Senin, 04 November 2013

Perilaku Etika dalam Bisnis ( Tugas 2)



Etika bisnis

    Merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.

   Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

   Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.

Tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :

 >  Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.

 >  Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.

 >  Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

1. LINGKUNGAN BISNIS YANG MEMPENGARUHI PERILAKU ETIKA

Tujuan dari sebuah bisnis kecil adalah untuk tumbuh dan menghasilkan uang.Untuk melakukan itu, penting bahwa semua karyawan di papan dan bahwa kinerja mereka dan perilaku berkontribusi pada kesuksesan perusahaan.Perilaku karyawan, bagaimanapun, dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar bisnis.Pemilik usaha kecil perlu menyadari faktor-faktor dan untuk melihat perubahan perilaku karyawan yang dapat sinyal masalah.

A.    Budaya Organisasi

Keseluruhan budaya perusahaan dampak bagaimana karyawan melakukan diri dengan rekan kerja, pelanggan dan pemasok. Lebih dari sekedar lingkungan kerja, budaya organisasi mencakup sikap manajemen terhadap karyawan, rencana pertumbuhan perusahaan dan otonomi / pemberdayaan yang diberikan kepada karyawan. "Nada di atas" sering digunakan untuk menggambarkan budaya organisasi perusahaan. Nada positif dapat membantu karyawan menjadi lebih produktif dan bahagia. Sebuah nada negatif dapat menyebabkan ketidakpuasan karyawan, absen dan bahkan pencurian atau vandalisme.

B.     Ekonomi Lokal

Melihat seorang karyawan dari pekerjaannya dipengaruhi oleh keadaan perekonomian setempat. Jika pekerjaan yang banyak dan ekonomi booming, karyawan secara keseluruhan lebih bahagia dan perilaku mereka dan kinerja cermin itu. Di sisi lain, saat-saat yang sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat menjadi takut dan cemas tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan ini mengarah pada kinerja yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam beberapa karyawan, bagaimanapun, rasa takut kehilangan pekerjaan dapat menjadi faktor pendorong untuk melakukan yang lebih baik.

C.     Reputasi Perusahaan dalam Komunitas

Persepsi karyawan tentang bagaimana perusahaan mereka dilihat oleh masyarakat lokal dapat mempengaruhi perilaku. Jika seorang karyawan menyadari bahwa perusahaannya dianggap curang atau murah, tindakannya mungkin juga seperti itu. Ini adalah kasus hidup sampai harapan. Namun, jika perusahaan dipandang sebagai pilar masyarakat dengan banyak goodwill, karyawan lebih cenderung untuk menunjukkan perilaku serupa karena pelanggan dan pemasok berharap bahwa dari mereka.

D.    Persaingan di Industri

Tingkat daya saing dalam suatu industri dapat berdampak etika dari kedua manajemen dan karyawan, terutama dalam situasi di mana kompensasi didasarkan pada pendapatan. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, perilaku etis terhadap pelanggan dan pemasok dapat menyelinap ke bawah sebagai karyawan berebut untuk membawa lebih banyak pekerjaan. Dalam industri yang stabil di mana menarik pelanggan baru tidak masalah, karyawan tidak termotivasi untuk meletakkan etika internal mereka menyisihkan untuk mengejar uang.

2. KESALING TERGANTUNGAN ANTARA BISNIS DAN MASYARAKAT

Bumi tempat kita berpijak, masih setia bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim dan secara tim dengan planet-planet lain, namun penghuninya kebanyakan telah berjalan sendiri-sendiri. Mungkin ada sebagian masyarakat yang belum mengenali apa itu etika dalam berbisnis. Bisa jadi masyarakat beranggapan bahwa berbisnis tidak perlu menggunakan etika, karena urusan etika hanya berlaku di masyarakat yang memiliki kultur budaya yang kuat. Ataupun etika hanya menjadi wilayah pribadi seseorang. Tetapi pada kenyataannya etika tetap saja masih berlaku dan banyak diterapkan di masyarakat itu sendiri. Perusahaan juga sebuah organisasi yang memiliki struktur yang cukup jelas dalam pengelolaannya. Ada banyak interaksi antar pribadi maupun institusi yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu kecenderungan untuk terjadinya konflik dan terbukanya penyelewengan sangat mungkin terjadi. Baik dalam tataran manajemen ataupun personal dalam setiap team maupun hubungan perusahaan dengan lingkungan sekitar. Untuk itu etika ternyata diperlukan sebagai kontrol akan kebijakan, demi kepentingan perusahaan itu sendiri Oleh karena itu kewajiban perusahaan adalah mengejar berbagai sasaran jangka panjang yang baik bagi masyarakat. Dua pandangan tanggung jawab sosial :

1. Pandangan klasik : tanggung jawab sosial adalah bahwa tanggung jawab sosial manajemen hanyalah memaksimalkan laba (profit oriented).
Pada pandangan ini manajer mempunyai kewajiban menjalankan bisnis sesuai dengan kepentingan terbesar pemilik saham karena kepentingan pemilik saham adalah tujuan utama perusahaan.

2. Pandangan sosial ekonomi : bahwa tanggung jawab sosial manajemen bukan sekedar menghasilkan laba, tetapi juga mencakup melindungi dan meningkatkan kesejahteraan social. Pada pandangan ini berpendapat bahwa perusahaan bukan intitas independent yang bertanggung jawab hanya terhadap pemegang saham, tetapi juga terhadap masyarakat. Perilaku bisnis terhadap etika dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :

a. Pengendalian diri

b. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)

c. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi

d. Menciptakan persaingan yang sehat

e. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”

f. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
g. Mampu menyatakan yang benar itu benar

h. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha   kebawah
i. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
j. Menumbuh kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakat.

3.  KEPEDULIAN PELAKU BISNIS TERHADAP ETIKA

Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas 4 sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik. Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula, Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia 5 tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.


4.  PERKEMBANGAN DALAM ETIKA BISNIS

Berikut perkembangan etika bisnis

1. Situasi dahulu.

Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.

2.  Masa Peralihan: tahun 1960-an

ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.

3.  Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an

sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS.

4.  Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an

di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).

5.  Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an

tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.


5.   ETIKA BISNIS DAN AKUNTANSI

Amerika Serikat yang selama ini dianggap sebagai Negara super power dan juga kiblat ilmu pengetahuan termasuk displin ilmu akuntansi harus menelan kepahitan. Skandal bisnis yang terjadi seakan menghilangkan kepercayaan oleh para pelaku bisnis dunia tentang praktik Good Corporate Governance di Amerika Serikat. Banyak perusahaan yang melakukan kecurangan diantaranya adalah TYCO yang diketahui melakukan manipulasi data keuangan (tidak mencantumkan penurunan aset), disamping melakukan penyelundupan pajak. Global Crossing termasuk salah satu perusahaan terbesar telekomunikasi di Amerika Serikat dinyatakan bangkrut setelah melakukan sejumlah investasi penuh resiko. Enron yang hancur berkeping terdapat beberapa skandal bisnis yang menimpa perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat. Worldcom juga merupakan salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat melakukan manipulasi keuangan dengan menutupi pengeluaran US$3.8 milyar untuk mengesankan pihaknya menuai keuntungan, padahal kenyataannya rugi. Xerox Corp. diketahui memanipulasi laporan keuangan dengan menerapkan standar akunting secara keliru sehingga pembukuan perusahaan mencatat laba US $ 1.4 milyar selama 5 tahun. Dan masih banyak lagi.



Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_bisnis
http://deanazcupcup.blogspot.com/2012/09/prilaku-etika-dalam-bisnis_26.html
http://fe-akuntansi.unila.ac.id/ppafe/PDF%20File/Etika%20Bisnis%20&%20Profesi.pdf


Sabtu, 12 Oktober 2013

Etika, Profesi, dan Etika Profesi ( Tugas 1)


Nama : Muhammad Iqbal k
Kelas : 4eb09
NPM : 24210736

1. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa yunani kuno yaitu "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan". Pengertian etika itu sendiri adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Menurut beberapa para ahli juga mengeluarkan pendapatnya tentang arti dari etika, yakni :
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
2. Menurut Aristoteles: di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
3. Menurut Drs. O.P. Simorangkir, etika atau etik dapat diartikan sebagai pandangan manusia dalam berperilaku menurut ukuran dan nilai baik.
4. Menurut Drs. H. Burhanudin Salam berpendapat bahwa etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
5. Menurut Maryani dan Ludigdo, etika merupakan seperangkat aturan, norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi.
6. Dan menurut Ahmad Amin mengungkapkan bahwa etika memiki arti ilmu pengetahuan yang menjelaskan arti baik atau buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia dalam perbuatan dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia.
Dalam hal ini etika menurut saya pribadi adalah suatu sikap atau perilaku yang harus dijaga dan dilaksanakan saat berada dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa aja siapa saja dengan adanya etika itu sendiri kita bisa dinilai lebih oleh orang lain.

Etika Profesi Akuntansi
Etika Profesi Akuntansi Merupakan suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
Menurut Billy, Perkembangan Profesi Akuntan terbagi menjadi empat fase yaitu,
1. Pra Revolusi Industri
2. Masa Revolusi Industri tahun 1900
3. Tahun 1900 – 1930
4. Tahun 1930 – sekarang

2. Prinsip – Prinsip Etika
Prinsip – prinsip etika profesi sebagai tuntutan professional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing – masing profesi. Kode etik itu sendiri berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab profesi

Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri.



2. Kepentingan Publik

Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

3. Integritas

Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.


4. Objektivitas

Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.

5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.

6. Kerahasiaan

Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan. Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.

7. Perilaku Profesional

Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

8. Standar Teknis

Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas. Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

3. Basis Teori Etika

a. Etika Teleologi

Di dalam etika teleology terdapa dua aliran etika teleologi yang harus dipahami yaitu :

• Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.

• Utilitarianisme
Kata utilitarianisme berasal dari bahasa latin yaitu utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.

b. Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban.
‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab : ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.

c. Teori Hak

Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama.Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.

d. Teori Keutamaan (Virtue)

memandang sikap atau akhlak seseorang tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya.Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral.

4. Egoisme
Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni ego yang berarti "Diri" atau "Saya", dan -isme, yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan demikian, istilah ini etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.
Jadi dalam hal ini egoisme adalah motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri atau yang berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya yang sangat dikenal yaitu egois.
Egoisme atau yang sering dikenal egois menurut saya merupakan suatu sifat atau perilaku yang tidak baik untuk dilakukan karena dapat menimbulkan hal – hal yang tidak diinginkan perasaan macam ini dapat menimbulkan perasaan-perasaan permusuhan terhadap orang lain dan kemudian menimbulkan ambisi atau keinginan lebih jauh yang sia-sia.

Sumber :
• http://id.wikipedia.org/wiki/Etika
• http://anastasiamonita.blogspot.com/2012/10/pengertian-etika-menurut-para- ahli.html#!/2012/10/pengertian-etika-menurut-para-ahli.html
• http://kinantiarin.wordpress.com/etika-profesi-akuntan/
• http://annaluchu.blogspot.com/2012/10/basis-teori-etika.html
• http://id.wikipedia.org/wiki/Egoisme

Jumat, 14 Juni 2013

Tugas bahasa inggris bisnis 2 ( tugas 3 Conversation)





 Conversation find an accounting job
Nama Kelompok         : 1. Heri Kurniawan (23210252)
                                       2. Muhammad Iqbal (24210736)
                                       3. Yusuf Fadillah (28210800)
Kelas                           :  3EB09         

Beby                : I had to look for a new job?
Alkatiry           : You should try to find a job accounting
Sandra:            : Accounting requires a very good calculation skills
Beby                :  What would I do in accounting?
Alkatiry           :  A analzing responsible for accounting and communicating financial     information.
Sandra             : I strongly agree with alkatiry.
Beby                : What types of accounting jobs available?
Alkatiry           : You can work for a company, for an individual, or even to the government.
Beby                : Is there a certain accountant position?
sandra              : Four main position is a public accounting, management accounting, government accounting and internal auditing.
Beby                : What accounts for the public  do?
Alkatiry           : Public accountants perform a variety of duties including auditing, tax and consulting activities.
Beby                : I'm not interested in doing taxes.
sandra              : A CPA can also offer advice in a particular area or specialization in forensic accounting.
Beby                : What is forensic accounting?
sandra              : It is an investigation and interpretation of crime financial transactions.
Beby                : So, I will look into money laundering, embezzlement and fraud
sandra              : Exactly, and cooperate with law enforcement and serve as a witness if the case goes to trial.
Beby                : I do not want to get involved in all that.
Alkatiry           : Well, then you can look into becoming a management accountant.
Beby                : What are their specialty?
Alkatiry           : Management accountants record and analyze the financial information of the      company for which they work.
Beby                : So, they are primarily responsible for budgeting and cost management.
Alkatiry           : Yes, and there is also a government accountant.
Beby                : I think they're responsible for government records.
Alkatiry           : Right! Internal auditor is used by a company to check the mismanagement, waste and fraud.
Beby                : Well, Government accountants sounds the most interesting to me.
Alkatiry           : So you definitely have to look into it again
Beby                : Why should more look into it?
Alkatiry           : Because government accounting fully responsible to the central government.
sandra              : Why not try cost accounting?
Beby                : Cost accounting is too risky and too difficult in its calculations.
Alkatiry           : Why too risky and difficult in its calculations?
Sandra             : Because accounting costs compare with the cost of all components of a record funding.
Alkatiry           : why is that?
Sandra             : Because of an emphasis on cost accounting classification context accounting guidelines that should be adhered to and complied with by an accountant.
Beby                : Guidelines for what is used in accounting finance costs
Sandra             : Guidelines PSAK
Beby                : PSAK it stands for what?
Sandra             : Statement of Financial Accounting Standards.
Beby                : Is that just guidelines used in the opening of financial and cost accounting?
Sandra             : If it is for the national GAAP, whereas that for global IFRS
Beby                : What is IFRS?
Sandra             : International Financial Reporting Standards
Beby                : What benefits are biased in the gain of IFRS?
Sandra             : To determine the value of an element of financial statements either at the time of the financial transaction, or during the presentation of financial statements (balance sheet date).
Beby                : Besides what else?
Sandra             : To recognize the elements of financial statements so that the elements can be        presented in the financial statements
Beby                : Means what job is right for me?
alkatiry            : That I suggest you to management accounting as part of a more organized and structured
sandra              : I suggest if you are into the more cost accounting career prospect to the future
beby                : Thanks for the suggestions all are, see you again in the future

Jumat, 03 Mei 2013

Using Electronic Customer Relationship Management to Maximize/Minimize Customer Satisfaction/Dissatisfaction



TUGAS SOFTSKILL
Using Electronic Customer Relationship Management to Maximize/Minimize Customer Satisfaction/Dissatisfaction

BAHASA INGGRIS 2




Nama kelompok :
Heri kurniawan (23210252)
Muhammad iqbal (24210736)
Yusuf fadillah (28210800)

Abstract                     


Electronic Customer Relationship Management (eCRM) has attracted the attention of managers and academic researchers for the past several years. Issues of eCRM have varied from marketing to information technology. While there are many concerns and efforts for successful management of customer relationship in the online environment, this study posits that the major components of eCRM include increasing customer satisfaction and customer loyalty, minimizing customer dissatisfaction, resolving customer complaints and increasing product/service quality. This paper has reviewed the issues on eCRM published over the past years that have involved major topics such as customer satisfaction and dissatisfaction. The study also reviewed customer loyalty and complaints that are consequences of customer satisfaction and dissatisfaction. The study provides implication both to researchers and businesses that a hybrid approach of marketing and information system perspectives leads successful eCRM.
I.   Introduction


Electronic commerce relies on customer interactions via a computer and telecommunications infrastructure for the purpose of advertising, promoting, and selling products and services online. Electronic commerce replicates most of the physical activities that take place in the market place to the point where increasing electronic commerce usage are shifting companies from those traditional market places to new market spaces. The traditional market places emphasize “customer satisfaction” as a way to earn consumer loyalty and attract new customers. Therefore this study examines the firm’s approach to Customer Relationship Management in order to account for the new realities of market spaces. To be successful in a market space, a firm will have to be responsive to their virtual customers’ wants, needs and desires, and manage the interactions with them properly in order to arrive at a win/win outcome. Marketing considers that interactions between customers or potential customers and the firm arrive at a win/win outcome either in a market place or in a market space, when: i) such interaction(s) lead to the sale of a given item(s); and/or ii) such interactions lead to an increased likelihood that a sale of the same or other item(s) will happen in the near future to the satisfaction of both parties. Win/win means the customer wins through a satisfying purchase of a product or service and the firm wins by selling this product or service. Increased customer satisfaction will augment the likelihood that the customer will purchase again and/or induce other potential customers to buy, either through testimonials or word-of-mouth effects. Under this scenario, moving from the market place to the market space poses new challenges to the firm. Many years of experience have enabled them to manage market space, but market space is the result of a phenomenon (the web), which is about 20 years old.

In addition to the new realities of the market space, the constant development of the web as a new environment medium opens significant challenges to marketers, that they may not be well prepared face. The key new element is the dynamic nature of the interactive system used by customers to gain access to a firm’s web site, and what happens after the web site has been reached. Under this scenario, three important questions must be answered: i) How does a firm attract potential customers to its own web site; ii) Once customers enter the firm’s web site, how can the web site “cooperate with the customer” in order to arrive at a win/win situation; and iii) How must the firm adjust its marketing information systems to ensure that proper information and feedback is obtained from market space interactions for better management decision-making.

These three questions are not independent, i.e., the satisfaction experienced by a potential customer reaching a firm’s web site will depend on the prior experience and expectations that they build along the way (both in the past and in this particular web session) and the design of the web site, which may or may not handle those expectations in a “cooperative” manner. Management will not have a clue as to what happened if proper arrangements are not made to capture the satisfaction of the customers with the overall process. Because a market space is a unique blend of marketing activities in a “virtual,” interactive electronic environment, this paper will track the issue of customer satisfaction/dissatisfaction both from the traditional marketing viewpoint, and the more recent Information Technology views about interactive systems. In particular, given the importance of “cooperation” between the firm and its customers, current knowledge of user satisfaction with collaborative environments will also be included. All these aspects will help the future formulation of a “hybrid model of customer satisfaction” using the Web that accounts for all the components of market space, under the win/win mandate of the “marketing principle.”
2. Defining Electronic Customer Relationship Management


eCRM has attracted the attention of e-business managers and academic researchers who are interested in increasing repeat business and customer loyalty (Julta, Craig, and Bodorik, 2001). Various researchers have defined the eCRM according to different aspects. Based on the review by Jukic Jukic, Meamber and Nezlek (2002-2003), eCRM is a business strategy that utilizes the power of technology to tie together all aspects of a company’s business with the goal of building long-term customer loyalty. Jukic et al. (2002) also stressed that eCRM, in practical terms, is the management of customer interactions at all levels, channels, and media. Hansen (2000) sees eCRM as “a process of acquiring, retaining and growing profitable customers. It requires a clear focus on the service attributes that represent value to the customer ant that create loyalty.” A review by Romano and Fjermestad (2001-2002) emphasized that eCRM involves attracting and keeping “economically valuable” customers while repelling and eliminating “economically invaluable” ones. On the market space, eCRM is to build and maximize the value of the relationship with the customer and to improve customer retention rates (Jukic et al., 2002; Cho, Im, Hiltz, and Fjermestad, 2002).

3.MAXIMIZING/MINIMIZINGCUSTOMERSATISFACTION/DISSATISFACTION AS MAJOR COMPONENTS OF ECRM


Various researchers have proposed a framework for eCRM studies. A previous review on eCRM in information system research by Romano and Fjermestad (2003) suggested the frameworks for CRM research, including eCRM within markets, eCRM business models, eCRM knowledge management, e-CRM technology issues, and e-CRM human issues. From about the early 1990s until now, studies on eCRM have addressed issues regarding i) factors affecting customer satisfaction and loyalty; ii) factors affecting customer dissatisfaction and complaints; iii) effectiveness of the website; iv) the impact of online communities on eCRM; v) supply chain management; and vi) knowledge management, etc. Cho, Im, Hiltz, and Fjermestad (2002) notes that the major eCRM components to be discussed include: i) maximizing customer satisfaction/minimizing customer dissatisfaction; ii) increasing customer loyalty; iii) increasing product/service quality; and iv) resolving customer complaints. This study will review issues of customer satisfaction/dissatisfaction including theories and models that have been frequently applied to eCRM. This study will also review issues of customer loyalty and complaints that are consequences of customer satisfaction/dissatisfaction
4. Conclusion

In an effort to provide a positive contrast for the new against the old, this paper addressed the issue of customer satisfaction and dissatisfaction as being at the center of successful e- business exchanges. Further, the author stressed the importance of customer loyalty and complaints as consequences of customer satisfaction and dissatisfaction. The author reviewed theories and models that have been applied by e-commerce customer relationship management. Theories applied to eCRM have been rooted in satisfaction/dissatisfaction theories and theories for customer complaining behavior that have been proposed by traditional marketers. This study also investigated models for customer satisfaction and complaining behavior that examine factors affecting customer relationship management.
This paper focuses on the how to maximize/minimize customer satisfaction/dissatisfaction for successful eCRM because it provides clues as to what managerial changes might have induced different and more desirable behaviors, raising the issue of customer loyalty myopia. This myopia stems from believing that consumer behavior can be created and sustained in and by itself without careful regard to its underlying basis on the customer satisfaction side, reviving the long-standing marketing dilemma of attitude and behavioral measures, and how much attitudes influence or predict behavior. This study also examined studies that addressed the importance of customer complaints that also go beyond the customer satisfaction concept and much more deeply into the underlying theories and models that attempt to explain why people may or may not be satisfied. This study suggested the ways to maximize/minimize customer satisfaction/dissatisfaction, such as improving customer loyalty and resolving customer complaints. 
This study provides implications for both academics and practitioners. Future study will be needed to investigate mode of online customer satisfaction that are proposed by Fournier and Mick (1999), including satisfaction-as-contentment, satisfaction-as-pleasure, and dissatisfaction-as-surprise. Future research exploring consumer satisfaction of pure-play vs. multi-channel is also likely to be fruitful.  Other issues that increase the level of relationship between or within online customers and businesses will also be a future research. 
Based on the review, this study found that little attention has been paid in issues of customer dissatisfaction and complaints in the online environment. This study found opportunities to measure online customer dissatisfaction and complaints both qualitatively and quantitatively. This study also recommended that e-businesses develop a defensive marketing strategy and complaint management as an excellent competitive tool for Customer Relationship Management (Cho, Im, Hiltz, and Fjermestad, 2002). Taking complaint management seriously affects such factors as product/service quality, website design, and optional policies. The author believes that managing customer dissatisfaction and complaints facilitate repeat business and customer loyalty. Efforts toward the effective resolution of customer problems serve as the basis for long-term product and successful eCRM.