Penyelesaian Sengketa Ekonomi
1.
Pengertian
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau
konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang
mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan,
yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum bagi keduanya.
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1. Negosiasi
(perundingan)
Perundingan
merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk
menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2. Enquiry
(penyelidikan)
Penyelidikan
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good
offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Penyelesaian perkara perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi
kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan kepada
lembaga-lembaga besar atau orang kaya.
2.
Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens)
untuk perkara di pengadilan.
Tujuan memperkarakan suatu
sengketa:
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
1. adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
2. dan pemecahannya harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Selain dari pada itu berperkara
melalui pengadilan:
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa
1. lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. biaya tinggi (very expensive),
3. secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4. kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa
...
1.
Negoisasi (Perundingan )
Perundingan
merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan
suatu persengketaan, tidak melibatkan pihak ketiga, dan diantara keduanya tidak
ada lagi berselisih paham setelah mendapatkan keputusan penyelesaian
sengketanya, serta keduanya saling menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada
paksaan dari pihak manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.
1.
Enquiry (Penyelidikan)
Penyelidikan
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak keduanya dimaksud untuk mencari
fakta.
Hal
ini bisa kita sebut misalnya melalui kepolisian, dimana akan dikupas tuntas,
diselidiki hingga ketemu akar masalahnya. Dan fakta yang benar itulah yang
benar dan harus diterima oleh kedua belah pihak.
Selain
itu, contoh yang bisa kita ambil adalah dalam sengketa perebutan anak. Dimana
siapa yang menjadi orang tua kandungnya. Hal ini bisa meminta pihak
ketiga(pihak rumah sakit) untuk melakukan tes DNA. Dimana hasil yang keluar
dari pihak rumah sakit menjadi bukti dari sengketa tersebut yang kemudian untuk
dijadikan penyelesaiannya..
2.
Good office (jasa-jasa baik)
Pihak
ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat
menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Bisa
kita ambil contoh kedua pihak yang bersengketa sudah tidak bisa mengatasi
masalahnya atau sudah bosan menghadapinya, oleh karena itu mereka
menggunakan jasa seperti pengacara. Dalam hal ini pihak yang bersengketa
memberikan kuasa kepada jasa yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa
tersebut. Sering kita sebut pengacara. Dimana pengacara mencari bukti kebenaran
yang memihak kepada yang memberi perintah namun tetap mematuhi peraturan
undang-undang yang berlaku. Selain itu juga bisa kita ambil contoh, klien atau
yang bersengketa misalkan saja mengurus atau menyelesaikan kasusnya ke dinas pemerintahan
yang mengurus masalah hak milik tanah dan bangunan. Disini pemerintah akan
berusaha untuk mencari kebenaran yang ada tanpa menyembunyikan fakta sekecil
apapun. Hasil yang dicapai tentu harus diterima kedua pihak yang bersengketa.
Penyelesaian perkara
perdata melalui sistem peradilan:
1. Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi
kesempatan kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya. Yang dimaksudkan
disini, karena dengan kekayaan orang tersebut dapat menyuap jaksa atau bahkan
dapat memanipulasi data.
2. Sebaliknya secara
tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens) untuk perkara di
pengadilan. Disini orang besar atau orang kaya dengan kekuasaan mereka serta
kepandaiannya mereka mengerti akan prosedur yang harus dilalui, jauh dengan
kalangan rakya biasa yang tidak mengerti atau kekurang pahaman mereka akan
setiap prosedur, dengan kekurang pahaman kalangan biasa hal ini bisa sangat
mudah mereka dibohongi oleh kalangan besar dengan manipulasi data atau fakta
yang sesungguhnya terjadi.
Tujuan memperkarakan
suatu sengketa:
1. Untuk
menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
kenapa
suatu konflik diperkarakan, karena keduanya sama-sama menginginkan ap yang
diperebutkan itu menjadi miliknya. Oleh karenanya mereka memperkarakan suatu
sengketa dan mencari pemecahannya yang menurut mereka itu adil.
2. Pemecahannya
harus cepat (quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Yang
dimaksud adalah karena kedua belah pihak sudah lama menunggu suatu konflik yang
telah berkepanjangan ini segera usai. Oleh karena itu kedua belah pihak
memperkarakan dengan melaporkan kepada polisi atau pengacara atau dengan
penyelidikan bermaksud untuk lebih cepat mendapatkan hasil yang diperkarakan..
Selain
dari pada itu berperkara melalui pengadilan:
Memperkarakan
sengketa melalui pengadilan justru akan membuat semakin lama karena begitu
banya prosedur yang harus diikuti. Selain itu juga dalam pengadilan prosesnya
lebih dan sangat forma. Disamping biaya yang sangat tinggi karena harus
membayar administrasi dan pengacara yang super mahal, memperkarakan melalui
pengadilan justru secara umum tidak dianggap dan kurang memberi kesempatan yang
wajar bagi yang rakyat biasa. Berikut lebih ringkasnya dari penjelasan
barusan :
1.
Lama dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2.
Biaya tinggi (very expensive),
3.
Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4.
Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
SISTEM ALTERNATIF YANG DIKEMBANGKAN
a).Sistem Mediation
b). Sistem Minitrial
c).Sistem Concilition
d).Sistem Adjudication
e). Sistem Arbitrase
b). Sistem Minitrial
c).Sistem Concilition
d).Sistem Adjudication
e). Sistem Arbitrase
a). Sistem Mediation
Mediasi adalah salah satu alternatif yang dikembangkan. Selain sistem Mediation
sistem yang dikembangkan diantaranya adalah Sistem Minitrial, Sistem
Concilition, Sistem Adjudication, Sistem Arbitrase.
Mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas
cara-cara penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di
pengadilan). Mediasi berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui
penengah (mediator). Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa
melalui mediator (penengah). Mediatornya disini kita sebut saja misalnya
pengadilan. Dimana dengan sistem ini kedua pihak yang bersengketa
datang bersama secara pribadi saling berhadapan antara satu dengan yang lain.
Kedua pihak berhadapan langsung dengan mediator dimana mediator merupakan pihak
ke tiga dimana mediator disini tidak memihak pihak manapun bisa dikatakan pihak
ke tiga atau mediator haruslah netral.
Dari
uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Peran dan fungsi mediator adalah
membantu para pihak mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka
sengketakan. Penyelesaian yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah
compromise atau kompromi di antara kedua pihak. Dalam mencari kompromi,
mediator memperingatkan, jangan sampai salah satu pihak cenderung untuk mencari
kemenangan. Karena apabila hal tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak,
pada yang dikemukakan Joe Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari
kemenangan, akan mendorong masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have
may way and you have your way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no
the way). Ya, untuk apa kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak
mengikuti prosedur yang ada. Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa
perahu kalau kedua pihak bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang
sehingga lebih cepat untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu,
bertentangan dengan asas mediasi. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi
yang maksimal. sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau
win-win, oleh karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada
yang menang mutlak.
Manfaat
yang paling menonjol, antara lain:
1.
Penyelesaian cepat terwujud (quick).
2.
Biaya Murah (inexpensive)
3.
Bersifat Rahasia (confidential)
4.
Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
5.
Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
6.
Hasil yang dicapai WIN-WIN
7.
Tidak Emosional.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir sama dengan
mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun 1977. Jadi
kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis,
masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima
persoalan yang diajukan pihak lain:
1. setelah itu baru
mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2. sekiranya
dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat diselesaikan,
mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c).
Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation), dapat
diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya mirip
dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada hakikatnya
sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix arbitration, yang
berarti:
1. pada tahap pertama proses pemeriksaan perkara,
majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau
majelis pendamai.
2. setelah
gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk
memeriksa dan mengadili perkara dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan
tetapi, dalam kenyataan praktek, terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan
yang digariskan pasal 131 HIR, hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas
saja. Jarang ditemukan pada saat sekarang penyelesaian sengketa melalui
perdamaian di muka hakim.
Lain
halnya di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific
seperti Korea Selatan, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem
konsiliasi sangat menonjol sebagai alternatif. Mereka cenderung mencari
penyelesaian melelui konsiliasi daripada mengajukan ke pengadilan.
Di
negara-negara yang dikemukakan di atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian
mata rantai dari sistem penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2.
kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3.
ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui
konsolidasi,
4.
keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan pada satu
sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke pengadilan
(ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung mencari
penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada saat
sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari
penyelesaian melalui sistem alternatif, daripada langsung mengajukan ke
pengadilan. Jadi di negara-negara yang disebut di atas, benar-benar menempatkan
kedudukan dan keberadaan pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai
the first resort.
Biasanya lembaga konsiliasi merupakan
salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase, arbitrase institusional,
bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak sebagai conciliator adalah
panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional yang bersangkutan. Sengketa
yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada umumnya meliputi sengketa
bisnis. Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution, bukan putusan
atau award (verdict). Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang berbentuk
resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dengan demikian, walaupun
resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak, apabila
salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta eksekusi ke
pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya harus
mengajukan gugatan ke pengadilan.
d).
Sistem Adjudication
Sistem Adjudication merupakan salah satu
alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru berkembang di beberapa
negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan Hongkong.
Secara harafiah,
pengertian "ajuddication" adalah putusan. Dan memang demikian halnya.
Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang untuk menjatuhkan
putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka, orang yang diminta bertindak
dalam adjudication disebut adjudicator, dan dia berperan dan berfungsi
seolah-olah sebagai HAIM (act as judge), oleh karena itu, dia diberi hak
mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa yang
diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat khusus dan
kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat menyelesaiakan, karena
untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang spesialis profesional.
Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat menyelesaikan. Diperlukan
seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya. Sengketa mengenai
pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication oleh seorang
adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan terbang.
Proses penyelesaian sengketa meleui
sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul sengketa para pihak membuat
kesepakatan penyelesaian melaui adjudication berdasar persetujuan ini,
mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar profesional, dalam
kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan (authority) kepada
adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang mengikat kepada kedua
belah pihak (binding to each party), sebelum mengambil keputusan, adjudicator
dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik secara terpisah maupun
secara bersama-sama.
e).
Sistem Arbitrase
Mengenai
arbitrase, sudah lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada
tahun 1779 melaui Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai
salah satu sistem alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam
adua abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang
arbitrase.
Di
Indonesia ketentuan arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian,
umurnya sudah terlampau tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh
karena itu, aturan yang terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika
dibandingkan dengan perkembangan kebutuhan.
Memang
banyak persamaan prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain
tadi, seperti sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip konfidensial,
diselesaikan oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara
profesional.
Namun,
demikian, di balik persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga
dunia bisnis lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication.
Perbedaan yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1. Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus
dikeluarkan penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di
pengadilan. Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga
terkadang jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara
diajukan ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a.
Biaya administrasi
b.
Honor arbitrator
c.
Biaya transportasi dan akomodasi arbitrator
d.
Biaya saksi dan ahli.
Komponen
biaya yang seperti itu, tidak ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada
biaya yang harus dikeluarkan, jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh
dikatakan tanpa biaya atau nominal cost.
2. Masalah sederhana
dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian sengketa melalui
arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion quickly. Jadi
prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi adalah lain.
Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase dalam jangka
waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan waktu panjang.
Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi timbul perbedaan
pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati atau hukum yang
hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian bertambah rumit
dan panjang.
3. Kelebihan tersebut antara lain:
1. Dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak
2. Dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. Para pihak dapat
memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan
adil;
4. para pihak
dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. putusan
arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata
cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam
3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung (negtation
simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2. Penyelesaian
sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
3. Penyelesaian sengketa dengan
menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc yang terlembaga.
Arbitrase
secara umum dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata,
namun dalam perkembangannya arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa kontraktual (perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1. Quality arbitration,
yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact) yang dengan sendirinya
memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang tinggi.
2. Technical
arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana halnya
dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3. Mixed arbitration,
sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question of fact
and
law).
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase
dan Litigasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Litigasi
|
Yang mengatur
|
Para pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Prosedur
|
Informal
|
Agak formal sesuai dengan rule
|
Sangat formal dan teknis
|
Jangka waktu
|
Segera ( 3-6 minggu )
|
Agak cepat ( 3-6 bulan )
|
Lama ( > 2 tahun )
|
Biaya
|
Murah ( low cost )
|
Terkadang sangat mahal
|
Sangat mahal
|
Aturan pembuktian
|
Tidak perlu
|
Agak informal
|
Sangat formal dan teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka untuk umum
|
Hubungan para pihak
|
Kooperatif
|
Antagonistis
|
Antagonistis
|
Fokus penyelesaian
|
For the future
|
Masa lalu
|
Masa lalu
|
Metode negosiasi
|
Kompromis
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki yang sudah lalu
|
Jalan buntu
|
Jalan buntu
|
Result
|
win-win
|
Win-lose
|
Win-lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
|
Ditolak dan mencari dalih
|
Suasana emosinal
|
Bebas emosi
|
Emosional
|
Emosi bergejolak
|
SUMBER:
http://vanezintania.wordpress.com/2011/05/22/perbandingan-antara-perundingan-arbitrase-dan-litigasi/
Aspek Hukum dalam Ekonomi