi berdasarkan
kehendak para anggota, disalurkan melalui rapat anggota. Pengurus
koperasi tidak mempunyai wewenang dalam menentukan kegiatan
baru, lebih-lebih kegiatan tersebut memerlukan biaya-biaya.
Bila pengurus ingin untuk mendapatkan HaKI, maka
pengurus koperasi harus mendapatkan persetujuan dari anggota
dengan rencana kerja yang disahkan. Koperasi milik anggota
dengan semboyan “dari, oleh, untuk” anggota. Rencana kerja yang
telah disahkan melalui rapat, sangat penting bagi organisasi
koperasi untuk mengetahui hasil kerja pengurus dalam satu tahun
buku. Didalam neraca tahunan terlihat apakah suatu koperasi rugi
atau untung. Karena lambatnya keputusan yang diambil harus
melalui rapat anggota, bila ada peluang usaha yang harus
diputuskan waktu itu juga, tidak dapat diputuskan. Akibatnya
koperasi tidak dapat mengambil peluang usaha. Beberapa orang
pengurus dan manager yang ditunjuk mengelola usaha koperasi,
bukan membuat keputusan tetapi menjalankan keputusan yang
telah ada berdasarkan hasil rapat anggota. Pengurus
mempertanggung jawabkan hasil kerjanya selama tahun buku
kepada rapat anggota, sedangkan manager mempertanggung
jawabkan hasil kerjanya kepada pengurus, karena manager
diangkat pengurus dalam surat keputusan dengan masa jabatan
telah ditetapkan. Pekerjaan yang ada di koperasi, baik administrasi 13
organisasi, administrasi usaha dipertanggung jawabkan pengurus
pada akhir tahun buku dalam rapat anggota tahunan (RAT).
3). Kiat-Kiat Peningkatan Pemanfaatan HaKI
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) sudah
seharusnya dapat meningkatkan pemanfaatan penggunana HaKI
oleh koperasi, usaha kecil dan menengah. Memberikan peran yang
luas pada Kanwil Hukum Dan HAM didaerah (dinas didaerah)
antara lain :
(1). Pemberian penyuluhan bersama dinas terkait secara kontinu.
(2). Permohonan yang disampaikan koperasi, usaha kecil dan
menengah melalui Kanwil Hukum Dan HAM di daerah
(dinas daerah), segera dikirim kepada Direktorat Jenderal
HaKI di Jakarta, untuk disahkan.
(3). Bagi daerah pemohon yang tinggal dipedesaaan jauh dari
Jakarta (luar Jawa), administrasi pemohon dijamin tidak
mengalami kekeliruan.
(4). Biaya permohonan, biaya lain-lain, besar biayanya ditinjau
kembali.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil survei lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Rata-rata responden pernah mendengar HaKI (100,00%), tetapi
belum mengerti arti dan pentingnya, serta prosedur pengajuan
administrasi.
2). Rata-rata responden mengatakan tanpa HaKI perusahaan tetap
jalan (75,00%). Usaha dikelola kecil-kecil dan diantaranya ada
usaha yang turun-temurun
3). Rata-rata responden mengatakan kurang berminat memiliki HaKI
(52,50%), dan tidak berminat (45,25%). Ini disebabkan biaya
dikeluarkan akan mengganggu kelancaran usaha.
4). Hasil jajak pendapat dilapangan (survei responden) mengatakan,
menunggu penyuluhan tentang HaKI dari pemerintah dan instansi
terkait.

2. Saran-Saran
1). Penyuluhan HaKI didaerah-daerah terus ditingkatkan, agar
koperasi, usaha kecil dan menengah mengetahui arti dan
pentingnya HaKI.
2). Biaya permohonan, biaya administrasi, dan biaya lain-lain agar
ditinjau kembali, termasuk syarat pembayaran. Pembayaran oleh
pemohon setelah permohonan diterima, yang disyahkan Direktorat
Jenderal HaKI Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Direktorat Jenderal Bina
Lembaga Koperasi. Jakarta.
Anonimous, (1995). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995
Tentang Usaha Kecil Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha
Kecil, Direktorat Jenderal Pembinaan Koperasi Perkotaan. Jakarta.
Anonimous, (2001). Undang-undang Republik Indonesia Tentang Paten dan
Merek Tahun 2001. Penerbit “Citra Umbara”. Bandung.
Hadi Sutrisno, (1993). Metodologi Research. Penerbit. “Andi Offset”,
Yogyakarta.
Maulana Insan Budi, (2000). Peran Serta LSM dalam Pemberdayaan KPKM di
Bidang HaKI khususnya Merek Dagang. Disampaikan dalam Workshop
Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui Kebijakan
Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya Kesepakatan
Ketentuan TRIP’s. Jakarta.
Nahar Rahimi SH, (2000). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Atas Merek di
Indonesia. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta.
Singgih Santoso, (2000). Buku Latihan SPSS Statistik Paramatrik. PT. Elex
Media Komputindo. Jakarta.
Sugiyono, (2003). Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta, Bandung.
Suharto, Tata Iryanto, (1996). Kamus Bahasa Indonesia Terbaru. Penerbit
“Indah”. Surabaya.
Umar Achmad Zen P, (2000). Sosialisasi dan Penegak Hukum di Bidang HaKI
Khususnya yang Berkaitan dengan Merek Dagang. Disampaikan dalam
Workshop Pemberdayaan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Melalui
Kebijakan Merek Dagang dalam Menghadapi Diberlakukannya
Kesepakatan Ketentuan TRIP’s. Jakarta.

Review jurnal ekonomi koperasi 3

NAMA ANGGOTA KELOMPOK:
1.MUHAMAD SOFIAN SEPTA (24210612)
2.HERI KURNIAWAN (23210252)
3.MUHAMMAD IQBAL (24210736)
4.ALEXIUS IMANUEL (20210521)
5.ADITYA MAHARDHIKA FARHAN (20210198)
Review jurnal
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
65
*) Hasil Kajian Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK Tahun 2001 (diringkas oleh : Sri
Lestari HS dan Idham Bustaman)
KAJIAN TENTANG ALIANSI STRATEGIS BAGI UKMK
POTENSIAL*
ABSTRACT
The aim of this study is for : 1). Analyzing Small & Medium Enterprises
(SMEs & Co-operative opportunity to do alliance with other part based on factors
which seemingly influence forming of alliance, 2). Identifying dominant factors in forming
of strategic alliance systems for potential Small & Medium Enterprise (SME) & Cooperative.
The study is held in 6 (six) provinces, they are in Nangroe Aceh of Darussalam,
Jambi, Bengkulu, West Java, Central Java, and Middle Kalimantan using survey
method, determining sample with sampling purposive method. While data analysis
has conducted with some methods as follows: 1). Descriptive, 2). Financial Analysis
of : over turn, solvability, and rent ability, 3) Perspective analysis by using linear
regression, and 4) Managerial analysis.
Alliance system is one of alternative choice in strengthen the Small & Medium
Enterprises (SMEs) & Co-operative to improve the role in national economy, by doing
cooperation with other economic perpetrators, by support each other as according to
potency they had between them. From this study result is obtained performance of
dominant factors which owned by Small & Medium Enterprises(SMEs) & Co-operative
which influencing forming of alliance, that is: 1) Institutional aspect: (a) Co-Operative
has owned fully equipped of his organization like Legal Corporation, organization chart,
organizational units, while mostly of Small & Medium Enterprises (SMEs) already has
his owned Legal Corporation like PT,CV, and NV , owning SIUP, SII, and etc. (b)
Education level of mostly organizers of Small & Medium Enterprises (SMEs) & Cooperative
(%) in SLTA level is true less adequate to face competitive trading which
progressively tighten, but by skilled ownership of technical production and job
experience of most organizers for more than 10 year (%) are excess value which can
be pledged; 2) Effort Aspects: (a) Small & Medium Enterprises (SMEs) & Co-operative
doing in various sector that is in agriculture, plantation, commerce, industrial, whether
small industry or crafting, (b) Using of simple technology because of limitation of
capital, (c) In marketing his product, Small & Medium Enterprises (SMEs) & Cooperative
has reached local market, regional, national, and even some have reached
export markets, ( d) From internal and external analysis, Small & Medium Enterprises
(SMEs) & Co-operative less in facing challenge or the environment around. Some
weakness factor of Small & Medium Enterprises (SMEs) & Co-operative are for example
in professionalism in operational management, marketing area, production technology,
and managerial ability. While his power is in the height of effort spirit and hard willingness
which is supported by technical and production ability. Other power is in the case of
specification or the product characteristic which is difficult to compare or similar by
import product.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
66
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketimpangan pertumbuhan UKMK dibandingkan dengan pelaku usaha lainnya seperti
BUMN dan swasta besar telah diatasi dengan berbagai kebijakan bersifat bimbingan
dan pembinaan, serta penciptaan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya UKMK.
Termasuk diantaranya menggugah kepedulian swasta besar untuk mengurangi jurang
perbedaan antara swasta besar dengan UKMK yang dapat berdampak negative terhadap
situasi dan kondisi ekonomi nasional. Wujud kepedulian tersebut dalam bentuk
kerjasama usaha yang terintegrasi dan berinteraksi hingga tercipta suatu kekuatan
atau sinergi dalam meraih peluang bisnis yang ada. Adapun bentuk-bentuk kerjasama
yang sudah tidak asing lagi adalah: Pola Bapak Angkat, Perkebunan Inti Rakyat, Sub
Kontrak, Hubungan Dagang, Pemasokan, Waralaba, Keagenan, dan bentuk-bentuk
lainnya.
Bentuk-bentuk kerjasama tersebut di atas telah lama berjalan dan disambut
dengan antusias oleh UKMK dengan harapan kerjasama tersebut dapat merupakan
satu kesempatan atau peluang bagi kesinambungan dan peningkatan aktivitas usaha
mereka. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, peningkatan aktivitas yang diharapkan
tersebut kurang atau belum menjadi kenyataan, bahkan sering menimbulkan konflik.
Pernyataan ini didasarkan atas berbagai temuan lapang dari beberapa kajian dan
evaluasi terhadap beberapa pola kerjasama yang ada dan sedang berjalan saat ini,
seperti:
1 Pola Kerjasama Kemitraan Agribisnis Kelapa Sawit (Balitbangkop dan PPK tahun
1997) terdapat beberapa kelemahan antara lain:
- Besarnya ketergantungan plasma kepada inti
- Banyaknya petani pasif
- Ketidaksamaan persepsi antara yang bermitra terhadap pola kemitraan
- Kurangnya koordinasi antar pembina dari instansi terkait
2. Pola Kemitraan Usaha Kecil Menengah dengan Usaha Besar dalam Rangka
Kerjasama APEC (Balitbangkop dan PPK tahun 1997) terdapat beberapa
kelemahan, yaitu:
- Mutu produk UKMK yang kurang/tidak memenuhi standar
- Sistem konsinyasi yang menyulitkan usaha kecil
- Kurangnya koordinasi antar instansi terkait (pembina)
3. Kemitraan Usaha dalam Perikanan Inti Rakyat (Balitbangkop dan PPK tahun 1995)
terdapat beberapa kelemahan antara lain: peran inti terlalu besar
3.1. Rumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi latar belakang dilakukannya kajian ini
yaitu: Belum optimalnya manfaat yang diterima UKMK sebagai umpan balik
atas terjalinnya kerjasama antara UKMK dengan usaha besar.
3.2. Tujuan Kajian
Tujuan dari kajian ini adalah :
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
67
1 Menganalisis peluang dalam melakukan aliansi dengan pihak lain
berdasarkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pembentukan aliansi
dan faktor-faktor yang dominan dalam menghasilkan Sistem Aliansi
Strategis bagi UKMK yang potensial
2 Inventarisasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan aliansi
dan rekayasa sistem aliansi strategis bagi UKMK.
II. KERANGKA PEMIKIRAN
.Aliansi. berasal dari bahasa Inggris .ally. yang berarti bersekutu atau
bergabung. Untuk menghindari perbedaan persepsi, maka perlu disepakati bahwa
yang dimaksud dengan aliansi dalam kajian ini bukan merupakan penggabungan dua
atau lebih badan usaha, akan tetapi lebih diarahkan pada pengertian penyatuan aktivitas
yang saling menunjang, saling tergantung, baik secara vertikal maupun horisontal di
antara dua atau lebih usaha. Berbagai referensi teoritis yang ada sepakat bahwa
aliansi dapat merupakan salah satu konsep pemikiran dalam memecahkan persoalan
yang muncul dan sekaligus dapat menjembatani gap antara lembaga usaha yang kuat
dengan lemah.
Strategis yang berasal dari bahasa Perancis .stratos. dan .logos., sratos berarti
militer dan logos adalah cara. Selanjutnya strategis dapat diartikan sebagai cara
militer untuk memenangkan suatu peperangan. Kemudian istilah ini diadopsi oleh
praktisi bisnis dalam memenangkan persaingan yang bermuatan langkah-langkah
operasional tanpa menimbulkan persepsi dan interpretasi di antara komponen yang
terlibat dalam satu sistem atau lingkungan kerja.
Dari pengertian tersebut, maka dikemukakan bahwa aliansi strategis adalah
satu konsep kerjasama yang berisikan beberapa muatan yang sifatnya operasional
dalam bisnis yang meli[puti:
1) Aspek distributif manfaat dan biaya
Adanya kerjasama ini akan mengakibatkan pergeseran kepemilikan, antara
lain:
a. Siapa yang menjalin kerjasama
b. Untuk tujuan apa
c. Bagaimana hak tersebut diperoleh dan pengaruhnya terhadap usaha
d. Bagaimana mekanisme pendistribusian manfaat dan biaya
2) Aspek efisiensi menyangkut pengalokasian sumberdaya
3) Aspek resiko dan ketidakpastian dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
penciptaan kerjasama yang dimaksud di atas meliputi: kesamaan tujuan dan
adanya manfaat yang diterima
4) Optimalisasi kekuatan dan eliminasi kelemahan
5) Interpretasi dan persepsi yang sama
6) Aturan main (rule of the game)
7) Memiliki core business
8) Keterpaduan sistem
9) Keseimbangan hak dan kewajiban
10) Transparansi dalam batas-batas yang dikerjasamakan
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
68
11) Adanya pembagian tugas
Kriteria yang harus dimiliki oleh setiap lembaga yang melakukan aliansi
terdiri dari beberapa aspek, yaitu: a) Aspek kelembagaan, meliputi etos kerja
kelompok dan individu, proses adaptasi, dan mekanisme kerja, b) Aspek usaha
dan manajemen, meliputi produksi, pemasaran, distribusi, keuangan, dan
pengambilan keputusan, d) Aspek lingkungan, meliputi internal dan eksternal, d )
Aspek pendidikan dan pembinaan, meliputi hak paten, hak dagang, dan hak merk
INVENTARISASI
ASPEK-ASPEK
KERJASAMA
- ASPEK DISTRIBUTIF
- ASPEK EFISENSI
- ASPEK RESIKO DAN
KETIDAKPASTIAN
UKMK
- KELEMBAGAAN DAN
MANAJEMEN
- ASPEK USAHA/
BISNIS
IDENTIFIKASI KRITERIA
- Tujuan
- Manfaat
- Kekuatan
- Kelemahan
- Persepsi
- Rule
- Core Business
- Hak dan Kewajiban
- Transparansi
- Job describtion
BUMS
- KELEMBAGAAN
DAN MANAJEMEN
- ASPEK USAHA/
BISNIS
ALIANSI STRATEGIS
MANAJEMEN
INVESTASI
BISNIS
III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Kajian
Kajian dilakukan pada 6 provinsi yaitu; Nangru Aceh Darussalam, Bengkulu,
Jambi, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
69
3.2 Metode Kajian
Kajian dilakukan dengan metode survey. Sampel ditetapkan berdasarkan purposive
sampling. Data primer diperoleh dari pengamatan lapang dan wawancara
menggunakan daftar pertanyaan. Data sekunder diperoleh dari referensi, publikasi,
dokumen, laporan dari instansi terkait
3.3 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan cara tabulasi, sedang analisa data
dilakukan secara:1) Deskriptif, 2) Analisis manajerial, 3) Analisis finansial yang
meliputi turnover, solvabilitas, dan rentabilitas, 4) Analisis perspektif, 5) Analisis
SWOT
3.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian adalah:
a. Mengkaji UKMK potensial untuk melakukan aliansi berdasarkan kompetensi
dan kapabilitasnya
b. Inventarisasi beberapa bentuk aliansi yang sudah operasional sebagai
masukan dalam pembentukan aliansi
c. Inventarisasi potensi wilayah.
IV. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Aspek kelembagaan UKMK
4.1.1 Visi
Aspek kelembagaan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
organisasi, baik yang bergerak dalam usaha sosial (nirlaba) maupun organisasi
usaha (bisnis), di mana dalam aspek tersebut dijelaskan tujuan, sasaran, dan
eksistensinya di dalam dan di luar organisasi. Lebih jauh lagi, bahwa dalam
aspek kelembagaan tersebut menyangkut perspektif aktivitas secara menyeluruh
masa kini dan masa yang akan datang. Perspektif masa depan ini dalam langkah
operasionalnya diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk rencana jangka
pendek, menengah, dan jangka panjang.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap perspektif usaha
kecil menengah dan koperasi (UKMK), dalam hal visi dan misi terlihat adanya
kelemahan, yang mana secara umum (64%) koperasi dan usaha kecil menengah
sampel kurang memahami makna dan tujuan visi suatu organisasi usaha.
Memang ada kalanya bahwa visi suatu organisasi atau perusahaan tidak
selamanya dinyatakan dalam bentuk tertulis akan tetapi dapat juga berupa slogan
atau semboyan, namun semboyan atau slogan tersebut disepakati dan difahami
oleh segenap pengelola organisasi atau usaha sebagai salah satu acuan dalam
menyusun rencana strategis , yang diterjemahkan dalam bentuk program kerja
yang akan dilakukan dalam kegiatan usaha untuk mewujudkan tujuan perusahaan
baik secara periodik maupun insidentil dan akhirnya tercapainya sasaran suatu
tujuan jangka panjang.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
70
Kelemahan visi koperasi dan usaha kecil berdampak kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan maupun perkembangan usaha koperasi dan
usaha kecil, dan diduga berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi
selama ini. Dalam rangka percepatan pertumbuhan usaha, dimana persoalan
tersebut sudah menjadi penciri koperasi dan usaha kecil karena muncul berulangulang
(klasik) dan belum dapat terselesaikan sampai saat ini, diantaranya
kelemahan manajemen organisasi, manajemen usaha yang berkaitan dengan
permodalan dan pemasaran, juga berkaitan dengan persaingan dengan usahausaha
besar.
4.1.2 Profil Pengelola
Kemampuan menjalankan usaha sangat ditentukan juga oleh
kompetensi yang dimiliki, dimana kompetensi merupakan aktualisasi dari
segenap potensi yang dimiliki setiap individu yang bersumber dari pengetahuan
dan keahlian, baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun nonformal,
pengalaman serta bakat yang dimiliki individu. Adapun profil rata-rata pengelola
UKMK contoh ditunjukkan sebagai berikut: 1) dilihat dari tingkat pendidikan:
tingkat pendidikan sarjana (S1-SM) 9%, SLTA 79%, SLTP 12%; 2) dilihat dari
pemahaman terhadap ilmu pengetahuan: manajemen organisasi 15%, teknis
produksi 55%, pengendalian mutu 20%, dan teknis pemasaran 10%; 3) dilihat
dari pengalaman, >15 tahun 34%, 10-14 tahun 52%, 5-9 tahun 10%, dan 1-4
tahun 4%.
Dalam rangka pengembangan jangka panjang dan semakin ketatnya
persaingan bisnis, dengan kondidsi rata-rata pengelola UKMK kebanyakan
berpendidikan SLTA (79%) sudah kurang memadai, meskipun telah ditopang
dengan pengalaman kerja lebih 15 tahun (34%) dan 10 – 14 tahun (52%).
Untuk itu harus ditunjang dengan peningkatan kemampuan keterampilan
melalui pelatihan-pelatihan atau pendidikan nonformal.
4.1.3 Pengorganisasian
Dilihat dari aspek organisasi, koperasi lebih lengkap dibanding
dengan UKM, baik dalam hal penggunaan tenaga manajer, ada tidaknya
pembagian tugas dan tanggung jawab, serta struktur organisasi. Dalam
penggunaan tenaga manajer, ternyata 88,88% koperasi contoh telah memiliki
manajer, sedangkan UKM contoh hanya 62,5%. Koperasi yang memiliki
pembagian tugas 93,73%, sedangkan UKM 81,25% dan koperasi memliki
struktur organisasi 100% sedangkan UKM hanya 61,11%. Keunggulan koperasi
dalam penggunaan manajer, pembagian tugas secara tertulis serta
pembentukan struktur organisasi merupakan hasil pembinaan yang dilakukan
secara terus-menerus terhadap kelembagaan koperasi, sebagai salah satu
upaya peningkatan profesionalisme pengelolaan usaha.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
71
4.2 Aspek Usaha UKMK
4.2.1 Sarana Usaha
Sarana usaha yang diamati adalah perkantoran, rumah produksi
(workshop), kantor pemasaran, dan faktor penunjang usaha (prasarana) meliputi
alat transportasi dan komunikasi. Adapun data kepemilikan sarana dan
prasarana dimaksud sebagai berikut:
Hampir semua koperasi dan UKM sampel telah memiliki kantor
meskipun sebagian masih menyewa, dengan kondisi yang cukup memadai.
Pada umumnya pertokoan dan showroom yang dimiliki koperasi/UKM sampel
pada umumnya juga melekat dengan perkantoran. Artinya, bahwa sarana kerja,
kantor, workshop dan showroom berada dalam satu gedung. Lokasinya pada
umumnya berada dalam lingkungan perumahan. Alasan pemilihan lokasi hanya
didasarkan pada kedekatan dengan tempat tinggal pemilik dan ada juga dengan
alasan karena merupakan sentra pengrajin yang telah lama terbentuk .
4.2.2 Pasar produk UKMK
Dari hasil kajian ditunjukkan rata-rata pasar produk UKMK contoh
diseluruh lokasi paling tinggi adalah pasar regional (34,33%), kemudian pasar
nasional (30%), pasar lokal (21,83%), dan ekspor (13,83%). Hampir di seluruh
lokasi kajian produk UKMK telah diekspor. Kegiatan ekspor paling tinggi
adalah UKMK di Provinsi Jambi (30%), didiikuti Provinsi NAD (16%), dan paling
rendah Provinsi Bengkulu (4%).
4.2.3 Kinerja Keuangan UKMK
Pertumbuhan UKMK pada masa kritis tidak banyak berpengaruh
karena UKMK tidak banyak menggunakan komponen impor. Sebagian
malahan sudah berorientasi ekspor sehingga mendapat nilai tambah atas
depresiasi rupiah terhadap dollar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
pertumbuhan keuangan sebagai berikut: pertumbuhan aset ( 22,96 %), modal
sendiri (20,49%), dan pendapatan (18,70%), dimana pertumbuhan aset paling
tinggi UKMK di Provinsi Bengkulu (27,66%), pertumbuhan modal sendiri
tertinggi di Kalimantan Tengah (24,16%), dan pertumbuhan pendapatan UKMK
di Provinsi Bengkulu (25%).
4.2.4 Analisa keuangan UKMK
Untuk mengetahui lebih dalam kinerja UKMK dilakukan analisa
kemampuan dengan analisa ratio yang terdiri dari ratio aktiva (asset turnover),
solvabilitas, dan rentabilitas. Dari hasil kajian ditunjukkan rata-rata hasil analisa
finansial UKMK contoh adalah: turnover 13,02 %, solvabilitas109 %, dan
rentabilitas 9,75 %., yang mana rata-rata : turnover over paling tinggi dicapai
UKMK Jambi (15,66% ), paling rendah Kalteng (11 %), solvabilitas paling
tinggi UKMK Jawa Barat (109%), paling rendah Aceh (101% ) dan rentabilitas
paling tinggi UKMK Jambi ( 16 %), paling rendah Jateng dan Jabar masingmasing
6,66% .
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
72
4.2.5 Analisa Perspektif
Analisa persektif bertujuan untuk mengkaji peluang pengembangan
UKMK dalam jangka panjang (lima) tahun kedepan, dengan tehnik pendekatan
peramalan atau forcasting, dari aspek rata-rata total asset, modal sendiri,
dan pendapatan operasi. Hasil dari analisis ini menunjukkan adanya
peningkatan dari ketiga aspek tersebut meskipun tidak terlalu tinggi, yaitu
pada tahun 2005 rata-rata total asset UKMK akan menjadi Rp 650,54 juta,
rata-rata total modal sendiri akan mencapai Rp 126,56 juta dan rata-rata total
pendapatan akan mencapai Rp107,36 juta
4.2.6 Analisa Faktor Internal dan Eksternal
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang diduga
berpengaruh dalam penetapan kekuatan, kelemahan , peluang dan ancaman,
dengan menggunakan tennik Internal Factor Evaluation (IFE) dan External
Factors Evaluation ( EFE ). Berdasarkan analisis ini akan dapat ditentukan
strategi bisnis dengan mengoptimalkan kekuatan dalam merebut peluang dan
mengeliminir kelemahan dalam menghadapi ancaman.
Faktor- faktor internal yang dianalisis meliputi: a) kekuatan : tehnis
produksi, idealisme pengelola, potensi anggota, ketrampilan karyawan, produk
, dan b) kelemahan : pemasaran, permodalan, teknologi, jaringan usaha dan
rasa memiliki.
Dari hasil analisis ternyata faktor produk, ketrampilan dan tehnis
produksi merupakan kekuatan yang membentuk kompetensi UKMK sedang
permodalan dan manajemen pemasaran merupakan faktor kelemahannya,
Produk UKM umumnya memiliki kekhasan yang berhubungan dengan bentuk,
kegunaan, ciri khas daerah, bersifat natural dan memiliki nilai artistik. Dari
total nilai semua faktor 2,65 berarti diatas nilai rata-rata (2,50) menunjukkan
bahwa faktor internal UKM termasuk baik/ kuat.
Analisis faktor eksternal bertujuan untuk mengetahui posisi UKM
terhadap adanya peluang dan menghadpi ancaman. Faktor-faktor eksternal
yang dianalisis meliputi : 1) Peluang, yang terdiri dari: a) kebijakan perkuatan
industri kecil, b) tingginya harga produk impor, c) kemajuan teknologi informasi,
d) respon konsumen, e) aliansi, 2) Ancaman, yang terdiri dari : a) intensitas
persainga, b)peningkatan teknologi, c) pertumbuhan ekonomi, d) globalisasi
industri, e) kebijakan perdagangan dunia.
Hasil analisis menunjukkan UKMK kurang mampu menghadapi
tantangan atau dinamika lingkungan eksternalnya, hal ini ditunjukkan dari
total nilai sebesar 2,46 yang berarti lebih rendah dari total rata-rata standar:
2,50. Kelemahan UKMK terletak pada beberapa faktor diantaranya penguasaan
atau profesionalisme dalam manajemen operasional yang harus didukung oleh
kemampuan atau penguasaan teoritis dan teknis, terutama dalam bidang
pemasaran, teknologi produksi dan kemampuan manajerial, sedangkan yang
menjadi kekuatan UKMK adalah tingginya semangat usaha dan adanya
kemauan keras yang didukung oleh kemampuan teknis dan penguasaan tehnik
produksi.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
73
4.3 Analisis Deskritif Lokasi Sampel
Analisis ini bertujuan untuk melihat potensi wilyah sampel sebagai
bahan pertimbangan atau daya dukung dalam menentukan kelayakan UKMK
melakukan aliansi. Beberapa aspek yang dianalisa antara lain jumlah UKMK,
penyerapan tenaga tenaga kerja, jumlah investasi, untuk beberapa sektor :
industri pertanian dan kehutanan, industri logam, mesin, kimia, dan aneka
industri.
Dari hasil kajian ditunjukkan, kegiatan atau aktivitas yang paling
potensial adalah subsektor hasil hutan terutama di daerah Kalimantan Tengah,
Jambi, Bengkulu dan Aceh, yaitu industri penggergajian, industri kayu, dan
meubel. Industri yang bergerak di bidang pengolahan kayu ( industri kayu )
paling banyak yaitu sebanyak 22,82 % , yang menyerap tenaga kerja 24,82
%, dan menggunakan investasi 25, 65 %, kemudian industri penggergajian
kayu dengan jumlah 20.83 %, yang menyerap tenaga kerja 23,46 % dan
menggunakan investasi 22,45 %. Diikuti industri meubel sebanyak 15,16 %,
yang menggunakan tenaga kerja 15,16 %, dan menggunakan investasi 15,45
%. Industri lain yang potensial adalah industri kerajinan, dengan jumlah 14,6
%, menyerap tenaga kerja 12,48 % dan menggunakan investasi 9,56 %. Industri
hasil pertanian yang potensial yaitu di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yaitu
industri roti dan jajanan dengan jumlah 12 %, menyerap tenaga kerja 11,57 % ,
dengan jumlah investasi 12,67 %.
Kegiatan atau usaha pada sektor logam, besi, dan aneka industri, paling
potensial adalah industri garmen atau konveksi dengan jumlah 20,10 %, menyerap
tenaga kerja 25,35 % dan investasi 19,27 %, diikuti industri aneka jasa sebanyak
17,24 %, menyerap tenaga kerja 12,25 % dan investasi 15,56 %.
4.4 Rekayasa sistim Aliansi
Berdasarkan hasil kajian dan analisis keragaan kelembagaan, usaha,
finansial, proyeksi pengembangan usaha dan faktor eksternal dan internal, serta
potensi wilayah, dapat ditarik kesimpulan beberapa faktor dominan yang
mendukung UKMK potensial atau penting dilakukan rekayasa sistim aliansi
dengan pihak lain, antara lain karena:
1). Aktivitas UKMK merupakan bagian dari aktivitas ekonomi nasional dan
turut ambil bagian dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB),
2). UKMK merupakan penyedia barang dan jasa , baik sebagai produk utama
atau produk substitusi, guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan
sebagai penghemat devisa,
3). UKMK dalam kegiatan produksinya lebih banyak menggunakan bahan
baku maupun bahan pembantu yang berasal dari dalam negeri, dengan
demikian aktivitas UKMK meningkatkan nilai tambah sumberdaya dalam
negeri sekaligus menghemat devisa
4). Jumlah UKMK yang banyak dan menyebar hampir keseluruh wilayah
Indonesia merupakan penggerak ekonomi daerah melalui penyerapan
tenaga kerja, penyebaran investasi, pemanfaatan sumberdaya, dan
sebagainya,
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
74
5). UKMK merupakan bagian (sub sistem) dalam sistem perekonomian
Nasional, sebagai salah satu sub sistem maka tidak dapat dipisahkan
dari sub sistem (pelaku-pelaku ) ekonomi lainnya
6). UKMK memiliki beberapa kendala, permasalahan dalam pengembangan
usahanya, untuk itu diperlukan upaya yang bersifat simultan termasuk
rakayasa sistem aliansi, guna meningkatkan profesionalismenya dalam
pengelolaan usaha, produksi, pemasaran, maupun keuangan.
Rekayasa sistem aliansi yang saling menguntungkan dapat terjadi
bila dapat dipenuhi beberapa persyaratan sebagaimana dikemukakan oleh
Asep Saefudin dalam Pengembangan Sumberdaya Lintas Regional melalui
Kerjasama Kelembagaan yang meliputi: 1) Memiliki kepentingan yang sama,
2) Bermanfaat bagi masing-masing lembaga yang bekerjasama 3)
Mensinergikan kekuatan dan keunggulan, serta mengurangi kelemahan dan
hambatan masing-masing, 4) Optimalisasi penggunaan sumberdaya, 5)
Berbagi pengalaman dalam kegagalan maupun keberhasilan
4.5 Faktor-faktor teknis dalam aliansi
4.5.1. Usaha Unggulan ( Core Business)
Usaha unggulan dapat diartikan secara luas yaitu menyangkut aktivitas
bisnis secara menyeluruh baik secara vertikal dari hulu sampai ke hilir, yaitu
mulai dari penyediaan input produksi, produksi, sampai penyampaian barang
atau jasa pada konsumen akhir. Atau secara parsial seperti penyediaan sarana
dan prasarana, penyediaan informasi, peningkatan aksebitas terhadap lembaga
keuangan baik perbankan maupun non bank, peningkatan kemampuan sumber
daya manusia melalui training, pelatihan tehnis produksi, dan peningkatan
manajerial.
Adapun kegiatan/aktivitas UKMK yang diharapkan dapat dilakukan
aliansi (%), berdasarkan analisis di daerah/lokasi sampel adalah sebagai
berikut:
No Aktivitas Lokasi
Aceh Bengkulu Jambi Jabar Jateng Kalteng Ratarata
1 Pengadaan
bahan baku
15 26 10 12 18 15 16
2 Tehnik
Produksi
20 20 17 16 15 15 17,16
3 Tehnologi
produksi
35 25 27 30 35 30 30,34
4 Pemasaran 30 29 46 42 32 40 36,5
Total 100 100 100 100 100 100 100
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
75
Dari 4 (empat) kegiatan UKMK yang diharapkan dilakukan aliansi,
ternyata aktivitas yang paling banyak diharapkan dilakukan aliansi adalah
pemasaran (36,5%), kemudian aktivitas tehnologi produksi (30,34 %).
Pemilihan kedua kegiatan ini sejalan dengan kelemahan yang dimiliki UKMK
untuk semua wilayah.
Bentuk aliansi yang diharapkan untuk kedua kegiatan ini tidak sama
ini tidak sama, untuk teknologi produksi 67% menginginkan dalam bentuk
pemberian fasilitas permodalan berupa pinjaman lunak yang berarti menambah
asset UKMK, sedang 33 % menginginkan tehnologi produksi merupakan bagian
dari aliansi pemasaran, dalam bentuk paket.
4.5.2. Keterpaduan Sistem
Keterpaduan sistem akan menghasilkan keselarasan gerak antar
elemen-elemen ( sus sistem) yang ada sehingga tujuan dan sasaran kegiatan
dapat tercapai secara optimal. Keterpaduan sistem kurang ditemukan dalam
pola-pola kerjasama yang ada dan telah berjalan selama ini, diduga disebabkan
karena beberapa hal, antara lain:
1. Kelemahan dalam menetapkan muatan-muatan yang terkandung alam
kesepakatan atau perjanjian kerjasama
2. Kurangnya sosialisasi konep bisnis secara menyeluruh yang tercermin
dalam visi dan misi
3. Terputusnya sistem, karena sistem yang dibuat ditetapkan secara
sepotong-sepotong, sehingga rangkaian aktivitas terputus, atau tejadinya
pemenggalan rangkaian sistem pada simpul-simpul yang kurang tepat.
4.5.3. Profesionalisme
Profesionalisme merupakan aktualisasi kompetensi dan kapabilitas
organisasi, baik organisasi sosial maupun organisasi usaha yang bersifat
business oriented. Berdasarkan pengamatan terhadap kinerja kelembagaan
UKMK ditunjukkan kurangnya profesionalisme kebanyakan pengelola, karena
kurangnya kapabilitas dan kompetensinya, yang hanya mengandalkan
ketrampilan dan kemampuan tehnis produksi secara turun temurun. Hal
tersebut menjadi faktor pertimbangan akan perlunya aliansi. Dalam
hubungannya dengan kesatuan sub sistem yang perlu mendapat perhatian
adalah bagaimana menetapkan aktivitas masing-masing subsistem yang ada
sekaligus sebagai naskah dalam menentukan muatan-muatan aliansi.
4.5.4. Insentif dan proaktif
Intensif dan proaktif berarti masing-masing pihak yang melakukan
kerjasama dituntut untuk kratif memanfaatkan peluang yang ada, mencari
terobosan-terobosan baru baik yang berhubungan langsung dengan aktivitas
yang dikerjasamakan maupun yang tidak dikerjasamakan atau aktivitas sendiri
( business entity ). Selama ini kegiatan koperasi merpakan program
pemerintah yang telah memiliki perencanaan , sasaran, target dan kebijakan
operasional secara menyeluruh dan baku, yang mengakibatkan pengelola
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
76
koperasi kebanyakan kurang proaktif mencari kegiatan/usaha di luar program,
bahkan seakan tertutup atau mati kreativitasnya akibat hanya sebagai pelaku
saja, mengikuti aturan-aturan yang sudah ada.
Dalam pelaksanaan beberapa pola kerjasama, kreativitas juga belum
muncul, seperti dinyatakan oleh 56 % responden, bahwa kerjasama dapat
mengurangi kreativitas karena mekanisme dan pelaksanaan kegiatan telah
ditetapkan dalam kontrak , yang mana muatan-muatan dalam kontrak kurang
mengakar pada kondisi dan keberadaan UKMK. Sebagai upaya untuk
menumbuhkan semangat atau sifat proaktif, maka lembaga yang terkait dalam
satu kerjasama hendaknya memberikan iklim yang kondusif dan media yang
tepat, sedang aturan main berfungsi sebagai penunjang atau pengendali saja.
4.6. IMPLIKASI REKAYASA ALIANSI
Sistem aliansi merupakan salah satu alternatif dalam upaya perkuatan usaha
kecil menengah dan koperasi menuju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
nasional secara bersama-sama dengan pelaku ekonomi lainnya (industri besar).
Untuk itu upaya-upaya yang dapat menunjang terciptanya kerjasama dapat
disarankan beberapa hal yaitu:
4.6.1 Sistem Aliansi
Penetapan sistem aliansi strategis harus mengakar pada hal-hal yang
hakiki bagi kedua lembaga yang akan beraliansi, maka untuk penetapan
substansi pokok harus bersumber dan mengakar pada lembaga yang akan
beraliansi. Upaya yang dilakukan adalah sebagaimana gambar berikut :
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
77
(1)
POTENSI ANGGOTA/UKMK
(MEMBERS)
(2) COLECTING/INVENTARISASI
(3) IDENTIFIKASI/KLASIFIKASI
(4)
KEBUTUHAN NYATA
(5) SELEKSI
(6) POTENSI TERPILIH
(7) PENETAPAN PRIORITAS
(8) USAHA UNGGULAN
(9) REKAYASA SISTEM
(10) SISTEM ALIANSI
(11) UJI COBA SISTEM
(12) NOT APLICABLE
(13) APLICABLE
(14) IMPLEMENTASI
(15)
HASIL (OUTPUT)
(A)
U K M K
(B) LEMBAGA
PENDAMPINGAN
& UKMK
(B) LEMBAGA
PENUNJANG
(SUPPORTING)
(16b) Umpan Balik
(16a) Marjin
Kerangka Penyusunan Sistem Aliansi
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
78
4.6.2 Sistematika Rancang Bangun Sistem Aliansi
Dalam membuat rancang bangun sistem aliansi strategis bagi UKMK
dilakukan beberapa langkah atau tahapan praktis guna mendapatkan sistem
yang manajIble dan aplikatif bagi UKMK. Upaya yang dilakukan adalah
sebagaimana yang terlihat pada langkah kerja berikut :
Kerangka Instrumen-instrumen Usaha
LANGKAH
Mengetahui lingkup
aktivitas usaha-usaha
masing-masing lembaga
yang akan beraliansi
Memahami profil usaha
Mengamati kinerja
keuangan UKMK
Mengetahui profil
dan sumber
permodalan
- Sosialisasi/publikasi
aktivitas masing-masing
lembaga
- Penetapan batasanbatasan
aktivitas usaha
- Penetapan wewenang
dan tanggung jawab
masing-masing lembaga
yang beraliansi
Mengkaji profil usaha
Evaluasi aktivitas finansial
UKMK
- Inventarisasi segenap
aktivitas kelembagaan
usaha secara fisik dan
nonfisik
- Melakukan strukturisasi
modal
- Ruang lingkup
aktivitas
- Sistematika
operasional
- Hak dan kewajiban
- Skala usaha
- Sasaran jangka
menengah dan
jangka pendek
- Jaringan usaha
- Jaringan informasi
- Likuiditas
- Rentabilitas
- Probitabilitas
- Perspektif usaha
- Struktur biaya
- Efisiensi dan
efektivitas finansial
- Struktur permodalan
- Sharing capital
- Sumber-sumber
dana yang
ekonomis
- Profit sharing
AKTIVITAS OUTPUT
- Evaluasi kemampuan
pendanaan masing
- masing lembaga
Evaluasi sumber
- sumber permodalan
(internal dan eksternal)
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
79
Kerangka Kelembagaan
LANGKAH AKTIVITAS OUTPUT
Menetapkan kelembagaan
aliansi
- Sosialisasi /publikasi
aktivitas masing-masing
lembaga
- Penetapan batasan
aktivitas
- Menyusun keterpaduan
aktivitas
- Penetapan wewenang
dan tanggung jwab
masing-masing
lembaga yang
beraliansi
- Rancang bangun
kelembagaan aliansi
- Model aliansi
- Bangun aliansi
Kerangka Sarana Kelembagaan dan Usaha
LANGKAH AKTIVITAS OUTPUT
Menetapkan kebutuhan fisik – Inventarisasi kebutuhan fisik
sarana perkantoran, sarana
penunjang informasi dan
komunikasi
- Plan action/plan site
- Kebutuhan space/luas
dan bentuk perkantoran
- Layout
- Kebutuhan sarana
informasi dan
komunikasi
Menetapkan sarana
produksi
- Identifikasi jenis dan sifat/
produksi
- Inventarisasi lingkup/skala
produksi
- Pengenalan aktivitas
produksi
- Jenis dan sifat teknologi
- Kuantitas teknologi
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI REKAYASA ALIANSI
5.1 KESIMPULAN
5.1.1 Aspek Kelembagaan
Aspek kelembagaan diantaranya Badan Hukum menyangkut legalitas
sebagai salah satu bentuk usaha yang sah, yang umumnya diberikan oleh
instansi pemerintah. Hampir seluruh UKMK sampel telah memiliki Badan
Hukum, baik Badan Hukum Koperasi, PT, NV, CV , serja perijinan lainya
seperti SIUP, SII, dan sebagainya.
Dilihat dari sisi kelembagaan, UKMK khususnya koperasi telah
memiliki kelengkapan organisasi dengan adanya unit-unit organisasi seperti
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
80
tersebut dalam struktur organisasi. Hal ini merupakan hasil pembinaan lembaga
yang secara terus-menerus dilakukan. Segenap kegiatan/aktivitas telah mulai
didistribusikan ke dalam unit-unit organisasi yang ada dan dalam
operasionalnya. Koordinasi pelaksanaan aktivitas dapat terbagi dalam dua
bagian, yaitu: pertama berada di bawah koordinasi pemilik/pengurus dan
kedua koordinasi dibawah seorang manajer.
5.1.2 Aspek Jenis Usaha
Usaha yang ditangani oleh UKMK pada umumnya adalah usaha di
sektor pertanian, peternakan, perkebunan, dan industri yang kebanyakan
merupakan industri kerajinan/industri kecil. Khusus yang bergerak dalam sektor
industri 100% UKM memerlukan input produksi yang bersumber dari dalam
negeri. Hal inilah yang menguntungkan bagi UKM mengingat pemanfaatan
komponen dalam negeri lebih menguntungkan dibanding dari komponen impor.
Hal inilah yang diperkirakan mendukung UKMK tetap dapat bertahan dan
bahkan masih bertumbuh pada saat krisis yang dinyatakan dengan
pertumbuhan aset, modal sendiri dan pendapatannya
5.1.3 Aspek Teknologi
Penggunaan teknologi sederhana dalam proses produksi membuat
UKMK mengalami keterbatasan dalam memenuhi permintaan baik dalam hal
kuantitas maupun kualitas. Peningkatan penggunaan teknologi sulit bagi
UKMK karena keterbatasan modal.
5.1.4 Aspek Jangkauan Pasar
Produk hasil olahan UKMK telah menjangkau pasar relatif luas, hal
ini ditunjukkan dari sasaran pasar yang meliputi pasar regional, nasional,
bahkan internasional.
5.1.5 Aspek Sistem Pemasaran
UKMK Dalam memasarkan produknya, pada umumnya belum
dilakukan melainkan melalui perantara terutama pasar ekspor, hal ini dilakukan
karena belum memiliki tenaga pemasararan yang profesional.
5.1.6 Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal
Sesuai dengan hasil analisa faktor internal dan eksternal, UKMK kurang
mampu menghadapi tantangan atau dinamika lingkungan eksternalnya.
Kelemahan UKMK terletak pada beberapa faktor diantaranya penguasaan atau
profesionalisme dalam manajemen operasional yang harus didukung oleh
kemampuan atau penguasaan teoritis dan teknis, terutama dalam bidang
pemasaran, teknologi produksi dan kemampuan manajerial, sedangkan yang
menjadi kekuatan UKMK adalah tingginya semangat usaha dan adanya
kemauan keras yang didukung oleh kemampuan teknis dan penguasaan
prossesing, serta karakteristik produknya.
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
81
5.1.7 Aliansi
Masuknya aliansi bagi pengembangan UKMK dapat mengoptimalkan
potensi yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan.
5.2 IMPLIKASI REKAYASA ALIANSI
Sistem aliansi merupakan salah satu alternatif dalam upaya perkuatan usaha
kecil menengah dan koperasi menuju pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
nasional secara bersama-sama dengan pelaku ekonomi lainnya (industri besar).
Untuk itu upaya-upaya yang dapat menunjang terciptanya kerjasama dapat
disarankan beberapa hal yaitu:
5.2.1 Sistem Aliansi
Penetapan sistem aliansi strategis harus mengakar pada hal-hal yang
hakiki bagi kedua lembaga yang akan beraliansi, maka untuk penetapan
substansi pokok harus bersumber dan mengakar pada lembaga yang akan
beraliansi. Upaya yang dilakukan adalah sebagaimana gambar berikut :
Kerangka Penyusunan Sistem Aliansi
(1)
POTENSI ANGGOTA/UKMK
(MEMBERS)
(2) COLECTING/INVENTARISASI
(3) IDENTIFIKASI/KLASIFIKASI
(4)
KEBUTUHAN NYATA
(5) SELEKSI
(6) POTENSI TERPILIH
(7) PENETAPAN PRIORITAS
(8) USAHA UNGGULAN
(9) REKAYASA SISTEM
(10) SISTEM ALIANSI
(11) UJI COBA SISTEM
(12) NOT APLICABLE
(13) APLICABLE
(14) IMPLEMENTASI
(15)
HASIL (OUTPUT)
(A)
U K M K
(B) LEMBAGA
PENDAMPINGAN
& UKMK
(B) LEMBAGA
PENUNJANG
(SUPPORTING)
(16b) Umpan Balik
(16a) Marjin
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
82
5.2.2 Sistematika Rancang Bangun Sistem Aliansi
Dalam membuat rancang bangun sistem aliansi strategis bagi UKMK
dilakukan beberapa langkah atau tahapan praktis guna mendapatkan sistem
yang manajIble dan aplikatif bagi UKMK. Upaya yang dilakukan adalah
sebagaimana yang terlihat pada langkah kerja berikut :
Kerangka Instrumen-instrumen Usaha
LANGKAH AKTIVITAS OUTPUT
Mengetahui lingkup aktivitas
usaha-usaha masingmasing
lembaga yang akan
beraliansi
- Sosialisasi/publikasi aktivitas
masing-masing lembaga
- Penetapan batasan-batasan
aktivitas usaha
- Penetapan wewenang dan
tanggung jawab masingmasing
lembaga yang
beraliansi
- Ruang lingkup aktivitas
- Sistematika operasional
- Hak dan kewajiban
- Skala usaha
- Sasaran jangka
menengah dan jagka
pendek
- Jaringan usaha
- Jaringan informasi
Memahami profil usaha Mengkaji profil usaha – Likuiditas
- Rentabilitas
- Probitabilitas
- Perspektif usaha
Mengamati kinerja
keuangan UKMK
Evaluasi aktivitas finansial
UKMK
- Struktur biaya
- Efisiensi dan efektivitas
finansial
Mengetahui Kinerja dan
Sumber Permodalan
- Inventarisasi segenap
aktivitas kelembagaan usaha
secara fisik dan nonfisik
- Melakukan strukturisasi
modal
- Evaluasi kemampuan
pendanaan masing-masing
lembaga
- Evaluasi sumber-sumber
permodalan (internal dan
eksternal)
- Struktur permodalan
- Sharing capital
- Sumber-sumber dana
yang ekonomis
- Profit sharing
JURNAL PENGKAJIAN KOPERASI DAN UKM NOMOR 2 TAHUN I – 2006
83
Kerangka Kelembagaan
LANGKAH AKTIVITAS OUTPUT
Menetapkan kelembagaan
aliansi
- Sosialisasi /publikasi
aktivitas masing-masing
lembaga
- Penetapan batasan
aktivitas
- Menyusun keterpaduan
aktivitas
- Penetapan wewenang
dan tanggung jwab
masing-masing
lembaga yang
beraliansi
- Rancang bangun
kelembagaan aliansi
- Model aliansi
- Bangun aliansi
Kerangka Sarana Kelembagaan dan Usaha
LANGKAH AKTIVITAS OUTPUT
Menetapkan kebutuhan fisik – Inventarisasi kebutuhan fisik
sarana perkantoran, sarana
penunjang informasi dan
komunikasi
- Plan action/plan site
- Kebutuhan space/luas
dan bentuk perkantoran
- Layout
- Kebutuhan sarana
informasi dan
komunikasi
Menetapkan sarana
produksi
- Identifikasi jenis dan sifat/
produksi
- Inventarisasi lingkup/skala
produksi
- Pengenalan aktivitas
produksi
- Jenis dan sifat teknologi
- Kuantitas teknologi